Koperasi merupakan kumpulan orang-orang dengan persepsi, visi, dan misi yang sama. Saya yakin syarat itu bisa terpenuhi oleh insan perfilman karena bergerak dalam satu usaha dan profesi yang sama
Jakarta, (ANTARA News) - Para pelaku industri film Indonesia berkumpul dan berinisiatif membentuk koperasi untuk menyejahterakan insan perfilman di Tanah Air.

Sekretaris Kementerian Koperasi dan UKM Meliadi Sembiring dalam diskusi bertema Industri Film Butuh Koperasi, di Jakarta, Rabu, menyambut baik inisiatif para pelaku industri perfilman tersebut karena koperasi potensial menjadi wadah untuk memajukan sekaligus menyejahterakan insan perfilman di Indonesia.

"Koperasi merupakan kumpulan orang-orang dengan persepsi, visi, dan misi yang sama. Saya yakin syarat itu bisa terpenuhi oleh insan perfilman karena bergerak dalam satu usaha dan profesi yang sama," ungkap Meliadi.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar para pelaku industri film untuk sepakat dan satu persepsi ketika akan membentuk wadah koperasi dalam menjalankan seluruh kegiatannya dari mulai ide, kreasi, produksi, hingga eksibisi (tayang film).

Dalam acara yang dihadiri belasan komunitas film yang ada di Sumatera, Jawa, Bali, dan NTB itu, Meliadi mengibaratkan industri film seperti sebuah pohon, dimana masing-masing memiliki fungsi dan peran. 

"Akar mencari makanan, daun memasak makanan, dan dahan untuk tempat berbuah. Intinya, bagaimana menyatukan para kreatif membuat film berkualitas dalam satu wadah bernama koperasi," kata Meliadi.

Dengan potensi ide kreasi yang banyak, lanjut Meliadi, industri film dari hulu hingga hilir bisa dikuasai dan dilakukan melalui koperasi. 
"Jiwa koperasi adalah kebersamaan dan gotong royong, termasuk bagaimana menyangkut pembiayaan atau pendanaan dalam membuat program film," kata Meliadi.

Hal senada dikatakan Dirjen Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid yang menyebut badan hukum koperasi merupakan bentuk yang tepat bagi industri kreatif termasuk perfilman di Indonesia, untuk masa kini dan mendatang.

"Karena koperasi adalah sebuah institusi bisnis berbasis kerja sama. Bahkan, sudah meluas dan menjadi tren di kalangan anak muda melakukan bisnis berbasis kolaborasi," kata Hilmar. Hilmar mengakui, ide dan kreasi di industri film nasional memiliki potensi yang luar biasa besarnya. 

Tapi, banyak dari ide dan kreasi itu yang tidak bisa terwujud menjadi sebuah program. "Masalah industri dan insan film nasional adalah di sisi produksi dan eksibisi. Bayangkan, di Indonesia jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa hanya memiliki 1400 layar bioskop. Bandingkan denga Korea Selatan yang sudah memiliki 10 ribu layar bioskop," ucap Hilmar.

Hilmar menyebutkan, film pendek dan dokumenter yang dihasilkan insan film Indonesia jumlahnya terus bertambah banyak seiring waktu. 
Sayangnya, banyak di antaranya yang tidak pernah bisa masuk ke bioskop karena keterbatasan distribusi dan eksibisi. 

"Kalau pihak swasta buka bioskop di kabupaten, apa untungnya? Tapi, kalau koperasi yang bikin itu solusi yang sangat tepat. Bagi saya, koperasi sangat tepat sebagai wadah bagi ekonomi kreatif dan pengembangan kebudayaan di Indonesia," kata Hilmar.

Bagi Hilmar, koperasi berbasis kebersamaan dan memiliki kaidah keberlanjutan secara ekonomi. "Oleh karena itu, saya mendukung penuh industri film nasional berada dalam wadah koperasi," kata Hilmar.

Dalam kesempatan yang sama, Asisten Deputi Kewirausahaan Kemenkop dan UKM Budi Mustopo mengungkapkan, pihaknya memiliki program pelatihan yang bisa mengakomodasi kalangan industri perfilman di Indonesia. 

