Banda Aceh (ANTARA News) - Hukuman cambuk yang diterapkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena ada ketentuan yang tertuang dalam qanun (Peraturan Daerah), Kata Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Dr Muslim Ibrahim, MA. "Saya sudah berkonsultasi dengan seorang wanita Jerman yang membuat UU HAM PBB. Ia menyatakan bahwa hukuman cambuk tidak melanggar HAM, karena memang sudah diatur dalam qanun," katanya pada acara diskusi pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh di Banda Aceh, Kamis. Ia menyatakan, ketika penerapan syariat Islam diberlakukan di Provinsi Aceh, banyak kalangan terutama negara-negara barat, bahkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mempertanyakan masalah hukuman cambuk yang dinilai melanggar HAM. Tapi, setelah dijelaskan permasalahnnya, akhirnya mereka menerima, karena hukuman cambuk yang diterapkan di Aceh ada peraturannya, yaitu qanun, yang sudah disepakati oleh eksekutif dan legislatif yang merupakan lembaga negara. "Hukuman cambuk yang diberlakukan di Aceh bukan sembarangan, tapi berdasarkan peraturan yang sah. Jadi, setelah kita jelaskan persoalannya, maka orang-orang barat itu memahami, bahkan mereka menyatakan hukuman cambuk itu tidak melanggar HAM," ujarnya. Oleh karenanya, ia mengharapkan kepada para ulama untuk tidak takut menegakkan syariat Islam di Aceh, karena memang sudah dilindungi oleh UU. Menyinggung masalah KKR, Muslim menyatakan, melihat pengalaman, sulit sekali masalah pelanggaran HAM diseret ke pengadilan, sehingga untuk menyelesaikan masalah konflik masa lalu dibutuhkan "islah" (damai) sesuai dengan Islam. Dikatakan, pengadilan tetap memberi ekses kalah menang, sehingga sulit menghapus dendam, tapi dengan cara ishlah, mungkin akan bisa menjawab persoalan masa lalu di Aceh.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007