Jakarta (ANTARA News) - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, Prof Dr Suriyaman Mustari mengatakan abai terhadap pengajaran hukum adat merupakan pelanggaran terhadap Pasal 18b Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam aturan itu disebutkan, negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.

Dengan begitu, upaya menghapus mata kuliah hukum adat dari kurikulum merupakan perbuatan "inkonstitusional", atau bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan.

"Direktorat Perguruan Tinggi, (Dikti), seyogianya tegas dalam memberi sanksi terhadap perguruan tinggi hukum yang telah menghapus mata kuliah tersebut, karena melawan konstitusi," kata Prof Suriyaman usai menghadiri seminar di Bandung, Selasa.

Menurutnya, amandemen Pasal 18b UUD mengenai eksistensi masyarakat adat merupakan pemikiran para tokoh reformasi yang prihatin dengan perkembangan hukum nasional yang cenderung "kebarat-baratan" dan bersifat individual.

Para tokoh reformasi itu ingin mengembalikan jati diri bangsanya.

Dengan demikian, guru besar Unhas itu menegaskan, menghapus kurikulum hukum adat bukan hanya melawan konstitusi, tetapi juga mereduksi jati diri bangsa Indonesia.

"Para pengajar hukum adat yang akan menghapus mata kuliahnya, seyogianya meninjau ulang pemikiran itu agar tidak merugikan keinginan mahasiswa yang ingin mendalami masalah-masalah adat di masa depan," tambahnya.

Seminar yang diselenggarakan Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, Selasa, mengambil tema "Inovasi Pembelajaran Hukum Adat Berbasis KKNI".

Acara itu dihadiri hampir seluruh pengajar hukum adat perguruan tinggi negeri dan swasta se Indonesia.

Seminar itu dibuka oleh Inspektur Jenderal Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Perguruan Tinggi, bersama Rektor Universitas Parahyangan Mangadar Situmorang, PhD.

Keduaya mengusulkan agar hukum adat dijadikan bagian dari Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), terhadap para mahasiswa dan pengajar.

Prof. Dr. Catharina Dewi Wulan Sari, Guru Besar Universitas Parahyangan menambahkan, pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.

Dalam pendidikan tinggi, kualitas sumber daya manusia menjadi kunci keberlangsungan dan pencapaian kualitas pendidikan. Bekal ilmu pengetahuan tanpa keterampilan akan menurunkan daya saing para lulusan di era globalisasi ini.

Oleh karenanya, civitas akademika harus memahami pentingnya faktor keterampilan yang harus dimiliki baik oleh dosen maupun mahasiswa. Untuk itu, kurikulum perguruan tinggi harus disesuaikan dengan apa yang disebut sebagai KKNI, yang didalamnya juga menyerap hukum adat.

Sementara itu, Ketua Umum Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, Dr Laksanto, menambahkan, APHA akan segera mengirim surat ke Menteri Pendidikan Tinggi Riset dan Teknologi, untuk tetap mempertahankan kurikulum hukum adat pada fakultas hukum, tetapi juga mengajak kerja sama dengan Komnas Ham dan Lembaga Bantuan Hukum lainnya untuk melakukan advokasi terhadap masyarakat adat yang tanahnya tergusur oleh para pengusaha atau pengembang.

Selama negara masih membiarkan penguasaan tanah dikuasai oleh segelintir orang, konflik tentang tanah baik yang dimiliki petani maupun dihuni oleh kaum adat, akan terus terjadi sepanjang tahun, karena para konglomerat mempunyai nafsu haus untuk terus menguasai tanah guna mengembangkan usahanya sejalan dengan minipisnya lahan-lahan tanah di wilayah nasional.

Tanah yang saat ini dihuni oleh kaum adat, untuk lahan pertanian, perkebunan dan konservasi, secara sistematis berubah menjadi lahan industri dan pariwisata yang lebih banyak dikuasai oleh para konglomerat itu. Itulah sebabnya, APHA akan menggandeng Komnas Ham dan YLBHI untuk sama-sama melakukan advokasi terhadap kaum adat yang selalu dikalahkan atau terpinggirkan oleh proses pembangunan itu.

Semua pihak berharap Negara hadir mengatur manajemen penguasaan tanah agar tidak terakumulasi kedalam satu kelompok kecil, karena sesungguhnya kaum adat atau kelompok yang disebut marjinal dan terpinggirkan itu ada dan lahir jauh sebelum Negara ini memproklamasikan kemerdekaannya.

Laksanto menegaskan, APHA mempunyai keprihatinan terhadap proses perkembangan ekonomi yang cenderung mengabaikan hak-hak masyarakat adat.

Baca juga: Pemerintah diminta serius perhatikan masyarakat adat
Baca juga: Menteri: Hukum adat harus fleksibel untuk perempuan
Baca juga: Pembangunan hukum dinilai gagal jika tak menyerap hukum adat


 

Pewarta: Theo Yusuf Ms
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018