Di Palembang 15 persen warganya pembawa sifat, di Jawa 6 persen pembawa sifat, artinya 6 dari 100 orang di Pulau Jawa pembawa sifat thalasemia
Jakarta, (ANTARA News) - Prevalensi thalasemia berdasarkan data RS Cipto Mangunkusumo hingga 2016 diperkirakan mencapai 9.131 pasien yang terdaftar di seluruh Indonesia dengan beban biaya pengobatan hingga 400 juta per tahun untuk tiap pasien.

Penyakit thalasemia menjadi penyakit dengan beban pembiayaan BPJS Kesehatan terbesar nomor lima setelah penyakit jantung, gagal ginjal, kanker dan stroke. Pembiayaan pengobatan thalasemia dalam periode 2014 hingga 2017 mencapai Rp1,8 triliun.

Penyakit thalassemia termasuk dalam beban biaya rawat inap tertinggi dalam penyakit tidak menular dengan jumlah kunjungan pasien hingga 2017 mencapai 420.393 orang.

Sebab, pelayanan fasilitas kesehatan bagi pengidap thalasemia yaitu transfusi darah yang harus dilakukan secara rutin tiap dua minggu hingga satu bulan sekali. Transfusi darah tersebut harus dilakukan seumur hidup pasien untuk terus bertahan hidup.

Thalasemia merupakan penyakit kelainan darah merah di mana eritrosit mudah pecah dan menyebabkan pasien menjadi pucat karena kekurangan darah atau anemia. Oleh karena itu pasien membutuhkan transfusi darah seumur hidupnya karena tubuh tidak bisa memproduksi sel darah merah secara normal.

Pasien thalasemia yang belum tertangani dengan transfusi darah juga memiliki kelainan pada tulang yang sangat rapuh. Tubuh yang kekurangan darah merah memaksa tulang untuk membentuk eritrosit hingga menjadi keropos. Oleh karena itu pasien thalasemia disarankan untuk tidak beraktivitas fisik atau berolahraga berat karena tulang yang mudah patah.

Pengidap thalasemia yang mendapatkan transfusi darah akan kelebihan zat besi dalam tubuhnya sehingga membuat warna kulit jadi menghitam. Kelebihan zat besi dalam tubuh tentu tidak baik yang membuat pasien harus rutin minum obat klasi besi.

Dapat dibayangkan betapa terganggunya aktivitas seorang pengidap thalasemia jika harus rutin transfusi darah setiap dua minggu dan tidak boleh melakukan pekerjaan berat. Selain beban biaya pengobatan yang ditanggung oleh pemerintah melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional, pasien juga menanggung biaya operasional seperti transportasi dan konsumsi dalam menjalani pengobatan.

Menurut dokter spesialis anak dari Divisi Hematologi dan Onkologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM dr Pustika Amalia, prevalensi thalassemia yang berkisar di angka 9 ribu pasien tersebut bisa meningkat menjadi 25 ribu di tahun 2020 apabila tidak dilakukan upaya pencegahan.

Memutus Mata Rantai

Peningkatan kasus penyakit thalasemia disebabkan karena perkawinan pasangan yang sama-sama sebagai pembawa sifat atau karier. Pembawa sifat thalasemia atau biasa disebut thalasemia minor akan tampak sehat dan hidup normal seperti orang kebanyakan.

Namun bila pasangan sesama thalasemia menikah, kemungkinan 25 persen akan memiliki anak thalasemia mayor atau pengidap thalasemia yang memerlukan pengobatan dan transfusi darah, kemungkinan 50 persen memiliki anak dengan pembawa sifat, dan 25 persen anak normal.

Ditambah lagi wilayah Indonesia merupakan negara berisiko tinggi yang termasuk dalam lingkaran sabuk thalasemia.

