Jakarta (ANTARA News) - Pertengahan November lalu, pemerintah kembali mengeluarkan paket kebijakan ekonomi untuk ke-16 kalinya. Paket kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk mengundang investasi masuk ke Tanah Air, ditengah ketidakpastian ekonomi global.

Dalam Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) XVI, ada tiga hal yang diberikan pemerintah untuk menarik investor antara lain  perluasan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan Badan (Tax Holiday), relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI), dan peningkatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) hasil sumber daya alam.
Perluasan Tax Holiday diharapkan dapat meningkatkan kegiatan investasi langsung pada industri pionir dari tingkat hulu hingga tingkat hilir.

Relaksasi DNI dilakukan untuk meningkatkan daya tarik dan daya saing investasi, dengan membuka beberapa bidang usaha yang dapat dimasuki oleh investor asing yang membawa teknologi, inovasi, efisiensi, dan perluasan ekspor, dan memperkuat kemitraan usaha besar dengan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan koperasi.

Sedangkan untuk peningkatan DHE hasil sumber daya alam, pemerintah mewajibkan DHE dari ekspor barang-barang hasil pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.

Pemerintah memberikan insentif perpajakan berupa pemberian tarif final Pajak Penghasilan (PPh) atas deposito, tabungan, dan diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Menanggapi paket kebijakan ekonomi tersebut, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia  Mohammad Faisal menilai, pemerintah semestinya mengevaluasi kebijakan-kebijakan investasi yang sudah dikeluarkan sebelumnya misalnya terkait relaksasi DNI.

"Semestinya dengan melihat paket-paket yang sudah ada, pemerintah mustinya berkaca sebetulnya kenapa itu tidak menarik.

Apakah benar karena proporsi DNI-nya kurang besar atau ada permasalahan lain yang menghalangi investasi kita. Karena kalau intervensinya salah bisa jadi DNI-nya, nanti malah tidak tepat tidak dan tidak efektif karena akar permasalahan tidak diatasi," ujar Faisal.

Selain itu, pemerintah dinilai juga harus konsisten dalam membuat kebijakan. Ia mencontohkan pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangke, salah satu perusahaan terbesar di Indonesia Unilever sudah pindah dari Medan ke Sei Mangke dengan harapan ada fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh pemerintah namun ternyata hingga kini belum didapatkan.

Contoh lainnya yaitu kebijakan untuk membangun smelter dalam rangka hilirisasi yang diikuti dengan larangan ekspor konsentrat. Saat investor sudah masuk, dalam beberapa tahun kebijakan tersebut kembali direlaksasi.

"Jadi bagi investor yang sudah berinvestasi disitu merugikan. Ini catatan buruk yang buat investor ragu terhadap konsistensi kebijakan pemerintah. Belum lagi permasalahan pusat dan daerah, pembebasan tanah yang banyak dikeluhkan terutama terkait infrastruktur dan juga manufaktur," katanya.

Hal penting lainnya, lanjut yaitu nilai tambah yang dapat diciptakan oleh investasi asing yang masuk ke perekonomian Indonesia dan juga dampaknya terhadap pertumbuhan industri terkait, perlibatan pelaku usaha lainnya, dan juga penyerapan tenaga kerja.

Nilai tambah investasi asing belum sepenuhnya dinikmati oleh Indonesia. Di industri manufaktur misalnya, ia menyebutkan hanya sepertiga dari investasi asing yang dapat dinikmati yaitu dalam bentuk pembayaran pajak, royalti, dan juga penyerapan tenaga kerja namun selebihnya seperti bahan baku, barang modal, dan keuntungan juga keluar dalam bentuk repatriasi dividen.

"Jangan sampai investasi asing yang masuk tidak dikontrol sehingga sebagian besar dari "value added"-nya itu sebagian keluar," ujar Faisal.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abra Talattov juga mengkritisi Paket Kebijakan Ekonomi XVI.  Ia menyoroti insentif Tax Holiday untuk PPh Badan yang sebetulnya bukan hal baru yang dikeluarkan pemerintah. 

Menurut Abra, kebijakan insentif pajak yang bisa juga disebut sebagai belanja perpajakan (tax expeditures) itu,  punya konsekuensi berupa hilangnya potensi penerimaan pajak. Merujuk ke hasil estimasi Kementerian Keuangan, potensi penerimaan pajak yang hilang akibat kebijakan Tax Holiday pada 2016 dan 2017 masing-masing sebesar Rp143,59 triliun dan Rp154,66 triliun.

Ia mempertanyakan langkah antisipasi pemerintah dengan potensi penerimaan pajak yang hilang pada tahun 2019 dan tahun-tahun sesudahnya, padahal realisasi penerimaan pajak hingga Oktober 2018 saja baru 71,39 persen dari target.

"Artinya, potensi shortfall pajak akan semakin besar dan pemerintah semakin kewalahan untuk memenuhi kebutuhan anggaran belanja. Konsekuensinya, defisit APBN berpotensi melebar dan akhirnya harus menambah utang baru," ujar Abra

Selain itu, pemerintah juga masih punya "pekerjaan rumah" (PR) besar untuk meningkatkan rasio perpajakan (tax ratio) Indonesia yang masih di level 10-11 persen. Sebab jika tax ratio tidak bisa dinaikkan sampai level 15 persen misalnya, maka Indonesia akan semakin sulit untuk membayar utang dan menyebabkan sustainabilitas fiskal terancam.

Terkait kebijakan relaksasi DNI, Abra menilai pemerintah harusnya terlebih dahulu berdiskusi kepada pihak-pihak terkait (stakeholders) termasuk legislatif mengenai sektor mana saja yang akan dibuka. Jangan sampai sektor-sektor strategis dan vital turut dibuka seperti bandara dan pelabuhan.
Untuk menarik investor asing tidak cukup hanya dengan membuka DNI, tetapi jauh lebih penting adalah iklim investasi yang kondusif terutama permasalahan perizinan, birokrasi, dan korupsi.

Terakhir, terkait kewajiban menyimpan DHE di sistem keuangan Indonesia (SKI), Abra mengatakan sebetulnya itu juga sudah bukan barang baru lagi karena sudah pernah diimbau oleh pemerintah dengan pemberian insentif. 


Tantangannya saat ini, apakah pemerintah betul-betul “berani” menegakkan sanksi kepada setiap perusahaan  baik pertambangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, yang masih melawan aturan tersebut.

Pemerintah tentunya akan menghadapi ancaman balik berupa penurunan ekspor produk-produk terkait yang berimbas pada tekanan defisit transaksi berjalan dan stabilitas nilai tukar rupiah.

Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2018