Jalau udah kerja nanti, mau pulang ketemu orang tua, harus disempatkan pulang, jangan terulang kejadian ini lagi.
Walau ia masih menyimpan harapan, adanya mukjizat putranya gagal terbang, atau selamat dalam kecelakaan, setiap malam, doa-doa ia panjatkan, jika benar putra sulungnya menjadi korban, setidaknya ia bisa mengujungi makamnya hanya untuk menghapus rindu yang tak sempat ia sampaikan.

"Sudah sebulan abang tidak pulang, biasanya kalau saya kangen abang pulang, tapi bulan ini tidak sempat," kata Yenti Sulastri (44) ibu dari Arif Yustian salah satu korban pesawat jatuh Lion Air PK-LQP nomor registrasi JT 610 saat ditemui dirumahnya, Jumat.

Hari keenam pascamusibah itu terjadi, rumah bercat biru di sudut gang sempit di Kampung Kelapa, Desa Rawa Panjang, Kecamatan Bojonggede, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, masih ramai dikunjungi, sanak saudara, tetangga, hingga kerabat bahkan teman sejawat.

Satu persatu mereka datang untuk memberikan dukungan moril, bahkan menawarkan Yenti untuk membeli makanan, memastikan dia tidak lupa makan di tengah duka yang menyelimuti keluarga sederhana tersebut.

Hampir tiap malam, tahlillan digelar selalu dipenuhi oleh tamu-tamu yang berempati atas kepergian Arif Yustian (20) pemuda yang dikenal baik lakunya, bertanggungjawab dan menjadi harapan keluarga.

"Saya kehilangan teman curhat," kata ibu lima orang anak itu.

Sambil membawa sepiring donat bertabur cokelat yang baru saja dia masak di dapur rumahnya, rona wajahnya ramah, bibirnya masih menyunggingkan senyum getir, tapi mata sembabnya tidak mampu ia sembunyikan, sepertinya tadi malam dia tak henti-hentinya menangis untuk putranya yang masih hilang.

Istri dari Sariyoso (54) sudah bisa menerima kenyataan bahwa putra sulungnya ikut menjadi korban jatuhnya pesawat Lion Air dalam penerbangan dari Jakarta menuju Pangkal Pinang Senin (29/10) lalu.

"Saya merasa berdosa kalau saya menyebut dia almarhum, karena saya merasa dia masih ada, salah naik pesawat. Ada harapan, tiba-tiba anak saya bilang, Ma, Abang pulang," kata Yenti mencoba menghalau rindu.



Firasat

"Ma... Maaf abang ngak bisa pulang, hujan gede di Bogor, besok pagi abang harus berangkat ke Jakarta ada kerjaan ke Bangka, doain Abang, ya, Ma...," kata Yenti mengulang pesan terakhir anaknya.

Kalimat pamitan itu disampaikan putra pertamanya dari ujung telepon, pada Minggu (29/10) malam, saat hujan deras disertai kilat dan petir yang melanda wilayah Bogor.

Dengan berat hati, Yenti mengizinkan putranya berangkat dan tak jadi pulang, walau di hatinya ada rindu yang tertahan.

"Mama kenapa..." tanya Arif malam itu.

"Mama tidak kenapa-napa, cuma kangen aja," kata Yenti mengulang percakapan dengan putranya malam itu.

Tidak biasanya, putranya sudah sebulan tidak pulang ke rumah. Biasanya setiap bulan pasti pulang di tiap pekannya. Kesibukan kerja membuat Arif tidak sempat pulang, sejak SMA putranya sudah tinggal mandiri di Kota Bogor di sebuah kos dekat kawasan Ciheuleut.

Mendadak pemuda berwajah chubby itu ditugaskan oleh perusahaannya untuk berangkat Bangka.

Yenti merasa ada rasa perih yang mengiris hatinya setiap mengingat putra sulungnya yang pergi, selain rasa rindu yang melanda, ia juga menyesali tidak sempat mengajak Arif jalan-jalan bersilaturahmi ke keluarga besarnya di Sukabumi.

"Kan Arif sudah kerja, harusnya saya sempat tuh bawa dia ke kampung buat silaturahmi sama keluarga besar saya, tapi karena adik-adiknya masih kecil lagi sakit," katanya.

Sebelum Idul Fitri, Arif pernah berencana akan mengajak mamanya jalan-jalan ke Sukabumi, untuk bersilaturahmi dengan keluarga besarnya.

Pada momen itu juga, Yenti ingat persis ketika putranya berkali-kali mengatakan kalau umurnya tidak lama lagi.

"Anaknya suka nanyain, Mah, umur abang kayaknya ngak lama, sampai tiga kali dia bilang gitu," kenang Yenti.

Mendengar pertanyaan anaknya itu, Yenti meminta anaknya untuk tidak berkata-kata demikian, dan tidak boleh bersikap mendahului Tuhan.

"Ngak kok mah, abang bercanda," kata Yenti mengulang ucapan putranya.



Daftar manifest

Arif mendadak ditugaskan ke Bangka menggantikan rekannya Krisma Wijaya yang membatalkan keberangkatan sehari sebelumnya. Padahal dia sudah berencana akan pulang ke rumah Minggu malam.

Krisma Wijaya dijadwalkan berangkat bersama dua orang lainnya yakni Darwin Harianto, dan Rohmanir Pandi Sagala. Tiket atas nama ketiganya terdaftar di manifest penumpang.

Nama Arif tidak terdaftar di manifest penumpang Lion Air PK-LQP nomor penerbangan JT 610. Yenti berharap itu adalah mukjizat bahwa putranya batal naik pesawat naas tersebut.

