... semua problem bakal menghantui manusia bila peran penting tanah diabaikan..
Oleh Destika Cahyana SP MSc *)

Niccolo Machiavelli, filsuf abad Renaisans yang pemikirannya dianggap paling kejam, pernah menyatakan bahwa perbedaan populasi penduduk di sebuah kota merupakan fungsi dari kesuburan tanah.

Machiavelli merujuk pada polis-polis di era Romawi yang penduduknya padat dan bahagia berada di atas tanah subur. Pemerintah, menurut Machiavelli, dapat mengatasi persoalan kesenjangan kepadatan penduduk dengan menyuburkan tanah.

Pemikir politik Prancis lain, Montesquieu percaya, tanah menentukan kekuatan ekonomi, pemerintahan, dan karakter suatu bangsa.

Dalam kajian ilmu sosial pandangan-pandangan tersebut kemudian dianggap kurang berdasar, tetapi pandangan mereka telah menunjukkan bahwa pemikir politik di era Renaisans ternyata mempunyai minat yang luas tentang tanah dan hubungannya dengan persoalan sosial, ekonomi, dan politik.

Berbeda dengan di era modern yang seringkali masyarakatnya mengabaikan tanah sebagai penopang kehidupan sehingga muncul anekdot filosofis yang menyatakan bahwa manusia modern mampu secara akurat mengetahui pergerakan bintang dan planet di angkasa, tetapi tidak tahu apa yang berada di bawah telapak kakinya.

Contoh paling sederhana adalah ketika bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi di Palu, Sulawesi Tengah. Pemukiman padat di atas tanah yang longgar di lokasi sesar --pertemuan dua lempeng aktif yang terus bergerak-- merupakan kegagalan manusia modern mengenali karakter tanah tempatnya bermukim.

Ironisnya masyarakat tradisional setempat telah mengenal istilah nalodo, yaitu tanah berupa lumpur yang dapat amblas dan menghisap benda apapun di atasnya. Itulah sebabnya orang-orang tua zaman dulu di Sulawesi Tengah tak membangun pemukiman di area yang berpotensi terjadi likuifaksi.

Paradok itu menarik untuk dibahas pada hari ini, 5 Desember 2018, yang telah ditetapkan dunia sebagai Hari Tanah Dunia atau World Soil Day.

Dunia melalui Food Agriculture Organization (FAO) pada 2013 sepakat menetapkan setiap tanggal 5 Desember sebagai Hari Tanah Dunia sebagai penghargaan untuk Paduka Yang Mulia Raja Bhumibol Adulyadej.

Tanggal tersebut bertepatan hari kelahiran sang raja serta dilaksanakannya World Congress of Soil Science ke-17 pada 2002 di Bangkok.

Ketika itu International Union of Soil Sciences dengan lebih dari 60.000 anggota di dunia, menyadari kiprah luar biasa Raja Bhumibol di bidang pertanian, terutama pada pengembangan sumber daya lahan.

Pada masa pemerintahan Raja Bhumibol yang bertahta selama 70 tahun, Bhumibol berjalan langsung ke desa-desa petani yang terpencil, lalu duduk di atas tanah bersama petani dan penduduk desa untuk mendengarkan masalah warganya.

Dari perjalanan itu raja berhadapan dengan lebih dari 4.000 proyek pembangunan berkelanjutan untuk memperbaiki kehidupan warga.

Dari ragam persoalan itu, Bhumibol menyadari pangkal utama persoalan pertanian adalah pengabaian pada tanah.

Menurut Bhumibol, kebanyakan orang menganggap tanah hal yang sepele.

Padahal, tanah sama pentingnya dengan udara dan air untuk kehidupan.

Bagi Bhumibol, makanan sehat hanya akan lahir dari tanah sehat sehingga tanah sehat penting untuk masa depan berkelanjutan.

Pada 1983 misalnya, Raja Bhumibol menyaksikan rusaknya tanah ketika berkunjung ke komunitas Huai Sai di Provinsi Petchaburi. Mendiang raja melihat tanah bekas hutan cagar alam kering kerontang karena rakyatnya menanam nanas monokultur.

