Jakarta (ANTARA News) - Mantan penggawa tim nasional Prancis, Lilian Thuram, mengungkapkan bahwa kejayaan Negara Ayam Jantan itu dalam kontes Piala Dunia 1998 dan 2018 telah mengendurkan ketegangan rasial serta mengubah sikap warga terhadap para imigran.

Hal itu, kata Thuram, tidak lepas dari keberagaman latar belakang pemain yang memperkuat skuat Prancis dalam meraih dua trofi Piala Dunia tersebut.

"Kesuksesan tersebut sungguh bermanfaat, sebab ketika Prancis juara dan orang-orang mengamati timnya, itu membantah segala anggapan terhadap imigran," kata Thuram dalam wawancara dengan Reuters di Stadion Nou Camp, Barcelona, Spanyol, sebagaimana disiarkan Kamis dini hari WIB.

Thuram hingga saat ini masih menjadi pemain yang memegang rekor penampilan terbanyak bersama timnas Prancis dan ia adalah bagian dari skuat yang meraih trofi Piala Dunia pertama mereka pada 1998 di hadapan publiknya sendiri.

Ia juga mencetak dua gol ke gawang Kroasia pada pertandingan semifinal dua dasawarsa silam.

"Lewat sepak bola orang-orang bisa melihat bahwa banyak sekali pemain terbaik di dunia mengawali hidupnya sebagai anak-anak miskin, yang dalam banyak kasus berasal dari keluarga imigran," kata Thuram.

"Maka, ketika Prancis memenangi pertandingan apapun, itu sangatlah penting bagi citra negara dan citra komunitas imigran," ujarnya menambahkan.

Baca juga: DFB akui kesalahan terkait Ozil

Baca juga: Buntut insiden rasis, Rumania main tanpa penonton

Thuram yang pernah berkarier di AS Monaco, Parma, Juventus dan Barcelona memang dikenal kerap mengemukakan pandangan politiknya, di antaranya terkait kaum marjinal di area suburban Paris dalam kericuhan 2005 silam dengan melancarkan kritik keras atas pelabelan yang dilakukan Presiden Prancis kala itu, Nikolas Sarkozy, terhadap para pelaku kericuhan sebagai "bajingan".

Thuram mengatakan perjuangan melawan prasangka buruk terhadap imigran masih belum selesai, termasuk di negaranya sendiri, namun ia percaya kesuksesan Prancis meraih Piala Dunia di Rusia musim panas lalu yang disokong pemain seperti Paul Pogba dan Kylian Mbappe turut berkontribusi terhadap pembicaraan yang lebih cair terkait hubungan antarras di negara tersebut.

"Saat timnas menang, diskusi tentang imigran jauh lebih tenang," ujarnya.

Hanya saja, pengalaman berkata lain lantaran kesuksesan Tim Pelangi Prancis pada 1998 yang berisikan pemain keturunan Aljazair (Zinedine Zidane), pemain kelahiran Senegal (Patruick Vieira), tak mampu menyembuhkan ketegangan ras dalam waktu yang lama.

Partai politik berhaluan kanan jauh, Perhimpunan Nasional (RN), yang kala itu masih bernama Front Nasional memperoleh pengaruh yang lebih luas di tahun-tahun setelah kemenangan Prancis atas Brazil pada final 1998, bahkan ketuanya Jean-Marie Le Pen menempati urutan kedua dalam pemilihan presiden 2002.

"Tentu saja, satu kemenangan tidak akan mengubah segalanya semudah itu ataupun menghilangkan masalahnya sama sekali. Namun, 1998 merupakan momen penting, yang membantu melegitimasi imigran. Dan kini lebih mudah membicarakan isu-isu tersebut dibanding masa-masa sebelumnya," kata Thuram.

Baca juga: Prancis demam kaos Les Bleus

Baca juga: Paris ubah nama enam stasiun metro, hormati bintang Piala Dunia

Penerjemah: ANTARA
Editor: Gilang Galiartha
Copyright © ANTARA 2018