Palu (ANTARA News) - Siang itu matahari bersinar terik, hanya tampak satu dua orang mengais dan menggali sisa puing bangunan terbungkus lumpur yang mulai mengering sejak likuifaksi terjadi pada 28 September 2018.

Beberapa di antaranya tampak anak kecil, barangkali ingin menemukan mainannya yang hilang setelah rumahnya tertimbun dalam kenangan tentang Kampung Petobo di Sulawesi Tengah.

"Kita berjalan ini di atas atap-atap rumah, lihat itu atap yang tersisa, ini mendingan sudah diratakan dengan alat berat, kemarin-kemarin sama sekali tidak bisa dilewati," kata Eko, warga Kota Palu, sembari menyetir mobil SUV berpenumpang empat.

Mobil beberapa kali menginjak baja ringan bekas kuda-kuda atap rumah, berupaya naik turun melewati puing yang mulai rata akibat seringnya dilalui kendaraan.

Jenis mobil sedan atau city car jelas akan kesulitan untuk bisa menembus bekas kampung Petobo yang kini dilarang untuk dimukimi sejak bencana itu.

Dulu di Petobo memang berdiri kompleks BTN (perumahan) yang padat penduduknya sebelum kejadian gempa dan likuifaksi.

Di kejauhan tampak mobil-mobil yang bertumpukan hingga ringsek, rumah-rumah yang saling tindih sampai tak lagi jelas bentuknya, bahkan masjid yang hanya tersisa kubahnya saja.

Eko menjelaskan betapa bukan hanya rumah atau kendaraan saja yang kini tertimbun beberapa meter di bawah permukaan tanah melainkan ribuan orang yang sampai saat ini tak mungkin dievakuasi.

"Setelah gempa, tanah tiba-tiba bergerak hidup seperti monster dan menelan apa saja yang dilewati. Anehnya tanah seperti memilih apa-apa dan siapa-siapa yang akan ditelannya," kata Eko mengisahkan.

Ia yang di saat kejadian sempat melarikan diri hingga seluruh keluarganya selamat itu menunjukkan rumah-rumah tak jauh dari lokasi likuifaksi terparah tapi tetap utuh. 
Bahkan ada rumah sakit tak jauh dari lokasi itu tetap berdiri tegak hanya beberapa temboknya yang terlihat retak akibat gempa.


Kampung UKM

Tak jauh dari Petobo, sejatinya pernah berkembang sentra usaha kecil atau kampung UKM yang menjadi denyut ekonomi masyarakat setempat.

Namun gempa dan likuifaksi seakan memusnahkan segalanya, kampung itu bergerak dan tertimbun tanah dalam-dalam berganti menjadi ladang jagung yang seakan berpindah dari kejauhan 9 km.

Kedahsyatan likuifaksi bahkan mampu mematahkan jembatan yang berdiri dengan kokoh dan meratakan sungai di bawahnya.

Kini, mereka yang tersisa berupaya untuk bangkit mengumpulkan serpihan kekuatan dan semangat, pun mereka yang berada di Sigi.

Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Sigi Muhammad Irwan Lapata mengungkapkan betapa masih banyak pekerjaan rumah untuk kembali membangunkan UMKM yang masih belum sepenuhnya pulih dari trauma gempa, tsunami, dan likuifaksi.

Di banyak bekas reruntuhan bertebaran tulisan-tulisan grafiti yang dibuat dengan cat semprot "Kami Butuh Bantuan" secara serampangan, menampakkan betapa depresi dan frustasi masih lekat menyelimuti.

Hal itulah yang menurut Umar boleh jadi menjadi penyebab masih belum pulihnya perekonomian Sulawesi Tengah 100 persen.

Tidak sedikit tenda-tenda pengungsian masih tegak berdiri dan dipenuhi orang-orang yang hingga kini masih menanti tempat tinggal mereka rampung dibangun.

Bahkan banyak di antaranya yang tidak tahu lagi saat ditanya perihal masa depan.

Anak-anak berkeliaran di sekitar tenda berceloteh riang menyisakan betapa pedihnya menatap masa depan tanpa kepastian bagi yang melihatnya.

Tak cuma di Palu yang bibir pantainya dihantam gempa dan tsunami, beralih ke Sigi, kondisi dan kerusakan yang tak kalah berat juga terlihat.

Beberapa bangunan tampak sudah rampung diperbaiki tetapi banyak di antaranya yang terlihat ditinggalkan begitu saja oleh penghuninya.

Kondisi yang sama pun terjadi di Donggala. Kota itu berubah menjadi semakin senyap meskipun detak ekonomi di dalamnya masih bergerak walaupun lamban.

Banyak dari mereka yang masih tinggal di tenda-tenda pengungsian, salah satunya yang terbanyak adalah tenda pengungsian di sisi Kantor Bupati Donggala yang sebagian besar tendanya memuat logo UNHCR.

Sementara di setiap rumah yang berhalaman luas di depannya juga berdiri tenda-tenda serupa.

Beberapa anak sibuk mengikuti program "trauma healing" meski terlihat tanpa beban namun siapa yang tahu jika di wajah polos mereka terekam kisah traumatis tentang pedihnya kehilangan orang-orang yang mereka sayangi.


Lamban

Hampir tiga bulan sejak bencana menghantam Palu, Sigi, Donggala, dan sekitarnya. Namun, denyut perekonomian di wilayah itu terlihat begitu lamban untuk pulih.

Fasilitas-fasilitas publik sudah beroperasi penuh termasuk bandara dan jalan-jalan yang sudah bisa dilewati dengan baik.

Namun belum sepenuhnya fasilitas itu 100 persen pulih, toilet bandara dan beberapa bangunan di sekitarnya masih tampak berantakan.

Jalan-jalan belum sepenuhnya rata dan puing reruntuhan bangunan masih menggunung di mana-mana.

Selain itu, fasilitas akomodasi pun belum sepenuhnya gampang didapat dimana baru sedikit hotel yang telah beroperasi.

Hotel Santika Palu misalnya, baru dalam dua hari ini mulai buka dan hanya 3 lantai dioperasikan sementara 6 lantai sisanya masih dalam renovasi.

Pasokan listrik juga menjadi persoalan tersendiri, bahkan hotel pun beberapa kali mengalami listrik padam sesaat meninggalkan sejumlah tamunya terjebak dalam lift.

Semuanya sadar, memang butuh waktu lama untuk membuatnya kembali pulih 100 persen.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono ketika dikonfirmasi mengenai proyek pembangunan kembali Palu menegaskan proyek tersebut jalan terus.

Harus diakui di banyak jalan-jalan utama beberapa kali tampak truk Kementerian PUPR lalu lalang membawa muatan.

Tidak ketinggalan masih banyak pula mobil-mobil berbendera bantuan kemanusiaan yang lalu lalang di Palu dan sekitarnya.

Menandakan bahwa Palu tak pernah ditinggalkan sebab semua peduli kepada mereka yang sedang mengumpulkan kekuatan untuk bangkit.

Baliho dan spanduk-spanduk pun bertebaran dengan tulisan besar-besar #PaluKuat #PaluBangkit.

Berharap Palu kembali pulih sepenuhnya, tak lama lagi.

Pewarta: Hanni Sofia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018