Raja memprediksi tanah tersebut bakal menjadi hamparan gurun tandus. Ia lalu turun tangan langsung memulai program holistik untuk memulihkan daerah tersebut.

Kini, Huai Sai merupakan hutan campuran lebat dengan margasatwa melimpah sekaligus kebun pertanian yang dikelola keluarga dan masyarakat.

Mendiang raja memiliki prinsip yang berakar pada etos Buddhis berupa moderasi dan keseimbangan. Raja juga menanam vetiver atau akar wangi di Thailand bagian utara walau sebelumnya dianggap gulma. Raja yakin vetiver mampu mencegah erosi yang menghancurkan daerah aliran sungai yang penting.

Para petani didorong bertani sekaligus beternak dan membangun kolam irigasi dan ikan. Integrasi pertanian, peternakan, dan perikanan membuat sumber daya lahan dapat diputar.

Prinsip lainnya adalah diversifikasi untuk melindungi permintaan pasar yang berubah-ubah serta menopang kesehatan tanah. Prinsip raja adalah, "Gunakan alam untuk memulihkan alam".

Hingga kini di Thailand masih terdapat proyek-proyek raja di Chaipattana Foundation, sebuah organisasi non-pemerintah yang mengimplementasikan pembangunan yang sejalan dengan inisiatif kerajaan.

Sepeninggal Raja Bhumibol, dunia membutuhkan pemimpin-pemimpin bangsa yang peduli pada lahan.

Menurut Alex BcBratney, professor Ilmu Tanah, dari Sydney University, kepentingan dunia modern terhadap tanah tak lagi melulu untuk kepentingan pangan (food), pakan (feed), dan serat (fiber) seperti yang dihadapi Raja Bhumibol di masa-masa mulai bertahta.

Dunia saat ini sedang menghadapi enam isu utama yang selalu diangkat dalam beragam pertemuan lokal dan dan global. Enam isu tersebut seperti lingkaran-lingkaran yang saling bertautan: keamanan pangan (food security), keamanan energi (energy security), keamanan air (water security), keseimbangan ekosistem (ecosystem equilibrium), keanekaragaman hayati (biodiversity), perubahan iklim (climate change).

Menurut Alex, inti dari lingkaran itu adalah soil "security" alias keamanan tanah. Dengan kata lain kekhawatiran masyarakat global terhadap pangan, energi, ekosistem, keanekaragaman hayati, perubahan iklim, dan air dapat terjawab apabila tanah tempat berpijaknya manusia terlindungi dari kerusakan.

Sebaliknya, semua problem bakal menghantui manusia bila peran penting tanah diabaikan. Contoh sederhananya saja lahan pertanian yang rusak menjadi penyebab hasil pertanian menurun, demikian pula pembukaan lahan hutan yang membabi buta membuat air tanah langka.

Secara sederhana "soil security" atau keamanan tanah berarti usaha menjaga dan memperbaiki sumber daya tanah untuk menjamin kecukupan pangan, pakan, dan air bersih serta berkontribusi menjaga kelangsungan energi dan stabilitas iklim sehingga keanekaragaman hayati dan ekosistem lingkungan yang seimbang terjaga.

Tentu agar masyarakat internasional semakin mengenali tanah tempatnya berpijak, maka dunia membutuhkan lebih banyak lagi para ahli tanah yang mampu menyediakan informasi karakteristik dan kualitas tanah sebagai penopang keamanan tanah.

Para ahli ilmu tanah yang semakin langka saat ini bertanggung jawab untuk menjawab kebutuhan masyarakat tersebut untuk melakukan regenerasi dengan membuat disiplin ilmu tanah semakin menarik.

*) Penulis adalah peneliti di Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Bogor, Master Earth Science dari Chiba University, Jepang, dan mahasiswa S3 di Program Studi Ilmu Tanah IPB

Baca juga: Menteri Jonan bangun 550 sumur bor air tanah pada 2018
Baca juga: Empat desa kesulitan air bersih terdampak longsor Ponorogo

 

Pewarta: -
Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2018