Jakarta, (ANTARA News) -  Konferensi mengenai isu kelautan dunia baru saja digelar di Indonesia, tepatnya di Bali dalam rangkaian Our Ocean Conference (OOC) 2018.

Indonesia yang memiliki lautan lebih luas dari daratan nampaknya memahami betul bagaimana membirukan lautan serta menghijaukan daratan. Walau sebenarnya justru masalah kompleks yang banyak juga dihadapi atas keuntungan geografis tersebut. 

Secara garis besar OOC 2018 membahas mengenai bagaimana masyarakat dunia kembali melihat laut sebagai masa depan yang harus diwariskan kepada generasi penerus. Termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalam laut dan kelestarian lingkungan yang berdampak pada perubahan iklim. 

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Luhut Binsar Pandjaitan bahkan mengingatkan bahwa isu permasalahan kelautan bukan hanya dihadapi oleh Indonesia, melainkan seluruh dunia. 

Luhut Pandjaitan mengajak para peserta Our Ocean Conference untuk bekerja sama dalam memelihara lautan. 

"Laut adalah masa depan. Sebesar 95 persen lautan kita belum dieksplorasi. Kita harus memperlakukan laut kita dengan hati-hati. Kita harus menjaganya bersama karena tidak ada negara, tidak ada organisasi yang bisa menyelesaikan masalah tanpa kerja sama," ujar Menko Luhut. 

Menurutnya, kerja sama sangat dibutuhkan karena pada forum OOC ini berbagai masalah telah diidentifikasi dan untuk mencari pemecahannya dibutuhkan aksi nyata dan  hasil yang terukur. Kolaborasi di seluruh lapisan dan juga bersama para pemangku kepentingan. Menko Luhut mengimbau para peserta memanfaatkan jaringan yang dibangun pada konferensi ini untuk memecahkan masalah di sekitar laut dan perubahan iklim. 

Ia menekankan pentingnya laut sebagai warisan bagi generasi mendatang. Kerja sama, adalah juga yang ditekankan 

Luhut juga mengingatkan pada forum negara kepulauan (EAS) untuk turut memerangi plastik yang juga turut menyumbangkan kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. 

Menko Luhut melihat peluang bagi negara-negara anggota EAS untuk bekerja bersama, dalam solidaritas untuk secara kolektif menunjukkan bagaimana para annggota berjuang mencari solusi.
 
The EAS beranggotakan 18 negara terdiri dari negara-negara ASEAN (Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam) ditambah  Australia, China, India, Jepang, New Zealand, Korea Selatan, Amerika Serikat dan Rusia.

Tidak hanya mengenai lingkungan,  pertemuan negara dunia membahas isu kelautan juga turut memikirkan bagaimana meningkatkan perekonomian dari sisi kelautan. 


Siskamling Biru

Luhut sempat mengadakan pertemuan dengan  Vice President Conservation International (CI) Indonesia, Ketut Sarjana Putra bersama pasangan suami istri Andrew and Marit Miners pemilik Misool Eco Resort, Raja Ampat.  Mereka menjelaskan kerja sama yang dilakukan dalam mencipatakan model penangkapan ikan dan perikanan berkelanjutan yang dinamakan Blue Halo S (Sustainability). 

"Sistem ini memadukan Kawasan Perlindungan Laut (Marine Protected Area/MPA) dengan konsesi perikanan yang berkelanjutan dan pembiayaan gabungan (blended finance). Blue Halo S atau Siskamling Biru program ini memberikan kredit mikro kepada berpotensi lebih dari enam juta nelayan untuk meningkatkan mata pencaharian mereka," ujar Ketut. 

Model ini telah berjalan hampir 10 tahun, pada dasarnya model ini adalah bagaimana kawasan perlindungan laut tetapi juga bisa terus terjaga keberlanjutannya dilihat dari sisi ekonomi yang melibatkan pemerintah lokal (yang memberi konsesi) dan para nelayan. 

Sistem ini memberikan blue bond dan micro credit untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar. 

Prototipe pertama akan berada di 4,6 juta hektar kepala burung di laut barat provinsi Papua. Menko Luhut menyarankan agar model ini juga diperkenalkan kepada negara-negara kepulauan lain. Dengan sistem ini, pola pikir masyarakat sekitar juga bisa dikembangkan bahwa mencari nafkah di wilayah itu bukan hanya dengan melaut tetapi bisa juga dengan menjadi pedagang, pemandu wisata atau bahkan usaha penginapan. 

