Jakarta (ANTARA News) - Institute for Criminal Justice Reform meminta Mahkamah Agung berhati-hati dalam mengadili kasus WA, perempuan korban kekerasan perempuan asal Muara Bulian, Jambi, yang sempat terancam hukuman pidana enam bulan karena menggugurkan kandungan hasil perkosaan yang pelakunya adalah kakak kandung sendiri.

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara di Jakarta, Kamis, mengatakan Mahkamah Agung (MA) harus dapat melihat kedudukan WA sebagai korban dalam kasus sehingga dalam penerapan hukumnya mendapat terobosan, sebagaimana yang dilakukan oleh hakim di tingkat banding.

Setelah divonis enam bulan penjara pada Juli 2018, Pengadilan Tinggi Jambi pada 27 Agustus 2018 dalam pemeriksaan tingkat banding memutus  lepas anak korban perkosaan dan melepaskannya dari segala tuntutan dengan pertimbangan adanya daya paksa ketika WA melakukan perbuatannya.

Namun, kasus ini sampai ke MA, setelah Jaksa mengajukan kasasi kepada MA atas putusan lepas ini.

”MA harus dapat bertindak tegas dengan menolak kasasi WA ini dan memperkuat putusan Pengadilan Tinggi Jambi yang menyatakan WA lepas dari segala tuntutan pidana,” kata Anggara.

Anggara menyebut MA harus memahami bahwa dalam kerangka perlindungan korban kekerasan seksual, terdapat prinsip-prinsip yang memang tidak dapat diabaikan dan harus diberikan perlindungan yang maksimal dalam keadaan apapun. 

Pemidanaam terhadap WA pun sama sekali bukanlah hal yang tepat, mengingat posisi WA sebagai korban perkosaan yang seharusnya direhabilitasi bukan justru dipidana. 

“MA harus membuktikan integritas lembaganya sebagai lembaga peradilan yang berkewajiban menegakkan hukum dan juga berkewajiban memberikan keadilan kepada seluruh pihak, termasuk kepada korban,” kata dia.

ICJR melihat terdapat kecenderungan dari Mahkamah Agung untuk melampaui kewenangannya sebagai "judex juris" atau  mengadili penerapan hukum dalam memeriksa perkara di tingkat kasasi. 

“Hal ini terlihat juga dalam kasus Baiq Nuril. MA harus berhati-hati untuk tidak melampaui kewenangannya dalam memeriksa kasus WA. MA sebagai judex juris pula, harus secara cermat melihat kasus WA sebagai bagian perkembangan dari teori mengenai daya paksa,” ucap dia.

Berdasarkan pada Pasal 48 KUHP yang berbunyi: “Orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana.”. Sehingga, interpretasi hukum yang tepat pun harus dibuat untuk kemudian diterapkan dalam kasus-kasus seperti kasus WA ini.

“Yang mana dirinya melakukan perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana, namun tidak dapat dijatuhi pidana karena tidak ditemukan kesalahan sebab dirinya melakukan tindakan tersebut atas daya paksa yang tidak dapat dihindarinya, timbul dari lingkungan keluarga,” kata dia.
 

Pewarta: Aubrey Kandelila Fanani
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018