Jakarta (ANTARA News) - Migrasi massal yang dilakukan pengemudi Grab Indonesia ke Go-Jek diprediksi akan terus terjadi akibat  buruknya skema kemitraan, yaitu bagi hasil antara mitra dengan aplikator, algoritma penarifan serta jaminan keselamatan dan kesejahteraan bagi para pengemudinya.

"Migrasi ini jadi bukti kalau kondisi kemitraan di Grab lebih buruk. Selama itu tidak berubah, migrasi akan terus terjadi," kata pengamat kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Harryadin Mahardhika kepada pers di Jakarta, Kamis.

Ia melihat hal ini wajar terjadi, bercermin pada kondisi Grab yang menerapkan tarif terlalu rendah dan banjir promo sehingga mengorbankan pendapatan pengemudi.

"Grab di Indonesia terlalu berambisi mengejar valuasi dan pangsa pasar. Tapi kondisi kemitraan antar pengemudinya dibiarkan payah," katanya.

Harryadin melihat kondisi ini juga bisa dilihat dari antusiasme pengemudi lokal Singapura bergabung ke Go-Jek yang hari ini resmi masuk pasar Singapura.

Banyaknya pengemudi yang siap migrasi ke Go-Jek, menguatkan pandangan bahwa skema kemitraan di Grab tidak menarik dan tidak menguntungkan pengemudinya.

Fleksibilitas manajemen dalam menerima aspirasi pengemudi juga jadi faktor yang membuat Go-Jek terlihat lebih menarik.

Bagaimana Go-Jek bisa merawat hubungan dengan mitranya, juga jadi pembeda yang masuk dalam pertimbangan para pengemudi.

Ia melihat Go-Jek juga perlu menerima migrasi dari pengemudi ini sebagai bukti keunggulan model bisnisnya.

Namun secara hitungan ideal pengemudi, Go-Jek juga perlu hati-hati supaya tidak mengurangi pendapatan mitra yang sudah ada.

"Perlu diterima secara bertahap dan memanfaatkan ekspansi Go-Jek ke kota-kota lain. Seleksi kualitas mitra juga tidak boleh jadi longgar," kata Harryadin.
Baca juga: Jawaban Go-Jek soal demo dan "suspend" pengemudi
Baca juga: GO-JEK: penyesuaian tarif mengikuti dinamika pasar
Baca juga: Menhub prihatin demo taksi online, perusahaan mitra akan dipanggil


Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2018