Makassar (ANTARA News) - Indonesia memiliki tujuh komoditas andalan yang begitu besar potensinya untuk menambah devisa negara, seperti kelapa sawit, cokelat, pala, karet, kopi, teh, dan tebu. Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution dalam suatu acara setahun silam, dari tujuh komoditas tersebut, sawit menepati peringkat teratas sebagai produk kebanggaan Indonesia.

Sejumlah produk turunan dari sawit, bahkan, disebut memberikan kontribusi ekspor 75 persen dari sektor non-minyak bumi dan gas (migas) sehingga sudah sewajibnya dapat dipertahankan bahkan didorong lebih berkembang lagi ke depan.

Namun di balik potensi besar sebagai sumber pemasukan negara, tidak kecil hambatan dan rintangan yang dihadapi industri sawit tanah air.

Gangguan atau rongrongan yang terjadi bukan hanya dari dalam, namun justru lebih kencang dilakukan pihak asing seperti yang dilakukan para lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Kampanye hitam yang dilakukan sejak bertahun-tahun oleh para LSM asing tentu saja menjadi ancaman bagi pengusaha industri sawit tanah air.

Segala bentuk kampanye hitam yang dilakukan LSM asing disebut didasari berbagai kepentingan, khususnya upaya untuk menjatuhkan potensi bisnis di Indonesia.

Maka dari itu, perlu strategi khusus untuk meredam serangan yang dilakukan pihak luar terhadap industri sawit nasional.

Pemerintah dan seluruh pihak perlu bahu-membahu mencari penangkal atau pelindung sekaligus terus menyakinkan masyarakat dunia bahwa apa yang dikampanyekan LSM selama ini merupakan kebohongan dan hanya ingin menjatuhkan.

Pakar pertanian dari Universitas Hasanuddin Prof Dr Laode Asrul mengatakan salah satu hal yang bisa dilakukan untuk menangkal serangan kampanye hitam, yakni pengembangan sekolah sawit di sejumlah daerah di tanah air.

Khusus untuk Kawasan Timur Indonesia (KTI), pihaknya mendukung dan bahkan siap ambil bagian dalam pengembangan sekolah sawit untuk meningkatkan perekonomian petani sekaligus membuat sawit lebih ramah lingkungan.

"Ide pengembangan sekolah sawit merupakan hal yang positif. Sebab di sekolah sawit, kita bisa mendidik dan mengajarkan tenaga (petani) muda di desa agar di samping fokus untuk meningkatkan pendapatan juga sekaligus menjaga lingkungan sekitarnya," kata dia.

Serbuan isu miring yang dilakukan pihak asing kerap menerpa industri sawit nasional, sedangkan yang sering menjadi sasaran, yakni terkait perusakan hutan sampai hilangnya keragaman hayati.

Namun, melalui pengembangan sekolah sawit termasuk di desa juga dianggap layak dilakukan berhubung ketersediaan dana desa yang diberikan pemerintah ke berbagai desa di Indonesia.

Jumlahnya yang cukup besar tentunya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan produksi dan pendapatan masyarakat di daerah.

Selain itu, pengembangan sekolah sawit begitu ideal dilakukan sebagai bagian untuk lebih bersaing dengan industri luar negeri.

"Jadi saya kira hal yang positif jika pengembangan sekolah sawit khususnya di Sulawesi hingga Papua bisa diwujudkan. Kita bisa melahirkan SDM yang berkualitas dan tentunya memahami cara-cara menjaga lingkungan," jelasnya.

Untuk wilayah barat sudah ada yang mendirikan sekolah sawit, namun untuk di KTI tentu juga perlu dikembangkan demi meningkatkan pendapatan perekonomian masyarakat sekaligus meredam isu yang sering ditujukan pada industri sawit Indonesia oleh pihak asing.

Presiden Joko Widodo juga telah merespons dengan mengusulkan pendirian fakultas kelapa sawit dan fakultas kopi di berbagai perguruan tinggi di Indonesia.

Hal itu disampaikan terkait begitu besarnya potensi kelapa sawit, namun belum ada fakultas yang khusus untuk pengembangan sawit di Indonesia.

Upaya lain untuk menghadapi ancaman propaganda sawit Indonesia yakni perlunya memperhatikan sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Intinya ISPO harus diperkuat. Banyak perusahaan sawit yang sudah besar, namun belum memiliki ISPO. Hal itu justru jalan masuknya LSM asing menyerang industri sawit nasional.

Tentang berapa persen perusahaan yang telah tersertifikasi juga dapat dikatakan masih sedikit. Bahkan, tidak jarang perusahaan besar juga belum ada yang disertifikasi secara keseluruhan yang justru dijadikan celah bagi LSM dari luar negeri untuk menyerang komoditas sawit Indonesia.

Soal ini, Prof Laode Asrul mengatakan Belanda bisa membantu melakukan sertifikasi ISPO.

