Meskipun kondisi ini memalukan, tetapi kita tidak boleh menyembunyikan data
Sumba Barat Daya, NTT,  (ANTARA News) - Pemerintah Kabupaten Sumba Barat Daya di Nusa Tenggara Timur (NTT) bekerja sama dengan Universitas Queensland, Australia dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjalin kemitraan untuk melakukan riset guna menghasilkan rekomendasi dan rencana aksi penanganan kekerdilan (stunting) di wilayah tersebut.

Wakil Bupati Sumba Barat Daya (SBD) Drs Ndara Tanggu Kaha membuka lokakarya lanjutan mengenai "pengurangan kekerdilan pada masa kanak-kanak" yang berlangsung di kantor kabupaten SBD, Selasa.

Guru Besar Pembangunan Perdesaan pada Universitas Queensland, Prof. Helen Ross mengatakan kemitraan ini mempertemukan berbagai pihak yang ikut bertanggung jawab dalam mengatasi stunting pada anak-anak dengan melakukan riset bersama untuk merumuskan aksi praktis dalam mengatasi permasalahan kekerdilan khususnya di Sumba Barat Daya.

Deputi Bidang Ilmu Sosial dan Kemanusiaan LIPI Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, MA pada kesempatan tersebut menjelaskan bahwa stunting merupakan masalah kesehatan yang bukan hanya berwujud pertumbuhan tubuh yang kerdil akibat kurang gizi, melainkan juga mempengaruhi tingkat kecerdasan dan mental penderitanya.

Kabupaten Sumba Barat Daya termasuk salah satu dari 100 kabupaten di Indonesia yang mendapat fokus perhatian untuk penanganan masalah kekerdilan ini, antara lain karena di kabupaten tersebut tingkat stunting relatif tinggi, yaitu dialami oleh 1.516 anak selain 522 anak dengan status kurang gizi.

"Meskipun kondisi ini memalukan, tetapi kita tidak boleh menyembunyikan data karena melalui hasil riset dalam kerja sama ini diharapkan dapat menemukan akar penyebab dan mencarikan solusi untuk mengatasinya," ujar Drs. Ndara Tanggu Kaha.

Lokakarya yang diikuti pula olah para pejabat dari dinas-dinas terkait, LSM hingga kepala desa, diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai stunting sehingga semua pihak bisa bersama-sama mencari upaya penurunan dan mengatasi masalah tersebut.

"Sumba sudah dinobatkan oleh Majalah Focus di Jerman sebagai pulau terindah di dunia, tetapi kita malu karena menghadapi persoalan stunting," katanya.

Kekerdilan bisa terjadi antara lain karena gizi yang buruk sejak bayi di dalam kandungan, karena ibu hamil yang mengalami kekurangan nutrisi, kesalahan dalam pola makan, pola asuh, kesehatan, dan lebih luas lagi juga dipengaruhi oleh ketahanan pangan, akses terhadap makanan serta cara mengolah dan penyajiannya.

Dr. Tri Nuke Pudjiastuti menegaskan bahwa kerja sama berbagai pihak ini penting karena masalah "stunting" bukan hanya urusan kementerian kesehatan, tetapi lebih luas lagi meluputi kementerian pertanian, perikanan, Bappenas, pemberdayaan dan perlindungan perempuan dan anak, kalangan usaha dan masyarakat.

Prof. Bill Belloti dari Universitas Queensland mengemukakan bahwa secara nasional tingkat "stunting" di Indonesia mencapai 36 persen, sedangkan di Sumba Barat Daya 61,2 persen atau tertinggi di Indonesia. Sebagai ilustrasi, Timor Leste pada angka 50,2 persen, Vanuatu 28 persen, Sulu 31 persen, Papua Nugini 49,5 persen dan Australia 2 persen.

Stunting bukan masalah baru dan apabila tidak diatasi akan mengancam masa depan sumber daya manusia, karena dampaknya bukan hanya pada kesehatan fisik melainkan juga pada kesehatan mental dan kecerdasan.

Pemerintah pusat telah menetapkan kebijakan nasional pada 2017 untuk mengatasi masalah tersebut, dengan melakukan program berkelanjutan , membentuk kelompok kerja yang terpadu dalam menurunkan angka kekerdilan.

Indonesia termasuk dalam 17 negara yang mengalami beban ganda permasalahn gizi.

Baca juga: Menkes: angka kekerdilan turun jadi 30,8 persen
Baca juga: Peneliti: cegah malnutrisi dengan harga pangan terjangkau


 

Pewarta: Maria Dian A
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018