Waktu menunjukkan pukul 20.00 WIB ketika memasuki gapura bertuliskan Pasar Mambo. Terlihat banner bergantungan di atas tenda dengan tulisan berbagai macam hidangan yang dijual, seperti bubur kacang hijau, pecel lele, dan sate.

Aneka tulisan kuliner milik pedagang di Jalan Hasannudin Telukbetung, Kota Bandarlampung tersebut, tinggal sebagian dari banyaknya pedagang di era keemasan Pasar Mambo.

Nama Pasar Mambo saat ini tidak begitu dikenal masyarakat, bahkan penulis pun sempat bertanya di mana lokasi pasar tersebut. Ternyata masih ada plang atau gapuranya.

Pasar Mambo kini lebih dikenal dengan Pasar Kangkung --yang keduanya sejak lama sudah dikenal warga untuk sebutan lokasi yang sama.

Kisah Pasar Mambo digali dari beberapa sumber, pertama dikenal warga sekitar tahun 90-an. Di lokasi tersebut dulu kental dengan nuansa tindak kejahatan, pemalakan, maupun perempuan malam. Namun, kemudian berubah drastis setelah pemerintah setempat mengubah menjadi pasar khusus kuliner yang nyaman untuk dikunjungi.

Namun, aktivitas di pasar tersebut kini tidak seramai dulu. Kendati demikian, sebagian pengais rezeki malam itu tetap bertahan dalam melawan embusan dinginnya angin malam demi memikirkan langkah hidup ke depan selanjutnya.

Dari cerita masa lalu, pemberian nama Pasar Kangkung dilatarbelakangi adanya tanaman kangkung saat lokasi itu masih berparas rawa dan sawah, sedangkan untuk sebutan Pasar Mambo bermula dengan sebutan bahasa Jawa, "mambu" yang artinya "bau".

Sunardi, salah satu pedagang gorengan dan kopi di pasar itu, mengatakan ceritanya dulu, kalau orang bertanya mau ke mana, mereka jawab pergi ke pasar mambu.

Karena dulu kondisi pasar yang padat, kumuh, bahkan jika hujan turun maka jalan digenangi air sehingga menimbulkan bau yang tak sedap.

Pria berumur 60 tahun itu melanjutkan ceritanya tentang Pasar Mambo. Di lokasi tersebut terbagi menjadi tiga pasar. Selain Pasar Mambo ada dua pasar lagi yang berdekatan. Dua pasar itu, biasa dia dan warga lainnya menyebut dengan Pasar Ayam dan Pasar Kliwon.

Lelaki itu mengaku berdagang di Pasar Mambo sejak 1983. Pada tahun 83-an pasar-pasar ini tidak ada namanya.

Seiring dengan berjalan waktu, barulah diberi nama dengan sebutan Pasar Mambo, Pasar Kliwon, dan Pasar Ayam. Penyebutan nama itu dilakukan oleh perkumpulan pedagang pasar yang diresmikan di Jalan P. Emir M. Nur Bandarlampung beberapa tahun lalu.

Dari cerita yang terhimpun, saat ramai dulu pasar tersebut menjadi lokasi favorit untuk wisata kuliner. Selain itu, muncul musisi jalanan yang mengamen baik sendiri maupun kelompok dengan suaranya yang enak didengar sambil menikmati santapan yang terhidang.

Meskipun demikian, masih banyak warga yang sudah cocok lidahnya dengan masakan dari pedagang aneka makanan di Pasar Mambo sehingga mereka tetap setia mengunjungi, atau dengan kata lain sebagian pedagang sudah memiliki pelanggan setia tersendiri.



Jauh Berbeda

Sunardi mengemukakan aktivitas di pasar itu, kini sangatlah jauh berbeda dibandingkan dengan saat di mana dirinya masih muda dan gagah menjual gorengan serta minuman, seperti kopi dan bandrek.

Dia menjelaskan penjual kuliner malam di daerah itu sudah jarang-jarang atau sepi dan tidak merata.

Berbeda dengan era keemasan dulu. Pedagang kuliner berhimpitan namun banyak pula pembeli yang datang. Perputaran uang sangat kencang.

Sekarang, lanjut warga Jalan Ikan Layur, Kelurahan Telukbetung, Kecamatan Telukbetung, Bandarlampung itu, kondisi pedagang tidak merata. Artinya, di sini ada dua pedagang nanti jarak berapa meter baru ada pedagang lagi.

Meskipun demikian, kakek yang sudah mempunyai tujuh cucu itu tetap bersikeras mencari rezeki di pasar tersebut.

Pakde, sapaan akrabnya di pasar, kembali menjelaskan bahwa sebelumnya lokasi jajanan kuliner malam yang berada di Pasar Mambo itu dipindahkan di wilayah Gudang Agen.

Tidak lama dari itu, kemudian jajanan kuliner yang berada di Gudang Agen kembali dipindahkan di wilayah Pasar Tengah.

Namun, lantaran sepi pembeli di dua lokasi itu, akhirnya sebagian pedagang kembali ke Pasar Mambo dan sebagian lagi ada yang menetap di lokasi baru atau berhenti berjualan.

Menyinggung soal keamanan, menurutnya, aman zaman saat ini.

Dia mengaku zaman dahulu tidak aman dengan adanya kebrutalan preman dan aksi palak oleh orang-orang yang merasa kuat dan gagah. Belum lagi lokasi itu sering dijadikan tempat para pemabuk dan penjudi.

Para pemabuk dan para perempuan malam ada di tempat itu. Bahkan, dulu dalam sehari, dua sampai tiga kali sering terjadi keributan. Entah apa yang diributkan, mungkin mulai dari perebutan wilayah hingga pengaruh alkohol.

Tapi, ia mengaku tidak ambil pusing. Tujuannya merantau ke Sumatera dari Jawa hanya untuk mengadu nasib. Ia juga tidak terpengaruh dengan suasana yang brutal saat itu. Baginya uang dan keluarga adalah tujuan utamanya.

Hal yang sama dikatakan juga oleh pedagang lainnya, Musaiman, yang sudah termasuk cukup lama beraktivitas di pasar itu.

Ia juga mengungkapkan bahwa Pasar Mambo dulu adalah pasar yang suram dan kumuh.

Sekarang saja, ia menyebutnya sudah agak mendingan. Sebenarnya sekarang juga sebutannya masih Pasar Mambo karena plangnya sendiri masih nama Pasar Mambo.

"Karena kebanyakan orang menyebut Pasar Kangkung, maka terkenalnya saat ini sebagai Pasar Kangkung," kata penjual nasi uduk yang lapaknya bersebelahan dengan Nardi itu.

Obrolan berakhir dengan Musaiman ketika waktu menunjukkan pukul 02.00 WIB.

Sunardi dan Musaiman juga terlihat sedang mengemas barang-barang dagangannya untuk bersiap-siap pulang dan beristirahat guna mengumpulkan tenaga untuk berdagang kembali nanti malam serta berharap banyak pembeli yang datang.

Pengamatan di lapangan, Pasar Mambo masih bisa dijadikan lokasi wisata malam, khususnya wisata kuliner karena beragam hidangan, seperti aneka makanan hasil laut yang segar bisa menjadi pilihan utama.

Tidak sulit mendapatkan bahan baku aneka kuliner tersebut. Belum lagi, aneka kuliner dari beberapa daerah lain juga tersedia di tempat itu.*



 

Pewarta: Triono Subagyo dan Damiri
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018