Saya biasa sendiri, tapi tak pernah sunyi. Alone but lonely."
Jakarta (ANTARA News) - Sastrawan eksil Indonesia yang pernah bermukim di China, Rusia dan Belanda, Kuslan Budiman, wafat dalam usia 83 tahun pada Kamis malam (Jumat dinihari WIB), di rumah sakit hospice Kota Naarden, Belanda, setelah sakit kanker pankreas dan usus 12 jari stadium empat.

Kuslan Budiman lahir di lereng Gunung Sengunglung, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, pada 1935. Dalam karir kebudayaannya, ia menulis buku Si Didi Anak Petani(Djakarta: Jajasan Kebudajaan Sadar, 1964), kumpulan puisi Tanah Kelahiran(Kreasi Nomor 20) pada 1994, buku Bendera Itu Masih Berkibar (Jakarta: Suara Bebas, 2005), dan beberapa buku terjemahan sastra China Dinasti Song untuk kalangan terbatas.

Ia termasuk pemuda Indonesia yang mendapat beasiswa tugas belajar ke luar negeri zaman pemerintahan Presiden Republik Indonesia (RI) pertama Soekarno, namun tidak dapat pulang saat Orde Baru berkuasa. Mereka menyebut diri kalangan dalam pengasingan (exile) atau eksil.

Dalam dunia seni, Kuslan Budiman sejak 1955 sudah aktif menulis karya sastra, dan dikenal sebagai Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Akademi Seni Rupa Indonesia (IMASRI) Jogjakarta pada 1962, yang Ketua Senat ASRI saat itu dijabat Dalna Budiman.

(Repro kartu mahasiswa Kuslan Budiman di IMASRI, 1962/Foto: Marchia Kalyanitta)
Sebelumnya, ia sempat menjadi guru Sekolah Rakyat (SR) di Madiun pada 1954.

Selama menjadi mahasiswa ASRI Jogjakarta, Kuslan dalam dokumen Kartu Tanda Penduduk (KTP)-nya tercatat tinggal Gampingan Nomor 9, Rukun Tetangga (RT) 38, Rukun Kampung (RK) Gampingan, Kemantren Wirobradjan.

(Repro kartu penduduk Kuslan Budiman di Kota Praja Jogjakarta, 1962/Foto: Marchia Kalyanitta)
Kuslan saat itu juga menjadi wartawan Majalah Gelora di Surabaya, Jawa Timur, dengan Pemimpin Redaksi Farid Dimjati.

(Repro kartu pers Kuslan Budiman di Majalah Gelora, Surabaya, Jawa Timur, 1962/Foto: Marchia Kalyanitta)
Dunia satra Indonesia mencatat nama Kuslan Budiman pernah menjabat pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) di Jogjakarta.

"Saya diajak pelukis Affandi untuk bergabung masuk LEKRA. Saat itu arah kebudayaan yang digelorakan Bung Karno untuk kerakyatan. Belakangan hari saya mendapat tugas belajar ke luar negeri, dan LEKRA disebut organ Partai Komunis Indonesia. LEKRA itu sebenarnya aliran Soekarnois," ujar Kuslan Budiman, dalam percakapan dengan ANTARA News di kediamannya, Rembrant Laant 77, 3443 EC Woerden, Belanda, pada Minggu (7 Juni 2015).

Selama berkesenian di Yogya, Kuslan bersama Amrus Natalsya, Djoko Pekik, dan sejumlah sahabatnya di ASRI mendirikan Sanggar Tarung Bumi yang bersimpati terhadap perjuangan hidup kaum tani.

Kuslan mendapat beasiswa tugas belajar ke Institut Bahasa Asing Beijing, China, pada 1965, sekaligus mendalami seni peran dan teater rakyat di Akademi Drama dan Opera Pusat di Beijing pada 1966.
(Repro kartu izin tinggal Kuslan Budiman di China, 1966/Foto: Marchia Kalyanitta)

"Selama di Tiongkok, China, saya mendapat banyak akses referensi kebudayaan, terutama sastra antardinasti. Saya memperdalam ilmu sastra China dengan mencoba menerjemahkan berbagai karya penulis kerajaan dinasti lama ke Bahasa Indonesia. Beberapa kali saya perbaiki karena ada masalah penyelarasan kebudayaan," ujarnya.

Ketekunan mempelajari arsip sastra kuno China, menurut dia, membuat Pemerintah Tiongkok pada 1966 memberinya akses lebih luas untuk mendalami pula seni teater rakyat dan berbagai catatan penting lainnya.


(Repro kartu izin tinggal mahasiswa Kuslan Budiman di China, 1966/Foto: Marchia Kalyanitta)

Tahun 1971, Kuslan Budiman pindah ke Moskow, Rusia, mempelajari sastra Rusia dengan kuliah ilmu kesenian di Institut Seni Industri dan Seni Terapan di Stroganovskoye hingga 1977.

"Akhir 1970an saya sudah sangat rindu ingin pulang ke Indonesia, menengok sanak saudara, terutama ibu yang kabarnya semakin sakit-sakitan. Namun, saya tidak mendapat izin akses ke Kedutaan Besar Republik Indonesia di Beijing," katanya.

Ia menimpali. "Bahkan, saya saat itu mendapat kabar mantan duta besar Indonesia di Tiongkok, Pak Djawoto, yang wartawan dan pernah jadi pimpinan Kantor Berita ANTARA juga sudah pindah ke Belanda karena tidak bisa pulang ke Tanah Air."

Selama di Moskow, Kuslan pernah satu apartemen dengan sastrawan kelahiran Cianjur, Jawa Barat, Utuy Tatang Sontani  (1920–1979).

Mereka banyak membuka akses bagi sesama anak bangsa Indonesia yang mendapat tugas belajar dari, oleh dan untuk negara, namun kemudian terangsingkan di negeri orang, antara lain Tiongkok, Rusia, Belanda, Prancis, Austria, Chekoslowakia (kini Cheko dan Slowakia) dan Jerman.

Kuslan menyelesaikan pendidikan tinggi bidang seni dan industri terapan di Stroganovskoye, Rusia, pada 1977.


(Repro ijazah Kuslan Budiman di Stroganovskoye, Rusia, 1966/Foto: Marchia Kalyanitta)

Saat itu dirinya mulai mendiskusikan kemungkinan pindah ke Belanda bersama Utuy, karena udara Rusia yang sangat dingin kurang baik bagi kesehatan mereka. Namun, Utuy tetap di Rusia hingga wafat 1979.

"Saya merasa kehilangan sahabat dan saudara sehati-seperjuangan saat mengantar Utuy ke peristirahatannya yang terakhir," ujar Kuslan.

Akhirnya, Kuslan Budiman bermukim di Kota Woerden, Belanda hingga akhir hayatnya. Ia memilih untuk tinggal sendiri, tidak berkeluarga.

"Saya biasa sendiri, tapi tak pernah sunyi. Alone but not lonely. Saya bahagia punya banyak sanak saudara baru di nama pun bermukim. Ada anak-cucu baru yang membahagiakan selalu datang," demikian Kuslan Budiman.


(Ruang kerja sekaligus ruang tamu Kuslan Budiman di Woerden, Belanda/Foto: Marchia Kalyanitta)

Pewarta: Priyambodo RH
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2018