Jakarta (ANTARA News) - Perusahaan penyedia sistem pertahanan dari Swedia, SAAB, hadir di Indo Defence & Expo Forum 2018, di Jakarta, pada 7-10 November ini. Mereka mengusung berbagai sistem pertahanan yang ditawarkan kepada Indonesia ataupun yang sudah diadopsi di sini. 

“SAAB mendukung misi Indonesia untuk memodernkan angkatan bersenjatanya dan memajukan industri berteknologi tinggi dalam negeri. Dengan diperkenalkannya UU Nomor 16/2012 tentang Industri Pertahanan, Indonesia sedang menuju kemandirian kapabilitas pertahanan dan SAAB menaati segala kewajiban tentang ini,” kata Kepala Perwakilan SAAB di Indonesia, Anders Dahl, di Jakarta, Rabu. 

Di antara sistem pertahanan yang mereka bawa, adalah sistem peringatan dini, intelijen, dan komando Erieye berbasis pesawat propeler SAAB 2000, pesawat tempur multiperan Gripen serie, dan sistem pertahanan titik Very Short Range Air Defence RBS 70 NG. 

Indonesia sejak 1992 sudah mengadopsi sistem pertahanan titik artileri ringan RBS 70, yang diakuisisi dalam paket pengadaan senjata pada masa itu. Setelah puluhan tahun, sistem ini perlu diremajakan dan dipercanggih. 

Dalam uji coba di Sumatera Selatan, beberapa waktu lalu, sistem RBS 70 ini tetap dapat berfungsi secara sempurna. 

“Bayangkan, setelah puluhan tahun dan masih berfungsi baik,” kata Dahl. 

Tentang Gripen, yang dinamakan dalam nomenklatur resminya, JAS39 Gripen, Kepala Komunikasi SAAB Asia Pasifik, Robert Hewson, menyatakan, “Pesawat tempur ini dirancang pada dasawarsa ’90-an dan didedikasikan untuk mampu mengatasi pesawat tempur Uni Soviet pada masa itu, yaitu MiG dan Sukhoi, bahkan Sukhoi Su-27 Flanker.”

Ia mengatakan, pernah bertemu dengan pilot tempur Angkatan Udara Kerajaan Swedia yang pertama kali berjumpa dengan Sukhoi Su-27 Flanker Angkatan Udara Uni Soviet pada saat itu, di atas Laut Baltik. 

“Ia adalah pilot pertama negara-negara Barat yang melihat secara langsung Sukhoi Su-27 di udara; sementara negara lain blok Barat hanya menjumpai mereka melalui foto-foto satelit,” kata dia. 

JAS39 Gripen merupakan salah satu pesawat tempur bermesin tunggal yang masuk dalam daftar alternatif pengganti F-5E/F Tiger II dari Skuadron 14 TNI AU. Program pengadaan pengganti F-5E/F Tiger II ini masuk dalam program pengadaan sistem kesenjataan pada fase Kekuatan Esensial Minimum II, yang berakhir pada 2019 ini. 

Hewson menyatakan, Swedia merupakan negara yang berbatasan langsung di utara dengan Rusia, terutama di Laut Baltik. Di situlah "theater utama" di mana pesawat tempur Angkatan Udara Kerajaan Swedia sering bersua dengan koleganya dari Angkatan Udara Swedia.

“Mereka memiliki kekuatan udara dalam jumlah besar, berkekuatan besar, dan disegani. Swedia menghadapi itu dengan mengandalkan kekuatan yang berbeda, sistem informasi tempur dan komando yang berjejaring, DataLink 16, dan handal pada keadaan minimum sekalipun,” kata dia. 

Di antara kondisi minimum yang dia maksud adalah kemampuan JAS39 Gripen untuk mendarat dan lepas landas di jalan raya dengan tanpa persiapan apapun untuk pengoperasian pesawat tempur. Untuk bisa lepas landas dan mendarat dalam konfigurasi tempur-lengkap persenjataan, JAS39 Gripen hanya memerlukan "landasan" di jalan raya sepanjang kurang dari 700 meter saja. 

Sedangkan Erieye SAAB 2000 merupakan sistem peringatan dini di udara dan komando-kendali yang mampu menyapu apapun di udara, darat, dan laut hingga jarak 450 mil laut. Untuk bentangan Indonesia yang memiliki panjang hingga 5.000 kilometer, cukup dilayani oleh dua atau tiga Erieye SAAB 2000 di udara. 

Sistem radar Erieye ini dikembangkan dan dibuat di pusat penelitian dan pengembangan radar SAAB di Gotheborg, di mana sistem radar dan peringatan dini darat-laut, Giraffe, Sea Girrafe, dan Giraffe 1-X, juga dibangun. 

Pewarta: Ade P Marboen
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018