Jakarta, 23/11 (Antara) - Ketua Asosiasi Game Indonesia Narenda Wicaksono mengatakan proses lokalisasi data (data localization) di Indonesia sulit diterapkan, karena pasar internet sudah bersifat global.

Narenda mengatakan mayoritas developer game Tanah Air membidik pasar global, meskipun ada sebagian yang manargetkan pasar lokal, kewajiban data center berada di Indonesia akan sulit diterapkan. 

“Game itu biasanya market-nya global jadi kita lebih menyukai penempatan data center di luar negeri pastinya. Kami misalnya simpan di Google Playstore atau Sony, mereka semua di luar negeri. Kalau pemerintah berani tutup Google Playstore, ya silahkan," kata Narenda, dalam keterangan yang diterima, Jumat.

Dalam draft revisi PP 82 tahun 2012, pemerintah membagi klasifikasi data elektronik menjadi tiga yakni Data Strategis, Berisiko Tinggi dan Berisiko Rendah. 

Menurut dia, hanya Data Elektronik Strategis yang harus berada di Indonesia, sedangkan penempatan Data Berisiko Tinggi dan Rendah harus memastikan efektivitas dari pengawasan sektor industri masing-masing.
 
Aturan teknis mengenai pengelolaan data akan dibuat oleh masing-masing sektor industri. 

Narenda menegaskan klasifikasi data pada industri game bukan data user yang perlu dianggap krusial sehingga wajib disimpan di Indonesia. 

Saat ini industri dan pasar game Indonesia merupakan yang terbesar di Asia Tenggara. 

Hasil penelitian dari lembaga riset industri game global, Newzoo, seperti dikutip Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menyebutkan pasar game Indonesia memiliki sekitar 43,7 juta gamer dan berpotensi menghasilkan hingga 880 juta dolar AS atau setara Rp12,5 triliun (kurs Rp 14.300) pada 2017 lalu.

“Untuk mendukung industri game, kami juga membutuhkan server yang kuat,” tegas Narenda.

Industri game dan e-commerce adalah beberapa di antara pelaku ekonomi digital yang menjadi pengguna utama data center. Riset Center for Indonesian Policy Studies memperkirakan tahun 2018 kontribusi pasar ekonomi digital di Indonesia mencapai 8-10 persen dari Produk Domestik Bruto.

Baca juga: Mastel tolak revisi PP 82 tentang data center

Optimisme tersebut didasarkan pada data Badan Pusat Statistik yang mencatat kontribusi ekonomi digital terus naik dari 3,61 persen pada 2016 menjadi 4 persen dari PDB di tahun 2017. 

Keandalan data center menjadi persoalan serius bagi para pelaku industri digital di Indonesia saat ini.
 
Pertengahan akhir Mei 2018 server tiga perusahaan e-commerce besar di Indonesia yakni Tokopedia, Bukalapak dan JD.id tumbang akibat data center yang mereka gunakan mati listrik. 

Kondisi ini seolah mengulang kejadian pada 2017 di mana tiga perusahaan e-commerce tersebut juga mengalami hal yang sama.  

Deputi Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar menilai data center seharusnya bisa ditempatkan di mana saja asalkan negara tersebut menjamin keamanan dan perlindungan data. 

"Meskipun data berada di luar negeri, ada klausul yang memungkinkan penegak hukum dan intelijen Indonesia untuk penegakan hukum atau keamanan nasional bisa membuka data itu," kata Wahyudi.

Menurut Wahyudi, kewajiban lokalisasi data harus dilihat kepentingannya dan dihitung apakah memiliki nilai strategis untuk ekonomi digital atau tidak. 

Biaya untuk membangun sebuah data center sangat mahal. 

Di Amerika Serikat, contohnya, sekitar 24 persen aliran listrik digunakan untuk menghidupi data center. 

Ironisnya di Indonesia, jaringan listrik masih sering jadi persoalan, belum lagi, persoalan bencana.

Baca juga: Keamanan data jadi alasan utama Kominfo revisi PP PSTE

 

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2018