Desa Adat Beleq merupakan cikal bakal masyarakat Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Dari desa itu awal masyarakat Sembalun periode II hadir setelah periode I luluh lantak akibat amuk dari Gunung Samalas pada 1257 sehingga memaksa warga mengungsi ke hilir yakni Sambalia, Labuan Lombok sampai Selaparang serta ke wilayah lain Pulau Lombok.

Lokasinya yang diapit dua bukit di kaki Gunung Rinjani yang memiliki ketinggian 3.726 Meter di atas permukaan laut (Mdpl), yakni di Pergasingan dan Selong. Sedikit mendaki ke atas Bukit Selong, lihat ke kiri, terdapat tujuh rumah adat Desa Beleq, ke kanan hamparan lahan pertanian yang berlatar belakang Bukit Pergasingan.

Perpaduan yang indah membuktikan keagrarisan masyarakat Indonesia sekaligus membuktikan bagaimana kehandalan nenek moyang Sembalun mencari lokasi untuk menghidupkan keturunannya itu sampai sekarang.

Tujuh rumah itu merupakan tempat tinggal tujuh kepala keluarga untuk memulai kehidupan barunya di tanah leluhurnya yang telah ditinggalkan selama ratusan tahun itu.

Rumah adat itu terbuat dari jerami atau daun ilalang dengan berdindingkan anyaman bambu, serta lantainya dari tanah yang ditinggikan dari permukaan tanah setelah dilapisi kotoran sapi.

Jajaran bangunan pertama sebanyak empat rumah sedangkan di baris kedua tiga rumah. Tepat di ujung tengah barisan rumah itu, kiri kanannya berdiri dua lumbung untuk menyimpan persediaan makanan. Untuk masuk dan ke luar rumah, harus menunduk setelah menaiki tujuh tangga, serta bangunan adat itu juga seluruhnya menghadap ke arah utara.

Bentuk bangunan adat ke arah utara yang berada di Sembalun Lawang itu, memiliki makna, kata Mertawi, Ketua Lembaga Adat Sembalun Lawang yang juga Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Timur, agar cahaya matahari pada pagi dan sore hari bisa masuk ke dalam rumah dari lubang angin di kedua sisi atap itu.

"Tentunya dengan adanya cahaya matahari yang masuk akan menghindarkan adanya binatang yang masuk ke dalam rumah, seperti ular," katanya.

Makna dari pintu masuk yang pendek hingga untuk masuk dan ke luar harus merunduk, menyimbolkan bahwa penghuninya harus sopan terhadap tamunya jika ke luar rumah, sedangkan untuk masuk dengan cara merunduk bentuk hormat kepada sang pencipta.

Tujuh tangga itu, menyimbolkan sesuai ajaran Islam adanya langit ke tujuh, serta tujuh hari tahlilan. Selain itu, dahulu bayi yang baru dilahirkan tidak boleh langsung di bawa ke luar rumah untuk melihat langit namun harus bertahap menapaki setiap tangga.

Hari pertama bayi bisa dibawa sampai depan pintu masuk atau tangga pertama, hari berikutnya tangga kedua, sampai tujuh hari. "Setelah tujuh hari baru seorang bayi bisa di bawa ke luar," katanya.



Perjalanan Sembalun

Mertawi menceritakan ketika terjadi bencana Gunung Samalas meletus, ada beberapa kelompok masyarakat berusaha menyelamatkan diri.

"Mereka ke arah timur, karena dulu pernah ada tulisan tentang Sembalun yang ditulis dalam bentuk piagam yang dinamakan Piagam Sembalun. Piagam itu pernah dibaca dan dipegang kakek saya dan menceritakannya," katanya.

Tetapi pernah pada suatu masa dipinjam oleh Raden Bayan. Setelah setahun kemudian buku itu sudah tidak ada. Penjelasan tertulis rapih. "Kita pernah dengar, piagam itu ada di museum di Belanda," katanya.

Dalam piagam dikatakan sekelompok warga singgah di hutan Pilin, Kecamatan Sambalia, dari situ mereka turun ke bawah menyebar dan menetap di Selaparang, Labuan Lombok. Mereka berada di pengungsian cukup lama. "Artinya mereka di situ berkembang biak," katanya.

Setelah ratusan tahun mengungsi karena trauma dengan letusan Samalas, muncul inisiatif beberapa orang mengajak kembali ke Sembalun, mencari leluhurnya.

Tetapi, banyak dari mereka tidak ada mau karena tidak sanggup. Setelah berunding, akhirnya tujuh kepala keluarga sepakat kembali.

