Pekanbaru (ANTARA News) - Puluhan dokter dari berbagai organisasi kembali menggelar aksi solidaritas untuk membela tiga orang sejawatnya yang kini ditahan dalam kasus dugaan korupsi, di Kota Pekanbaru, Sabtu.

Dengan mengenakan jas dokter warna putih, dokter-dokter dari Perhimpunan Dokter Umum Indonesia, Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan dan Dokter Gigi Indonesia, dokter anak dan Ikatan Dokter Bedah Indonesia (Ikabi), melakukan aksi damai di Jl. Cut Nyak Dien pada Sabtu petang sekitar pukul 16.00 WIB. Mereka membawa sejumlah spanduk yang bertuliskan bahwa dokter yang kini ditahan adalah korban dari sistem.

Dalam aksi tersebut mereka juga membacakan sumpah dokter dan menyatakan akan terus berupaya membela rekan sejawatnya yang kini ditahan oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Pekanbaru. Ketiga dokter bedah itu antara lain drg Masrial, dr Kuswan Ambar Pamungkas, dan dr Welli Zulfikar.

"Ini adalah aksi keprihatinan terhadap kawan sejawat kita yang kini tidur di lantai Rutan (Rumah Tahanan)," kata dr. Burhan yang ikut dalam aksi tersebut.

Dalam orasinya, para dokter tersebut menyatakan tetap menghormati proses hukum yang berlangsung, namun meminta agar kejaksaan menangguhkan penahanan kepada tiga dokter bedah yang menjadi tersangka. Para dokter tersebut juga bersedia menjadi penjaminnya.

Alasan mereka meminta penangguhan adalah karena Riau masih kekurangan tenaga ahli dokter bedah. Buntut dari penahan ketiga dokter itu membuat antrian panjang pasien menunggu operasi di rumah sakit tempat mereka mengabdi.

Ini adalah kedua kalinya para dokter menggelar aksi solidaritas. Pada 27 November lalu, mereka juga menggelar aksi serupa di Kantor Kejari Pekanbaru. Saat itu mereka juga meminta pihak kejaksaan untuk menangguhkan penahanan ketiga dokter tersebut.

Saat itu, Kepala Kejaksaan Negeri Pekanbaru Suripto Irianto membantah pihaknya melakukan kriminalisasi terhadap tiga dokter bedah dalam kasus dugaan korupsi alat kesehatan di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau, di Kota Pekanbaru.

"Kita terbuka saja kepada dokter-dokter yang melakukan aksi solidaritas, kita tidak melakukan kriminalisasi tapi nyata-nyata ada perbuatan korupsi di situ," kata Suripto.

Ia menjelaskan penahanan ketiga dokter tersebut merupakan bagian dari lima tersangka kasus dugaan korupsi alat kesehatan yang dilimpahkan oleh Polresta Pekanbaru atau tahap II.

Selain ketiga dokter yang ditahan, jaksa juga menahan Yuni Efrianti dari CV Prima Mustika Raya (PMR), dan seorang staf yang bernama Mukhlis.

Suripto menjelaskan, kasus korupsi itu terjadi pada tahun 2012 hingga 2013 ketika CV PMR menjadi perusahaan penyuplai alat kesehatan (alkes) untuk Program Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) di RSUD Arifin Achmad.

Namun, dalam praktiknya, ketiga dokter tersebut malah membeli sendiri dari distributor lain, diserahkan ke manajemen RSUD dengan tagihan uang sebagai pembayaran barang tersebut.

Pembelian alkes oleh ketiga dokter itu seolah-olah melalui CV PMR, tapi harganya sudah digelembungkan (mark up). Padahal, perusahaan itu hanya menyiapkan administrasi saja kemudian menerima uang pencairan pembayaran dari manajemen RSUD dan melalui tersangka Yuni dan Mukhlis, uang tersebut diserahkan kepada tiga dokter tersebut.

Alkes yang dibeli oleh ketiga dokter tersebut bermacam-macam jenisnya yang mayoritas barang habis sekali pakai. Dari proses pembelian yang terjadi, lanjutnya, CV PMR menerima komisi lima persen.

"Tiga dokter ini malah seperti orang jualan," kata Irianto.

Irianto juga membantah informasi yang beredar luas bahwa ketiga dokter tersebut sebenarnya hanya meminjamkan alat mereka ke RSUD.

Namun karena menerima bayaran, hal itu membuat mereka dijadikan tersangka dugaan korupsi, sehingga kejaksaan dianggap melakukan kriminalisasi.

"Kalau meminjamkan itu sekali dua kali. Tapi ini sampai 187 transaksi. Pantas nggak 187 transaksi kok minjam ya jelas memang dia memanfaatkan itu," katanya.

Berdasarkan perhitungan BPKP Riau, lanjutnya, kerugian akibat dugaan korupsi itu mencapai Rp420 juta.

 

Pewarta: Febrianto Budi Anggoro
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2018