Berdasarkan data Yayasan Thalasemia Indonesia dan Perhimpunan Orang Tua Penderita Thalasemia Indonesia tahun 2014, dari hasil skrining pada masyarakat umum dari tahun 2008-2017 didapatkan pembawa sifat sebanyak 699 orang atau 5,8 persen dari 12.038 orang yang diperiksa. Sedangkan hasil skrining pada keluarga pasien Thalassemia tahun 2009-2017 didapatkan sebanyak 1.184 orang atau 28,61 persen dari 4.137 orang.

Dengan begitu cara paling efektif untuk memutus mata rantai penyakit thalasemia adalah dengan tidak melakukan perkawinan sesama pembawa sifat. Skrining thalasemia merupakan satu-satunya cara untuk mengetahui apakah seseorang thalasemia minor atau tidak.

Menurut dokter Pustika Amalia atau yang akrab disapa Lia, saat ini masih sangat sedikit upaya skrining thalasemia yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia. "Jangankan skrining, apa itu thalasemia saja mungkin mereka nggak tahu," kata Lia.

Kesadaran dan pengetahuan masyarakat yang rendah terhadap thalasemia menjadi salah satu kendala sedikitinya skrining thalasemia bagi pasangan yang ingin menikah.

Belum adanya program skrining ataupun regulasi yang mewajibkan skrining thalasemia sebelum menikah membuat masyarakat tidak mengetahui keberadaan dan ancaman penyakit tersebut.

"Padahal 5 sampai 15 persen orang di Indonesia adalah pembawa sifat. Di Palembang 15 persen warganya pembawa sifat, di Jawa 6 persen pembawa sifat, artinya 6 dari 100 orang di Pulau Jawa pembawa sifat thalasemia," kata Lia.

Staf Khusus Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Pelayanan Prof Akmal Taher menjelaskan pemerintah Indonesia tengah mengupayakan program pencegahan penyakit thalasemia melalui skrining. 

Menurutnya, biaya skrining yang sekitar Rp400 ribu untuk satu orang jauh lebih murah daripada harus mengeluarkan biaya Rp400 juta untuk perawatan satu pasien dalam setahun.

"Di negara luar mulai dari SMA skrining. Di Thailand ibu hamil diskrining. Di Siprus kalau mau menikah harus membuat surat skrining, kalau engga gerejanya ngga mau kasih surat nasihat perkawinan," kata Pustika.

Jika pun nantinya pasangan yang akan menikah terdeteksi sama-sama pembawa sifat, calon suami istri tersebut memiliki hak untuk tetap menikah. Namun tetap diberikan pemahaman bahwa kemungkinan 25 persen anaknya menjadi thalassemia mayor, serta ada beban biaya yang harus ditanggung sepanjang hidupnya.

Bahkan di Siprus dan Iran memberikan izin aborsi janin di bawah 17 minggu yang terdeteksi sebagai pengidap thalassemia mayor. 

"Di Siprus, Iran sampai majelis agamanya membuat fatwa kalau kehamilan masih di bawah 17 minggu mengizinkan aborsi, karena dianggap jiwanya belum ada. Iran pun melakukan, karena bebannya besar sekali, beban buat pemerintah besar, buat keluarga juga besar," kata dia.

Lia berpendapat bahwa tugas pencegahan peningkatan prevalensi thalasemia tidak bisa dilakukan hanya di bidang kesehatan, tapi harus lintas sektoral. Kebijakan lain yang terkait pencegahan peningkatan kasus thalasemia juga harus dilakukan dari sisi Kementerian Agama maupun majelis keagamaan yang mengatur tentang pernikahan.

Di samping itu masyarakat juga harus memahami dan mulai menyadari ancaman thalasemia yang bisa menyedot biaya besar, dengan melakukan skrining guna mencegah memiliki keturunan dengan thalasemia mayor. 

Baca juga: Kasus thalasemia meningkat karena minim pemahaman
Baca juga: Sadari dan kendalikan bahaya thalasemia


 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018