Jakarta, (ANTARA News) - Sejumlah lukisan tokoh pewayangan seperti Bima, Arjuna, Punawakawan, Narada dan lainnya dalam gaya klasik berbaur dengan lukisan obyek sehari-hari seperti pemandangan alam, manusia ataupun binatang dengan gaya yang lebih modern.
     
Dua gaya maupun obyek lukisan yang berbeda itu hasil dari jiwa seni para pelukisnya yang berasal dari dua generasi berbeda yakni sang ayah dan sang anak  yang dipajang di Balai Budaya Jakarta, sejak 11 - 19 November 2018.
   
Pameran seni rupa bertajuk "Dua Generasi; Yang lalu dan sekarang" menjadi tali penyambung antara Darmono Donodirdjo (1918-2001) dengan kedua putrinya Diah Widiati dan Nunuk Darmono (keduanya tidak menyebutkan tahun kelahiran).
     
Nunuk Darmono dalam perbincangan dengan Antara di Balai Budaya mengakui, menyukai lukisan sudah sejak sekolah dan hingga kini setelah pensiun dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia terus menyalurkan kegemarannya itu.
   
 "Melukis menjadi kegiatan saya sehari-hari, apalagi setelah pensiun memiliki banyak waktu luang," ujar putri bungsu Darmono itu.
     
Perempuan kelahiran Jakarta, 7 Agustus yang memiliki nama asli Dyah Windajani itu belajar melukis secara otodidak, namun sejak SLA dia sudah aktif di Bengkel Pelukis Jakarta Taman Ismail Marzuki dan Pusat Pengembangan Kesenian Jakarta (PPKJ) Rasuna Said Kuningan Jakarta, Selatan.
     
Pada 1977 dia mendirikan sanggara pelukis perempuan, selama dua tahun hingga 1978 sejumlah pameran lukisan diikutinya seperti Pameran Lukisan Pelajar SLA se Jakarta (1976),  Pameran Seni Rupa Bengkel Pelukis Jakarta, LPKJ TIM (1977 dan 1978), Pameran Lukisan Jakarta dalam Sketsa di TIM (1978) dan Pameran Bersama remaja Asean di Belanda dan Bangkok (1977).  
     
Namun selama 40 tahun Nunuk sempat vakum dari dunia seni lukis dan sejak Februari 2018 kembali aktif berpameran diantaranya Pameran Perempuan Dalam Konteks Kebudayaan Dunia (Maret), Pameran bersama Yayasan Menteng 6, "Breaking The Wall" (April) dan Pameran bersama Kelompok 17 "Harapan" (Juli).
     
Lukisan Nunuk yang dipamerkan dalam Dua Generasi merupakan karya yang dibuat dari tahun 1976 berjudul "Kucing Tidur" berupa karya crayon di atas kertas. Kemudian karya tahun 1978 yakni "Potret Diri" yang  menggambarkan sosok dirinya saat masih SLA  dan "Terkurung" menampilkan lampu minyak tanah dan seekor burung dalam kurungan bambu dalam guratan arang kayu di atas kertas dan masih hitam putih. 
     
Pada karya-karya yang dibuat tahun 2018 Nunuk menampilkan lukisan dengan obyek pemandangan alam,  bangunan rumah, gedung, jembatan ataupun masjid, hingga patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) serta kapal-kapal laut.
     
"Menembus Badai" dan "Indahnya Lautku" menggambarkan kapal laut yang dilukis Nunuk dengan gaya impresionis dalam warna-warna yang kelam, hijau tua serta hitam yang sepertinya sang pelukis ingin menunjukkan kerasnya perjuangan. Dalam karya berjudul "Memenuhi Panggilan-Mu" dan "Jabal Rahma" Nunuk menampilkan bangunan masjid yang masih didominasi warna-warna gelap sebagai landskap alamnya.
     
 
Nunuk Darmono,  Diah Widiari dan sang ayah Darmono dalam pameran "Dua Generasi Yang Lalu dan Sekarang" di Balai Budaya, Jakarta, Sabtu. (katalog)

Berbeda dengan sang adik, Diah Widiarti yang merupakan putri tertua Darmono lebih banyak menyuguhkan lukisan yang berwarna cerah, dominasi warna kuning, biru muda dan merah atupun oranye dengan obyek pemandangan alam gunung , laut dan suasana pedesaan.
     
 Pendidikan S2 dan S3 yang dilalui Diah di Australia sepertinya turut mempengaruhi obyek-obyek lukisan yang diangkatnya seperti terlihat dalam "Autum Cottage", "House by The River", "A Street" ataupun "Village 1" dan "Village 2" menggambarkan suasana alam pedesaan bergaya Eropa.
     
Sementara latar belakang Darmono Donodirdjo yang pada  masa kanak-kanaknya suka mendatangani dan memperhatikan pengrajin wayang tak heran  hampir semua sosok dari tokoh pewayangan terekam di kepalanya dan menjadi obyek lukisannya.
     
Gaya lukis Darmono dalam menggambarkan sosok pewayangan tidak banyak berbeda dengan tokoh-tokoh  pewayangan yang terlihat selama ini. Dia sepertinya lebih memilih menumpahkan apa yang dilihat dan direkam dalam pikiran apa adanya tanpa harus melakukan perubahan-perubahan.
   
 Maka muncullah "Bratasena", "Gatotkaca , Srikandi dan Arjuna" "Dasamuka", "Batara Narada", "Baladewa" , "Bima melawan Naga" hingga "Hanoman" yang semuanya dibuat tahun 1999 berupa lukisan cat minyak di atas kanvas dengan warna-warna sederhana.
   
Meskipun dengan karakter dan corak yang berbeda namun latar belakang hobi yang sama telah menyatukan ayah dan kedua putrinya dalam melahirkan karya-karya seni. Perjalanan panjang puluhan tahun dalam menggeluti seni lukis dan kecintaan terhadap dunia seni lukis menjadikan keputusan bagi Nunuk maupun Diah Widiarti kembali menekuni dan melanjutkan hobi yang sudah ditekuni sang ayah sebagai "gotrah" atau keluarga pelukis.              
      
          
      

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2018