Masih berlanjutnya efek perang dagang antara AS dan Tiongkok menjadi salah satu penyebab perlambatan ekonomi dunia tahun depan
Jakarta (ANTARA News) - Lembaga kajian ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memprediksikan pertumbuhan ekspor Indonesia pada 2019 berpotensi tertekan seiring masih melambatnya pertumbuhan ekonomi global.
   
Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal dalam diskusi CORE Economic Outlook 2019 di Jakarta, Rabu (21/11/2108) mengatakan, daya dorong ekonomi global terhadap ekonomi domestik pada 2019 diprediksi masih terbatas.

Pasalnya, pertumbuhan ekonomi negara-negara yang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia seperti Tiongkok, Amerika Serikat, Uni Eropa, diperkirakan akan mengalami perlambatan tahun depan.
   
Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksikan pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan melambat dari 6,5 persen tahun ini menjadi 6,2 persen pada 2019, AS melambat dari 2,9 persen menjadi 2,5 persen, sementara Uni Eropa melambat dari 2,2 persen menjadi 2 persen. Bahkan pertumbuhan negara-negara ASEAN pun diprediksi melambat dari 5,3 persen menjadi 5,2 persen.
   
"Masih berlanjutnya efek perang dagang antara AS dan Tiongkok menjadi salah satu penyebab perlambatan ekonomi dunia tahun depan," ujar Faisal.
   
Ia menuturkan, perlambatan ekonomi negara-negara mitra dagang terbesar, berpotensi menekan permintaan terhadap impor negara-negara tersebut. Pada saat yang sama, harga sejumlah komoditas, termasuk komoditas andalan Indonesia seperti kelapa sawit, batubara, dan karet, cenderng melemah.
   
"Ditambah dengan efek kebijakan sejumlah negara-negara tujuan ekspor utama, seperti AS, Uni Eropa, dan India, yang masih cenderung protektif, pertumbuhan ekspor Indonesia tahun depan berpotensi terus tertekan," kata Faisal.
   
Faisal menambahkan, gejala pelemahan ekspor khususnya ke pasar utama sudah terlihat sejak 2018. Pada periode Januari hingga Oktober 2018, ekspor nonmigas ke AS hanya tumbuh 3,7 persen, seperti ga dari pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai 10,3 persen. Ekspor nonmigas ke Tiongkok memang masih tumbuh 22 persen, tapi capaian itu sebenarnya kurang dari separuh pertumbuhan ekspor pada  periode yang sama pada 2017.
   
Pelemahan nilai tukar rupiah, lanjutnya, nampaknya tidak banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekspor. Menurut Faisal hal tersebut wajar saja mengingat ekspor Indonesia sebagian besar masih merupakan ekspor komoditas yang lebih banyak terpengaruh oleh harga di pasar global.
   
Sementara itu, pertumbuhan ekspor manufaktur malah jauh lebih lambat lagi, yakni hanya mencapai 5 persen berbanding ekspor komoditas yang mencapai 22 persen sepanjang Januar hingga Oktober tahun ini.
   
"Manakala pertumbuhan ekspor masih tertekn, akselerasi impor yang terjadi pada tahun ini nampaknya masih akan sukar untuk dikendalikan tahun depan. Pasalnya, dua faktor eksternal pendorong utama percepatan impor yakni pelemahan Rupiah dan peningkatan harga minyak dunia, masih eksis di tahun 2019," ujar Faisal.
  
Meskipun dalam sebulan terakhir harga minyak melemah akibat kebijakan dispensasi AS terhadap ekspor minyak Iran, potensi untuk kembali meningkat di tahun depan sangat besar sejalan dengan rencana negara-negara OPEC, khususnya Arab Saudi dan Rusia, untuk melakukan pemangkasan produksi (prodouction cut) tahun depan.
   
Begitu pula tekanan terhadap Rupiah, Faisal memprediksi masih berlanjut meskipun relatif lebih jinak dibandingkan tahun ini. Sementara pelemahan Rupiah tidak banyak berdampak pada penguatan ekspor, pada sisi impor justru memiliki daya dorong sangat signifikan.
   
"Pasalnya, berbeda dengan struktur ekspor yang didominasi komoditas, struktur impor sangat didominasi oleh produk manufaktur, baik dalam bentuk barang konsumsi, barang modal, maupun bahan baku dan penolong industri," kata Faisal.

Baca juga: Pemerintah perluas PPN ekspor jasa nol persen
Baca juga: Presiden Jokowi minta terus dilakukan perbaikan bidang investasi

 

Pewarta: Citro Atmoko
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2018