Jakarta (ANTARA News) - Pengamat komunikasi politik Universitas Paramadina Hendri Satrio mengatakan tim sukses hendaknya menjual program dan keunggulan calon presiden-wakil presidennya, bukan memprovokasi  pendukungnya untuk menjelekkan dan menyerang lawan.

"Kultur masyarakat Indonesia masih mengikuti tokoh dan panutannya. Kalau panutannya adem ayem maka mereka juga adem," kata Hendri di Jakarta, Kamis, dikutip dari siaran pers. 

Ia menilai dinamika menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 semakin tidak terkendali layaknya rem blong. Saling serang, saling ejek, saling hina, saling caci, dan saling benci terus menggema baik di jagat nyata maupun jagat maya.

Diskusi, perdebatan atau polemik yang substantif, yang diharapkan menambah wawasan publik sekaligus menjadi pertimbangan untuk memilih sama sekali belum ada.

"Itu menjadi kegagalan yang diciptakan timses, padahal kegagalan timses notabene adalah kegagalan capres dan cawapres 2019," ujar pendiri lembaga survei KedaiKopi ini.

Menurut dia model-model kampanye yang tidak sehat,  seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, kampanye hitam, adu domba, harus dihentikan sehingga tidak merusak masyarakat terlebih mengancam persatuan mengingat masa kampanye masih sekitar empat bulan lagi.

Di sisi lain, ia menyarankan badan dan lembaga negara untuk mendinginkan suasana. BNPT, BSSN, Bawaslu, TNI, Polri, melalui bidang siber mereka setiap hari tidak boleh berhenti menyampaikan pesan damai  melalui medsos.

Selain itu, kata Hendri, perlu ada semacam relawan dari berbagai lapisan masyarakat termasuk dari kalangan milenial melawan upaya-upaya perpecahan itu, baik di alam nyata maupun maya. 

"Ini akan menjadi langkah pemberdayaan masyarakat yang kesannya kecil, tapi akan berdampak sangat besar bagi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia," katanya.

Baca juga: Ma'ruf Amin: sebut program Jokowi dirasakan masyarakat

Baca juga: Publik harus mempertanyakan program capres-cawapres

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018