Senin pagi setelah mendengarkan breaking news di televisi. Yenti risau, jangan-jangan anaknya naik pesawat yang sama. Karena jadwal penerbangannya sama dengan jadwal yang disebutkan Arif.

"Anak saya itu baru pertama kali naik pesawat, katanya berangkat ke Bangka penerbangan jam 06.20 WIB dari Jakarta" katanya.

Untuk menenangkan diri, Yenti mencoba mengerjakan shalat Dhuha sembari meminta kepada Allah semoga putranya tidak menjadi korban.

Tak lama setelah mengerjakan shalat, ada yang datang mengucapkan salam dari depan pintu. Perasaan Yenti mulai tak tenang, ketika tiga orang itu memperkenalkan diri sebagai perwakilan PT Skylab Pasifik Indonesia tempat Arif bekerja.

Kedatangan mereka untuk mengkonfirmasi keluarga Arif, dan menyampaikan informasi resmi terkait kecelakaan pesawat yang dialami ketiga karyawannya. Dan memastikan keluarga mendapatkan informasi tidak simpang siur.

"Saya langsung lemes begitu tau mereka dari kantornya Arif, saya spontan langsung ngomong, anak saya kenapa pak. Benar anak saya jadi korban pak?" kata Yenti tercekat.



Husnul Khotimah

Belum usai kesedihannya mengetahui anaknya menjadi korban kecelakaan pesawat, kenyataan pahit kembali ia hadapi karena nama Arif tidak terdaftar di manifest penumpang Lion Air PK-LQP nomor penerbangan JT 610.

Jika Arif tidak terdaftar kemungkinan besar keluarga tidak mendapatkan uang duka dan uang tunggu yang dijanjikan pihak maskapai. Tetapi dengan bantuan perusahaan tempat Arif bekerja, keluarga mendapatkan haknya.

Sariyoso ayah Arif datang di pusat krisis ditemani perusahan untuk menyerahkan data dan menjalankan tes DNA untuk memudahkan identifikasi korban. Bukti-bukti diberikan, baik kamera CCTV saat Arif hendak berangkat ke Jakarta, detik-detik sebelum menaiki pesawat, serta tiket pesawat atas nama Arif Yustian.

Jumat (2/11) kemarin Sariyoso sudah mendapatkan uang tunggu dari maskapai senilai Rp5 juta. Kini keluarga masih menantikan jenazah Arif teridentifikasi, sambil menggelar tahlilan selama tujuh hari tujuh malam.

Sementara itu, proses evakuasi dari hari pertama hingga hari keenam di Tanjungpakis, Karawang, oleh Basarnas telah terkumpul 104 kantong jenazah dari lokasi kecelakaan.

Dari jumlah tersebut, 92 di antaranya sudah tiba di Rumah Sakit Polri Kramatjati, untuk dilakukan proses identifikasi dan rekonsiliasi.

 Berdasarkan hasil identifikasi dan rekonsiliasi tim DVI Polri, sudah ada tujuh korban yang terindentifikasi, Jannatun Cintya Dewi, Candra Kirana, Moni, Haizkia Jorry Saroinsong, Endang Sri Bagusnita, Wahyu Susilo, dan Fauzan Azima.

Lima hari larut dalam kesedihan, Yenti tersadar ketika sedang berbaring di atas sajadah, anak keempatnya Kya Hanifa Malani (7) adik perempuan Arif berbisik ke telingannya.

"Ma, kayaknya kya belum makan, perut Kya sakit, perih," kata Yenti meniru ucapan putri semata wayangnya.

Bisikan itu seketika menyadarkan Yenti, bahwa dia tidak boleh larut dalam kesedihan karena anak pertamanya sudah dipanggil Tuhan. Kesedihannya telah membuat empat anaknya terabaikan.

Untuk membangkitkan semangatnya, Yenti berkaca pada korban gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah yang menghantam satu keluarga. Sementara ia hanya kehilangan seorang anak, ada empat anak lainnya yang masih membutuhkan perhatiannya.

"Di situ saya coba ikhlas, saya tidak boleh larut dalam kesedihan, ada adik-adik Arif yang masih butuh perhatian saya, apalagi Arif sangat sayang sama adik-adiknya," kata Yenti.

Sebelum pergi ke Bangka, Arif juga berjanji akan membeli sepeda untuk dua adiknya yang masih kecil yakni Kya dan Ahmad Fabian yang masih berusia empat tahun.

?Tapi keinginan tersebut tidak sempat terlaksana, Arif lebih dulu dipanggil Tuhan, ikut menjadi korban jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP nomor penerbangan JT 610 bersama 180 penumpang dan tujuh orang kru pesawat.

"Saya baca hadist, orang yang meninggal dalam perjalanan berkerja, lalu kecelakaan, Inshaa Allah, katanya husnul khotimah. Arif anaknya baik, tidak neko-neko, harapan keluarga, ibadahnya baik, kebaikan dia sama saya, saya ikhlas, semoga anak saya husnul khotimah," kata Yenti.

Yenti dan Sariyoso sama-sama berharap, dari sekian banyak kantong jenazah yang dikumpulkan, ada salah satu jenazah anaknya. Tidak masalah baginya jika jenazah itu tidak utuh, dia akan tetap menyediakan kuburan bagi putanya, agar kelak ketika rindu dia bisa menziarinya.

"Hikmah yang saya petik, saya sampaikan ke adik-adiknya Arif, kalau udah kerja nanti, mau pulang ketemu orang tua, harus disempatkan pulang, jangan terulang kejadian ini lagi," kata Yenti.*


Baca juga: Menunggu teridentifikasinya seluruh korban Lion

Baca juga: Menanti sikap pemerintah setelah musibah Lion



 

 

Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018