Mereka kembali dari bukit hingga ke Gunung Nanggi. Dalam perjalanan bertemu dengan kali berair sangat deras, Kali Sembalun.

Ketujuh kepala keluarga itu tidak bisa menyeberang, lalu menyusuri kali itu. Akhirnya tiba di utara di Bukit Selong dan tetap tidak bisa menyeberang sehingga kemudian turun di Desa Adat Beleq. Di tempat itulah, mereka beristirahat di rumah adat. "Kemudian mulai merasa nyaman dan menetap," katanya.

Seiring perjalanan waktu, mereka pun beranak pinak tetapi setiap ada keinginan membangun rumah yang baru selalu ada musibah yang mereka alami, misalnya anaknya meninggal. "Pokoknya tidak bisa berkembang biak. Setiap membangun pondasi rumah, muncul musibah," katanya.

Sehingga berkesimpulan di tempat itu tidak boleh ada bangunan tambahan selain bangunan yang sudah ada, yakni, tetap tujuh rumah. Agar bisa beranak pinak, mereka ke lokasi lain.

Setelah waktu yang disepakati mereka bergerak ke arah barat, lagi-lagi dihadang kali yang sangat deras dan dalam, serta bergerak ke arah selatan, menyusuri kali itu.

"Sampailah di bawah bukit Majapahit. Di situlah mereka bertemu dengan Raden Arya Pati dan Raden Arya Mangunjaya. Mereka mengaku dari Majapahit. Datu Majapahit atau punggawa majapahit," paparnya.

Kedua orang ini memiliki kesaktian yang luar biasa, bisa hadir dengan cara gaib. Setelah berdiskusi, keduanya menawarkan diri untuk mencari jalan bersama. Mereka bergerak ke selatan mencari kira-kira kali mana yang bisa diseberangi.

"Sampailah pada satu titik yang paling sempit, lalu membuat jembatan sederhana. Saling dukung, saling pegang sampailah di seberang. Saling membantu diabadikan Loko (Kali) Sangka Bira artinya tempat saling topang dengan sukarela dengan tulus ikhlas," katanya.

Setelah menyeberang kali itu, sekitar jarak 150 meter, kedua orang itu menyatakan di satu titik yang layak mendirikan perkampungan meski kondisi tanahnya tidak rata, banyak bebatuan bekas letusan gunung api.

"Enam warga menyatakan setuju, mengingat atas perintah dua punggawa Mahapahit. Namun, satu lagi tidak setuju hingga pergi dan diketahui berada di Sembalun Bumbung," katanya.

Akhirnya nama perkampungan baru itu dinamakan Sembalun Lawang yang berasal dari kata Sembah, patuh/tunduk/takzim dan wulun, pemimpin/raja atau orang agung yang dimuliakan, bisa juga yang Maha Kuasa. "Lawang pintu masuk pertama," katanya.

Kendati demikian, ketujuh kepala keluarga itu masih bolak-balik ke rumah lamanya sambil mendirikan rumah di perkampungan yang baru itu. Perkampungan itu sampai sekarang berdiri dan warganya mayoritas berprofesi sebagai petani sayur-sayuran. Hingga 1990-an, bangunan di perkampungan itu masih menghadap ke arah utara, sama dengan bangunan adat Desa Beleq.



Pascagempa rusak

Saat ini, kondisi ketujuh bangunan itu sangat memprihatinkan pascamusibah tiga kali gempa yang terjadi berturut-turut di Pulau Lombok.

Sejumlah bangunan beratap jerami itu, sudah runtuh dan sebagian tanah lantai bangunan itu ambrol. Pagar yang mengelilingi perkampungan adat itu juga sudah tidak berbentuk.

Hewan ternak sapi dibiarkan berkeliaran di area bangunan bersejarah itu tanpa ada yang mengusirnya. "Beginilah kondisi kampung adat ini," kata salah seorang penjaga.

Tidak ada lagi pengunjung yang ingin mengetahui sejarah kampung adat itu, bahkan pos informasi yang berada di pintu gerbang juga, sama sekali tidak ada penjaga.

"Tentunya ini akan diperbaiki lagi rumah adat ini," kata Mertawi yang juga Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat.

Kini, tinggal menunggu sikap pemerintah daerah setempat termasuk pemerintah desa, berupaya memperbaiki bangunan bersejarah yang menjadi cikal bakal penduduk Sembalun.*

 

Pewarta: Riza Fahriza dan awaludin
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018