Semarang (ANTARA) - Pakar ilmu komunikasi, Gunawan Witjaksana, meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) merespons pemboikotan terhadap salah satu stasiun swasta dengan lebih memperhatikan isi siaran terkait dengan Pemilu 2019.

"Mestinya hal ini menjadi perhatian KPI yang merupakan lembaga yang paling kompeten menilai isi siaran," kata Gunawan, yang juga Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Semarang, Senin pagi.

Ia mengemukakan hal itu ketika menanggapi surat Hashim Djojohadikusumo selaku Direktur Komunikasi dan Media Badan Pemenangan Nasional Prabowo/Sandi tertanggal 22 November 2018 perihal menolak permohonan wawancara salah satu televisi swasta.

Surat Nomor: 02/DMK/PADI/11/2018 yang sempat beredar melalui sejumlah grup WhatsApp itu ditujukan kepada seluruh anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo/Sandi. Surat ini terkait dengan instruksi dari Ketua BPN Prabowo Subianto/Sandiaga Uno, Djoko Santoso, untuk memboikot Metro TV.

Dalam suratnya, Hashim Djojohadikusumo menegaskan, seluruh komponen BPN, termasuk partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Adil Makmur agar menolak setiap undangan maupun wawancara yang diajukan televisi swasta itu hingga waktu yang ditentukan.

Salinan surat ini sudah beredar di banyak media sosial dan menjadi salah satu perbincangan di kalangan warga jejaring.

Menyinggung soal dugaan keberpihakan stasiun TV swasta itu menyusul surat tersebut, Gunawan mengatakan, media penyiaran wajib menjaga isi siaran tidak berpihak pada partai politik tertentu.

Namun, kenyataannya para pemilik media adalah aktivis, bahkan ketua umum partai politik.

Menurut dia, hal itulah yang harus dibenahi meski secara organisatoris, para pemilik tidak ada dalam struktur pengelola media.

"Ini merupakan tantangan berat karena tangan panjang mereka ada di DPR sehingga revisi UU Penyiaran tak kunjung usai. Sementara itu, para aktivis penyiaran, termasuk kalangan kampus dan media, seperti sudah loyo mengawal revisi UU tersebut," kata dosen ilmu komunikasi STIKOM itu.

Ia menilai pada tahun politik ini media tidak independen. Hal ini juga sebagai dampak Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23/2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum sebagaimana diubah dengan PKPU Nomor 33/2018 yang membatasi iklan politik hanya 21 hari, mulai 24 Maret 2018 hingga 13 April 2019, atau berakhir sampai dengan dimulainya masa tenang.

Pembatasan iklan politik itu, katanya, berdampak pada media mengkreasi sajian sedemikian rupa. Bagi mereka yang penting iklan masuk sesuai dengan prinsip ekonomi politik media yang dianut, demi kue iklan meski harus mengabaikan undang-undang serta aturan lain.

Padahal, lanjut dia, dalam UU Nomor 32/2002 tentang Penyiaran, pada pasal 36 ayat (4), disebutkan isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu.

Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 02/P/KPI/03/2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran, lanjut dia, menegaskan hal itu melalui pasal 11 ayat (2). Peraturan ini menyatakan bahwa lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran.

Pewarta: Kliwon
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2018