Apalagi telah disampaikan keinginan pemerintah Belanda menawarkan bantuan bagi para petani dan sejumlah masalah lingkungan hidup, seperti yang diutarakan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.

"Jika memang seperti itu (menawarkan bantuan, red.), maka Belanda bisa membantu dalam menyertifikasi para petani sawit. Sebab jika sudah disertifikasi maka tentu bisa digunakan untuk menghadapi ancaman propaganda sawit Indonesia," katanya.

Terkait dengan keinginan Belanda menawarkan bantuan kepada Indonesia merupakan hal yang wajar, sebab Belanda memang membutuhkan keberadaan atau pasokan sawit dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan negara tersebut.

Apalagi Belanda merupakan salah satu pasar untuk beberapa produk dari Indonesia, seperti kakao dan sawit.

Belanda tidak memiliki lahan, sehingga membutuhkan pasokan dari negara lain, termasuk Indonesia.

"Tapi intinya jika ingin membantu (Belanda, red.), saya kira salah satu dengan menyertifikasi petani sawit Indonesia," katanya.



Memperkuat

Laode Asrul mengatakan konsep Indonesia Incorporated merupakan salah upaya untuk memperkuat posisi tawar minyak sawit Indonesia di pasar internasional.

Konsep Indonesia Incorporated yang dikelola secara bersama-sama dalam perusahaan induk atau holding company dalam bentuk BUMN yang memiliki rencana untuk bergerak bersama justru dinilai akan lebih efektif dan efisien.

Sebab, hal itu dinilai bisa mengatur harga dan sebagainya. Hal itu penting untuk dipacu sebab jika menjual secara sendiri-sendiri justru bisa dipermainkan oleh pihak lain.

Untuk masalah ini tentu saja perlu dukungan dari berbagai pihak bukan hanya antarperusahaan sawit, namun seluruh pihak terkait khususnya dari unsur pemerintah agar semakin mengoptimalkan perencanaan dan strategi menghadapi segala tantangan dari pihak asing.

Artinya, perusahaan tidak boleh sendiri-sendiri, namun perlu berjalan beriringan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara.

Jadi pihak pengusaha dan pemangku kepentingan harus terlibat dan bersinergi demi kebaikan bersama.

Terkait kemungkinan terjadinya keengganan perusahaan untuk bergabung, hal ini memang menjadi tantangan tersendiri, namun jika ingin daya tawar kuat di pasar dunia maka tentu harus sepakat.

"Intinya konsep Indonesia Incorporated memang hal yang realistis untuk bisa melewati berbagai hambatan ke depannya, " ujar Kepala Lembaga Penelitian dana Pengabdian Pada Masyarakat (LP2M) Universitas Hasanuddin itu.



Garap Rusia

PT Astra Agro Lestari Tbk tengah menggarap Rusia sebagai pasar baru untuk ekspor minyak sawit (CPO, PKO, dan turunannya, termasuk oleochemical dan biodiesel) ke depan.

Adminstratur PT Mamuang Mamuju (anak perusahaan Astra Agro Lestari Tbk) Andi He Jaya mencari alternatif lain untuk mengantisipasi kondisi penurunan ekspor ke pasar utama sawit nasional saat ini, seperti Amerika Serikat dan China.

"Jika permintaan ekspor menurun maka tentu stok minyak sawit menumpuk. Untuk itu kita mencari alternatif tujuan ekspor yang lain sekaligus agar tidak terlalu bergantung dari negara tersebut," katanya.

Keputusan mencari pasar baru tujuan ekspor minyak sawit Indonesia, kata dia, tentu saja juga terkait upaya pihak luar melalui kampanye-kampanye negatif terhadap kondisi lingkungan akibat dari perkebunan sawit nasional.

Perusahaan sawit juga sudah tahu bersama soal kampanye negatif terhadap sawit nasional. Makanya sengaja mencari negara yang bersedia menerima ekspor sawit kedepan.

Untuk perkembangan ekspor minyak sawit, meski ada penurunan, namun justru nilai ekspor di beberapa negara tetap mengalami kenaikan.

Berdasarkan data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), secara keseluruhan, ekspor minyak sawit Indonesia termasuk biodiesel dan oleochemical pada semester I (Januari-Juni) 2018 turun sekitar dua persen.

Jika dihitung tanpa oleochemical dan biodiesel, angka ekspor turun enam persen menjadi 14,16 juta dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017 sebesar 15,04 juta ton.

Namun demikian, ekspor ke China, AS, Bangladesh, Pakistan, dan kawasan Timur Tengah justru naik antara tujuh hingga 13 persen.

Angka ekspor ke China naik 23 persen dari 1,82 juta ton periode yang sama tahun lalu menjadi 1,48 juta ton.*


Baca juga: Greenpeace tidak berkeinginan hentikan industri sawit Indonesia

Baca juga: Strategi mengantisipasi penurunan harga sawit



 

 

Pewarta: Abdul Kadir
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018