Jakarta (ANTARA News) - Perkembangan pesat teknologi kesehatan digital dinilai perlu diimbangi dengan upaya perlindungan konsumen dan harus diantisipasi oleh pemangku kepentingan.

"Pengobatan jarak jauh semakin dimungkinkan, orang mulai menggunakan perangkat elektroniknya untuk berkonsultasi dengan dokter, berbagi informasi kesehatan antar sesama pasien, memesan dan membeli obat, dan bahkan untuk mengambil data kesehatan pasien," ujar praktisi kesehatan Claudia Lauw Lie Hoeng dalam keterangan pers yang diterima Antara di Jakarta, Kamis.

Claudia yang juga Managing Partner Deloitte Indonesia itu, menambahkan pihaknya bersama Bahar dan Chapters Indonesia melakukan studi mengenai perkembangan teknologi kesehatan digital.

Studi ini mengupas berbagai sisi, baik tentang teknologi kesehatan yang digunakan oleh para praktisi di rumah sakit, maupun aplikasi teknologi yang bisa diakses langsung oleh masyarakat berikut berbagai layanan yang ditawarkan.

"Hasil studi ini menunjukkan perkembangan yang sangat pesat dalam industri kesehatan digital, faktor keamanan baik bagi industri maupun konsumen menjadi fokus perhatian kami. Kami berharap, studi ini dapat memberikan masukan konstruktif bagi para pengambil keputusan untuk membangun infrastruktur e-Health yang kokoh di Indonesia," kata dia.

Perkembangan industri di bidang kesehatan digital itu, kata dia, belum diimbangi dengan perlindungan berupa regulasi hukum yang melindungi dan menjelaskan ruang lingkup layanan para pemanfaat, serta masih longgarnya kewajiban vendor yang mengelola sistem elektronik di bidang kesehatan digital, dan belum adanya pusat data.

Direktur Chapters Indonesia, Dr Luthfi Mardiansyah, mengatakan untuk membangun teknologi kesehatan digital yang kuat dan mumpuni perlu mengikutsertakan dan mendapat masukan dari para pemangku kepentingan.

"Hasil dari studi ini akan diserahkan kepada pemerintah sebagai masukan bagi kementerian terkait untuk mendorong perbaikan infrastruktur di bidang kesehatan digital dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat dan kemajuan kesehatan digital di masa depan," kata Luthfi.

Managing Partner firma hukum Bahar, Wahyuni Bahar, mengatakan berdasarkan pengalaman negara-negara lain, proteksi hukum baik bagi pelaku industri e-Health maupun masyarakat luas sebagai pemanfaat sangat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan teknologi dalam industri ini.

Kasubbag Peraturan Bidang Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, dr Yanti Herman, SH MKes menyatakan rasio jumlah dokter masih cukup tapi jumlah persebarannya yang tidak merata. Hanya di Jakarta, Jogja dan Bali yang memenuhi target.

Untuk mengatasi masalah diatas Kemenkes sudah melakukan beberapa regulasi seperti seperti wajib kerja dokter spesialis yang sudah diatur melalui aturan Kemenkes, aturan Permenkes No 90 tahun 2015 untuk pasien yang terletak di daerah terpencil dan sangat terpencil juga telah dilakukan uji coba. Ini semua dilakukan untuk pemerataan upaya kesehatan.

Beberapa kendala dalam pengobatan jarak jauh seperti belum adanya Permenkes yang mengatur secara khusus pengobatan virtual. Selain itu harus memiliki surat ijin praktik yang belum diatur untuk pengobatan jarak jauh. Hal itu dikarenakan di UU praktek kedokteran dan Permenkes 2.052 tahun 2011 dan turunannya itu berdasarkan alamat.

Dalam penyelenggaraan tele-medicine harus ada kolaborasi antara UU Praktik Kedokteran dan UU ITE.*


Baca juga: Telemedicine diharapkan tingkatkan kompetensi dokter

Baca juga: 20 RS pendidikan ikuti lokakarya telemedicine Indonesia


 

Pewarta: Indriani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018