Desa Baluk di Kabupaten Jembrana, Bali, berusaha mengatasi masalah sampah sekaligus mendapatkan manfaat ekonomi dari barang-barang buangan.

Pemerintah desa mengerahkan petugas untuk mengambil sampah dari rumah-rumah warga, lalu memilah dan mengelolanya. Sampah organik diolah menjadi pupuk, dan sampah non-organik dijual ke pengepul atau pendaurulang.

Sejak program diluncurkan tahun 2017 dengan pembentukan bank sampah, produksi pupuk organik seluruhnya digunakan untuk lembaga desa serta sekolah-sekolah sekitar.

Tapi tahun ini program Desa Baluk mulai menarik desa-desa lainnya di Kabupaten Jembrana, sehingga desa menjadi tujuan studi banding dan pemesanan pupuk organik.

Desa juga memiliki bank sampah, dengan buku tabungan bagi warga yang menyetorkan sampah bernilai ekonomi. Dalam hal ini warga bisa datang sendiri ke bank sampah untuk menyetorkan barang buangan bernilai ekonomi atau meminta petugas mengambil ke rumah mereka. Pengelola sampah mengenakan harga beli yang berbeda antara sampah yang diantar sendiri dengan yang dijemput petugas.

Pejabat Sementara Kepala Desa atau Perbekel Baluk I Putu Nova Nopiana di Negara pada 28 September mengatakan desa rutin mengalokasikan anggaran untuk pengelolaan sampah, termasuk untuk menggaji petugas pemungut dan pengolah sampah.

Tahun 2018, menurut dia, desa mengalokasikan anggaran Rp87 juta untuk menggaji petugas dan menambah fasilitas pendukung pengelolaan sampah terpadu.

"Dana atau subsidi anggaran dari desa ini tentu tidak selamanya, setelah dari pengelolaan sampah ini bisa mendapatkan pendapatan yang mencukupi, subsidi akan kami cabut," katanya.

Pemerintah desa, ia melanjutkan, masih akan memberikan subsidi untuk menggaji petugas yang bekerja untuk pengelolaan sampah terpadu pada 2019.

Selanjutnya pemerintah desa akan menyerahkan penanganan pengelolaan sampah terpadu Badan Usaha Milik Desa.

I Putu Nova Nopiana mengatakan pemerintah desa menargetkan dalam lima tahun fasilitas pengelolaan sampah terpadu sudah bisa mandiri, bisa membiayai operasi menggunakan pendapatan dari penjualan sampah non-organik serta pupuk olahan sampah organik.

"Pupuk organik yang dibuat juga sudah ada yang memesan mulai tahun 2019," katanya.


Bank Sampah Desa

Bank sampah Desa Baluk melayani lima dusun. Dalam operasinya saat ini bank sampah masih menghadapi beberapa kendala, antara lain keterbatasan biaya operasi.

Guna mengatasi masalah itu pengelola menawarkan kepada warga untuk menyediakan jasa pengambilan sampah organik ke rumah dengan tarif Rp20 ribu setiap bulan.

Bank sampah juga terkendala keterbatasan sarana dan prasarana operasi.

Ni Ketut Kuntarini selaku ketua kelompok pengelola sampah terpadu mengatakan bank sampah hanya punya satu sepeda motor dengan bak, dan itu tidak mencukupi mengingat jumlah warga yang memiliki kesadaran untuk membawa sendiri sampah rumah tangga ke bank sampah masih sedikit.

"Idealnya untuk masing-masing bank sampah di setiap dusun memiliki satu armada pengangkut sampah. Mudah-mudahan secara bertahap hal itu bisa tercapai," katanya.

Dengan keterbatasan-keterbatasan itu, pengelola berusaha menjalankan kegiatan penanganan sampah menggunakan lima jenis mesin yang berfungsi sebagai pencacah, pengaduk, penyaring hingga pengering serta mesin jahit karung untuk mengemas pupuk organik.

Di tempat pengelolaan sampah terpadu Desa Baluk, ada pegawai yang bertugas memilah aneka sampah mulai dari daun-daunan, botol dan gelas bekas air mineral serta minuman lainnya, sampai tas plastik lalu mengelompokkannya sesuai jenis.