Baca juga: Sineas Edo Sitanggang: Layanan streaming peluang emas majukan industri film



"Kita membuka diri untuk bekerja sama dengan kalangan komunitas film di seluruh Indonesia. Karena, karya film pendek itu sarana tepat untuk promosi potensi yang ada di daerah di seluruh Indonesia," kata Budi.
Budi menambahkan, ada pelatihan kewirausahaan dan perkoperasian yang bisa dimanfaatkan kalangan komunitas film. 
Dua pelatihan itu bisa terwujud merupakan usulan kebutuhan dari masyarakat atau komunitas film. 
"Bahkan, pada 2019 komunitas kreatif termasuk perfilman di Indonesia menjadi prioritas program bagi Kemenkop dan UKM," kata Budi.
Pengamat Koperasi Suroto melihat ada keinginan dari banyak komunitas film di Indonesia untuk memilih koperasi sebagai payung hukum bagi usaha dan kegiatannya. Mereka ingin membangun kemandirian dan kedaulatan di bidang industri film di Indonesia," kata Suroto.
Ia mencontohkan banyak koperasi film yang sukses di Inggris dan Korea Selatan.
Ia mendorong insan film Indonesia berkoperasi untuk kepentingan semakin majunya industri film nasional. 
"Dengan koperasi itu tak hanya membangun ekonomi saja, melainkan juga membangun peradaban sebuah bangsa. Pasalnya, banyak persepsi di masyarakat kalau koperasi itu hanya simpan pinjam," kata Suroto.
Sementara itu, Amrul Hakim dari Indonesian Film Cooperative mengungkapkan, demokrasi ekonomi dalam industri film di Indonesia belum terwujud. 
Menurut dia, para sineas masih kesulitan mendapatkan pembiayaan untuk karya-karya film mereka dimana kesejahteraan para sineas dan kru film di Indonesia juga masih timpang. 
Maka dengan prinsip koperasi, para sineas dan kru film yang bergerak di sektor hulu (on farm) akan menciptakan layanan film (film services) seperti bioskop, festival dan promosi, serta marketing di sektor hilir (on farm) yang dimiliki bersama, dikelola bersama dan diawasi bersama-sama secara kolektif.
Sementara Direktur Program Akatara (Indonesian Film Financing Forum) Vivian Idris menegaskan, kerja sama dengan Kemenkop dan UKM menjadi sangat krusial karena terkait badan hukum dan pengurusan hak cipta (HAKI).
Sedangkan Dimas Jayasrana dari Badan Perfilman Indonesia (BPI) mengatakan bahwa modus ekonomi saat ini sudah ada di industri perfilman. 
Dimas mencontohkan di Batam ada komunitas film membuat film kemudian ditayangkan di layar tancap (non bioskop) dengan tiket seharga Rp15 ribu, mampu menyedot penonton sebanyak 12 ribu. 
"Sebenarnya, dunia kreatif itu terhubung erat dengan koperasi dan UKM, termasuk industri film," ujar Dimas.
Salah satu peserta, Manu Ginting dari Manu Project (Kota Medan, Sumut) mengakui bahwa badan hukum koperasi merupakan yang paling cocok bagi seluruh insan film. 
"Dalam skema koperasi, seluruh kru film bisa sekaligus menjadi pemodal dalam membuat sebuah film. Kita tidak bisa bertumbuh sendiri, tapi harus kerja sama yang bisa tercipta dalam wadah koperasi," kata Manu.
Peserta lain dari Komunitas Sangkanparan (Cilacap) bernama Insan Pribadi menyebutkan, pembiayaan untuk membuat sebuah film dilakukan secara patungan dari seluruh anggota komunitas yang didominasi merupakan pelajar (SMK). 
"Oleh karena itu, kami sangat membutuhkan pelatihan-pelatihan seperti kewirausahaan dan perkoperasian dari Kemenkop dan UKM," kata Insan.
Sedangkan Rizky dari Pratama Pictures (Lombok, NTB) mengungkapkan, sejak berdiri pada 2014 komunitasnya sudah menghasilkan 25 film pendek dan lima film panjang. "Pendanaan sebuah film dilakukan secara gotong royong. Bahkan, tak jarang kita melibatkan bantuan dari masyarakat sekitar di lokasi shooting. Karena, biasanya kita membuat cerita film yang erat kaitannya dengan masyarakat Lombok. Para pemainnya pun kita melibatkan masyarakat Lombok. Kita sekaligus mengenalkan kepada masyarakat Lombok bagaimana membuat sebuah film," kata Rizky.
***3***
T. H016

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2018