Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali memanggil mantan Sekretaris Mahmakah Agung (MA) Nurhadi pada pekan depan untuk diperiksa sebagai saksi kasus suap.

Sebelumnya, Nurhadi dan istrinya Tin Zuraida pada Senin (29/10) tidak memenuhi panggilan KPK dalam penyidikan kasus suap terkait pengajuan Peninjauan Kembali (PK) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat dengan tersangka mantan petinggi Lippo Group Eddy Sindoro (ESI).

"Untuk Nurhadi sendiri kemarin juga tidak hadir, memang surat yang kami sampaikan itu kembali ke KPK. Itu artinya panggilan pertama belum diterima atau ada informasi lain nanti akan telusuri lebih lanjut. Rencana minggu depan akan dipanggil Nurhadi sebagai saksi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Jumat.

KPK pun sebenarnya pada Jumat ini memanggil Tin Zuraida sebagai saksi untuk tersangka Eddy Sindoro.

Namun, Tin Zuraida yang saat ini menjabat Staf Ahli Bidang Politik dan Hukum Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) itu tidak memenuhi panggilan KPK.

"Untuk Tin Zuraida hari ini tidak hadir. Tadi saya cek surat sudah disampaikan sebenarnya secara patut apakah ke rumah ataupun kantor," kata Febri.

KPK pun mengharapkan ada bantuan dan dukungan dari pihak Kemenpan-RB untuk memastikan pegawainya itu bisa hadir diperiksa sebagai saksi.

Sebelumnya, tersangka Eddy Sindoro telah menyerahkan diri ke KPK pada Jumat (12/10) setelah sebelumnya sejak April 2016 sudah tidak berada di Indonesia.

KPK sudah menetapkan Eddy Sindoro sebagai tersangka sejak November 2016 lalu. Eddy diduga memberikan hadiah atau janji kepada penyelenggara negara terkait pengurusan perkara di Pengadilan Jakarta Pusat (PN Jakpus) terkait dengan permohonan bantuan pengajuan Peninjauan Kemabali di PN Jakpus.

Atas perbuatannya tersebut, Eddy Sindoro disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU tahun 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta. 

Sudah ada dua orang yang menjalani vonis terkait perkara ini yaitu panitera panitera sekretaris PN Jakpus Eddy Nasution dan perantara suap Dody Arianto Supeno. Doddy sudah divonis 4 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan sedangkan Edy Nasution sudah divonis 5,5 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 2 bulan kurungan.

Dalam putusan Edy Nasution, disebutkan bahwa uang 50 ribu dolar AS untuk pengurusan Peninjauan Kembali (PK) PT Across Asia Limited (AAL) yang diputus pailit oleh mahkamah agung melawan PT First Media. Edy pun menerima uang dari salah satu kuasa hukum yang baru dari Law Firm Cakra & Co yaitu Austriadhy 50 ribu dolar AS yang terbungkus dalam amplop warna coklat

Eddy Sindoro pernah bertemu dengan mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi menanyakan kenapa berkas perkara belum dikirimkan dan Nurhadi sempat menelepon Edy Nasution untuk mempercepat pengiriman berkas perkara PK namun Nurhadi mengatakan itu dalam rangka pengawasan. Edy Nasution juga mengakui menerima 50 ribu AS dari Dody dimana uang tersebut ada kaitannya dengan pengurusan dengan perkara Lippo. 

Dalam perkembangan penanganan perkara tesebut, KPK juga telah menetapkan advokat Lucas (LCS) sebagai tersangka merintangi penyidikan dengan tersangka Eddy Sindoro.

Baca juga: Nurhadi dan istrinya tidak penuhi panggilan KPK
Baca juga: KPK imbau Nurhadi kooperatif
Baca juga: Saksi: Lippo biayai pencitraan positif Nurhadi

 

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018