"Untuk tas plastik kami sudah mendapatkan pembeli tetap dengan harga Rp700 per kilogram. Untuk sampah non-organik seperti bekas bungkus makanan ringan yang saat ini belum ada pembeli, kami simpan dulu," kata Kuntarini, didampingi sekretaris kelompok I Kade Nova Sastra Wirawan.

Selain itu bank sampah punya petugas yang bekerja mencacah sampah organik dan mengolahnya menjadi pupuk.

Pupuk organik yang dihasilkan dari kegiatan itu kemudian dijual, namun hasilnya menurut Ni Ketut Kuntarini belum seberapa karena hanya didistribusikan di tingkat desa saja.

Pendapatan utama bank sampah masih dari penjualan sampah non-organik kepada pengepul atau pendaurulang.

"Di tingkat warga kami juga harus bersaing harga dengan pembeli lainnya. Sebenarnya cukup banyak warga yang mengumpulkan barang bekas, termasuk sampah non-organik seperti botol air mineral, namun menjualnya ke orang lain," katanya.

Belakangan, pendapatan bank sampah bahkan menurun karena pengepul sementara ini tidak mau membeli sampah plastik bekas bungkus makanan ringan yang berpelapis aluminium foil dengan alasan pabrik daur ulang yang menampungnya sedang penuh dengan barang.


Perhatian Kabupaten

Pemerintah Kabupaten Jembrana menaruh perhatian khusus pada penanganan masalah sampah. Bupati I Putu Artha maupun Wakil Bupati I Made Kembang Hartawan dalam berbagai kesempatan mengingatkan warganya untuk mengelola sampah dengan baik.

Dalam rapat koordinasi Forum Perbekel Dan Lurah Jembrana beberapa waktu lalu, Kembang juga menekankan pentingnya mengalokasikan dana untuk pengelolaan lingkungan termasuk sampah dalam anggaran desa tahun 2019.

Ia ingin program desa juga mencakup penanganan sampah terpadu dari hulu, tengah hingga hilir.

"Kami di pemerintah kabupaten ingin ada bank sampah di setiap banjar atau dusun. Pembiayaan bisa dialokasikan dari anggaran desa," katanya.

Ia mengatakan saat ini Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Dusun Peh, Desa Kaliakah, sudah tidak mungkin diperluas, sementara sampah terus bertambah volumenya.

Guna mengatasi masalah itu, ia melanjutkan, penanganan sampah harus tuntas di tingkat desa dengan dukungan bank sampah serta fasilitas pengolahan terpadu.

Dusun hingga desa, ia mengatakan, harus bisa menerapkan sistem pengelolaan sampah dengan prinsip mengurangi, menggunakan kembali dan mendaur ulang guna mengurangi beban tempat pembuangan akhir sampah.

"Saat dipilah, sampah sebenarnya bisa memiliki nilai ekonomi baik yang organik maupun non-organik. Gerakan pengelolaan dan pengolahan sampah yang baik harus dilakukan serentak di tingkat dusun," katanya.

Berkenaan dengan itu, I Putu Nova Nopiana mengatakan bahwa yang juga penting dalam penanganan sampah adalah keterlibatan masyarakat.

Sementara masyarakat desa saat ini umumnya belum memiliki kesadaran penuh untuk mengelola sampah rumah tangganya secara benar. Di Desa Baluk saja, belum semua warga menjadi nasabah bank sampah.

"Kami harus sabar dengan terus memberikan pembinaan dan pemahaman kepada masyarakat untuk tidak menyepelekan sampah. Sampah bisa memberikan nilai ekonomi, tapi juga bisa menjadi bencana besar apabila tidak dikelola dengan baik," kata I Putu Nopiana.

Mengubah perilaku suatu masyarakat tentu tidak mudah dan membutuhkan waktu. Namun itu bukan sesuatu yang tidak bisa dilakukan. Seperti kata pepatah, perjalanan 1.000 mil juga dimulai dengan satu langkah.

 

Pewarta: Naufal Fikri Yusuf, Gembong Ismadi
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018