Ketut mengatakan ada lebih dari 14 hektar MPA di seluruh Papua dengan demikian masih banyak yang bisa dilakukan di wilayah ini. 
    

Sawit

Selain isu kelautan,  Menko Luhut juga menerima Komisioner Uni Eropa untuk Lingkungan Hidup, Kelautan, dan Perikanan. Kelapa sawit menjadi topik utama pembicaraan kedua delegasi. Menko Luhut memaparkan langkah-langkah yang telah diambil Indonesia dan menurutnya hal itu telah sesuai dengan syarat yang diberikan Uni Eropa. 

Pada dasarnya Indonesia berkomitmen dengan peraturan seperti sertifikasi (ISPO), enclave, hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya serta tak ada lagi izin yang dkeluarkan untuk industri. 

Sementara itu, Wakil Sekjen Uni Eropa (EU) untuk Urusan Luar Negeri Christian Keffler, kelapa sawit adalah topik favorit bagi EU dan Indonesia serta menyatakan EU terbuka untuk bekerjasama dengan Indonesia. 

Ia ingin meningkatkan konsumsi energi alternatif.  EU sebenarnya tidak hanya ingin melakukan solusi yang singkat tapi juga harus bertahan lama. "Karena itulah kami melakukannya dengan sangat hati-hati. EU adalah konsumen sawit terbesar ke dua di dunia, dan kami tidak malu mengakuinya. Karena itu lah kami ingin bekerjasama dengan mencari titik temu," ujar Keffler. 

Ia menambahkan banyak masyarakat EU tidak menyadari bahwa selama 24 jam hidupnya tidak lepas dari sawit dan produk-produk turunanya seperti kosmetik dan lainnya. 
 
Keffler mengatakan EU akan membentuk tim yang beranggotakan negara-negara penghasil kelapa sawit termasuk Indonesia dan bersama EU sehingga apa yang diinginkan semua pihak bisa diakomodasi. 

Malcolm Turnbull, mantan PM Australi juga menemui Menko Luhut di hari terakhir OOC. Turnbull yang diutus pemerintah Australia untuk menghadiri konferensi ini banyak bertukar informasi dengan Menko Luhut sepanjang pertemuan mereka.

Dua hari pelaksanaan OOC 2018 di Nusa Dua, Bali, sudah menghasilkan setidaknya 287 komitmen senilai 10,7 miliar dolar AS untuk menjawab tantangan pengelolaan lautan. Konferensi itu juga menghasilkan kawasan konservasi perairan (marine protected area/MPA) seluas 14 juta km persegi. Selain komitmen yang berasal dari pemerintah, sejumlah perusahaan global juga menyampaikan komitmen mereka dalam penyelamatan lautan. 

Salah satu diantaranya yang berperan adalah Coca-cola, yang oleh Aliansi Break Free From Plastic (BFFP) disebut sebagai salah satu penyumbang plastik terbesar di dunia. 

Pada akhirnya, Coca-cola meluncurkan program komitmen global bernama World Without Waste, dengan target perusahaannya adalah sebesar 50 persen kemasan produknya menggunakan bahan daur ulang pada 2025. 

Sedangkan pada 2030 mendatang, targetnya 100 persen kemasannya yang bisa didaur ulang. Komitmen ini akan dilakukan secara global di seluruh negara yang dinaungi oleh Coca-cola,  tentu saja salah satunya Coca-cola Indonesia. 

Pada pagelaran konferensi tersebut Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia Susi Pudjiastuti turut aktif menyuarakan untuk memaksimalkan perekonomian dari laut,  salah satunya adalah menjaga wilayah perekonomian laut masing-masing dari ancaman terotorial kapal asing. 

Menurutnya jika masalah tersebut teratasi,  maka nelayan lokal masing-masing wilayah pun akan mendapatkan hasil yang maksimal.

Baca juga: Menteri Susi : revitalisasi laut harus dilakukan

Baca juga: Luhut ingatkan pentingnya berkolaborasi dengan negara lain


Pewarta: Afut Syafril Nursyirwan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018