Jakarta (ANTARA News) - Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) menggelar rapat seminar nasional dengan bertajuk 'Evaluasi Pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945" di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta pada Jumat (30/11).

Seminar nasional kerjasama antara Badan Pengkaji MPR Ri dengan IQRA (Indonesia Qualitative Research Association) DPW DKI Jakarta ini membahas pelaksanaan konstitusi Indonesia hasil amandemen.

Acara tersebut menghadirkan sejumlah narasumber seperti Prof Dr Syamsuddin Haris, Prof Dr Ujianto Singgi, dan Yudi Latif Ph.D. serta dihadiri oleh Sekretaris Jenderal MPR Dr. Ma'aruf Cahyono, Ketua Umum IQRA DKI Jakarta Dr. Siti Sundari dan diikuti sekitar 450 perserta dari kalangan peneliti, akademisi dan mahasiswa.

Pimpinan Badan pengkaji MPR Rambe Kamarulzaman menjadi pembicara kunci sekaligus pembuka acara seminar nasional ini.

Dalam kata sambutannya, Sekretaris Jenderal MPR, Ma'ruf Cahyono menjelaskan bahwa Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berlaku sekarang adalah UUD hasil amandemen (perubahan) empat tahap dari rentang 1999-2002. Ia juga menjelaskan bahwa evaluasi terhadap UUD NRI 1945 sudah dilakukan sejak selesai amandemen itu, seperti dibentuknya Komisi Konstitusi untuk melihat UUD hasil amandemen.

Evaluasi UUD ini berlanjut dengan pembentukan Tim Kerja Kajian Ketatanegaraan MPR periode 2009-2014. Kemudian, MPR periode 2014-2019 lahir Badan Pengkajian MPR dan lahir pula Lembaga Pengkajian MPR yang berisi 60 anggota dari berbagai pakar dan akademisi.

"Semua itu terkait dengan tugas-tugas MPR. Salah satu tugas itu adalah melakukan pengkajian terhadap sistem ketatanegaraan, konstitusi dan pelaksanaannya. Kita ingin melihat kembali sistem ketatanegaraan, melihat kembali konstitusi melalui kajian, dan melihat kembali pelaksanaan konstitusi," ujar Ma'aruf.

Hal itulah yang melatarbelakangi Badan Pengkaji dan Lembaga Pengkajian MPR untuk terus melakukan diskusi, seminar, dan Focus Group Discussion (FGD) demi mendapatkan masukan dari berbagai kelompok masyarakat dan perguruan tinggi bagi penataan sistem ketatanegaraan. Penataan harus didekati dengan pendekatan aspirasi masyarakat dan konsep-konsep yang ideal.

"Kita ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan apakah sistem ketatanegaraan, konstitusi dan pelaksanaannya sudah sesuai dengan jati diri bangsa (nilai-nilai Pancasila) dan apakah sudah sesuai dengan kehendak masyarakat, serta apakah secara historis sudah sesuai dengan amanat founding fathers. Pernyataan-pernyataan inilah yang perlu didalami di seminar ini," tambahnya.

Rambe memberi contoh UU Pilkada yang sedang dibicarakan banyak kalangan, termasuk anggota DPR. Pemilu atau Pilkada yang berlangsung saat ini sangat melelahkan dan menghabiskan dana. Ada keinginan untuk mengembalikan agar kepala daerah tidak lagi dipilih secara langsung.

“Inilah yang menjadi tugas MPR, khususnya Badan Pengkajian,” katanya.

Rambe juga memberi catatan sementara atas evaluasi pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945. Dia menyebutkan ada tiga kelompok yang memiliki pandangan berbeda terhadap evaluasi pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945.

Pertama, kelompok yang menginginkan kembali kepada UUD sesuai aslinya. Kedua, kelompok di masyarakat yang menginginkan amandemen kelima UUD. Ketiga, kelompok yang menginginkan evaluasi pasca amandemen UUD dan melakukan pembenahan termasuk pembenahan sistem ketatanegaraan.

“Kami dari Badan Pengkajian MPR tidak menutup kemungkinan amandemen kelima UUD. Tetapi untuk melakukan amandemen sudah ada syarat dan aturan yang diatur dalam UUD,” ujar Rambe.(KR-HSI)

Pewarta: Hendri Sukma Indrawan
Editor: Jaka Sugiyanta
Copyright © ANTARA 2018