Ternate  (ANTARA News) - Jainudin (40) menatap satu demi satu pohon kelapa di kebunnya tidak sedikit pun terpancar keceriaan di wajahnya meskipun seluruh pohon kelapanya berbuah lebat dan sudah cukup tua untuk dipetik.

Biasanya kalau melihat pohon kelapanya berbuah seperti itu, ia gembira dan langsung menyewa orang untuk memitiknya kemudian mengolahnya untuk dilanjutnya dijual kepada pedagang pengumpul.

Namun kini petani kelapa di Loloda Utara, Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara (Malut) itu tidak lagi berminat memetiknya, apalagi mengolahnya menjadi kopra, karena harga kopra saat ini anjlok.

Bukan hanya Jainudin yang bersikap seperti itu, tetapi juga puluhan ribu petani kelapa yang lainnya di Malut, karena kalau mengolah kopra dengan harga saat ini Rp2.000-an per kg di tingkat petani, yang didapatkan petani hanya lah kerugian.

Untuk memproduksi kopra petani harus megeluarkan biaya produksi seperti biaya petik, mencungkil dan pengasapan rata-rata sekitar Rp3.050 per kg, sehingga petani bisa menikmati untung kalau harga kopra mencapai minimal Rp5.000 per kg.

Keputusan para petani kelapa di Malut untuk tidak lagi mengolah kopra otomatis membuat mereka tidak mendapatkan penghasilan, sehingga untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari terpaksa harus mencari cara lain.

Ada petani yang terpaksa menggadaikan perhiasan emasnya, ada yang yang menjual ternak peliharaan dan barang berharga lainnya, tidak sedikit pula petani yang terpaksa meminjam uang kepada rentenir dengan bunga yang tinggi.

Seperti dilakukan Yulius, petani kelapa di Sahu, Kabupaten Halmahera Barat yang terpaksa menjual dua ekor ternak sapinya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan biaya bulanan anaknya yang kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Ternate.

Berbagai upaya telah ditempuh petani kelapa di Malut untuk memperjuangkan naiknya harga kopra, seperti melakukan aksi demonstrasi di kantor bupati dan kantor gubernur, bahkan di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian di Jakarta, tetapi sejauh ini harga kopra masih tetap rendah.

Anjloknya harga kopra tidak hanya terjadi di Malut, tetapi juga di seluruh daerah sentra pengembangan kelapa di Indonesia, sebagai imbas dari turunnya harga kopra di pasaran ekspor, yang saat ini hanya mencapai sekitar 630 dolar AS per ton dari yang sebelumnya mencapai 1.200 dolar AS per ton.

Tetapi khusus untuk anjloknya harga kopra di Malut diduga diperparah ulah para pedagang pengumpul yang memanfaatkan momentum turunnya harga kopra di pasaran domestik dan pasaran ekspor untuk menekan harga kopra serendah-rendahnya di tingkat petani yakni hanya Rp2.000-an per kg guna mendapatkan keuntungan besar.

Dugaan itu didasarkan pada jauhnya selisih harga pembelian kopra yang dilakukan pedagang pengumpul di tingkat petani dengan harga pembelian di daerah tujuan antar-pulau kopra Malut, seperti di Sulawesi Utara yang mencapai Rp6.000-an per kg dan di Jawa Timur mencapai Rp7.000-an per kg.

Langkah Cepat

Pemerintah daerah (pemda) dan pemerintah pusat diharapkan segera melakukan langkah cepat untuk menangani anjloknya harga kopra di Malut, agar tidak menimbulkan dampak yang lebih luas, baik bagi petani kelapa maupun pihak lainnya yang usahanya terkait dengan kopra.

Apalagi kopra merupakan komoditas utama dari sektor perkebunan di Malut, sejak ratusan tahun silam dan menjadi tumpuan penghaslan bagi puluhan ribu petani kelapa di daerah ini dalam memenuhi kebutuhan hidup dan membiayai pendidikan anak-anaknya.

Ribuan mahasiswa anak petani kelapa di Malut yang kini kuliah di berbagai perguruan tinggi di Malut dan daerah lainnya di Indonesia, kini terancam putus kuliah karena orang tua mereka tidak mampu lagi mengirimkan uang bulanan dan uang semester.

Langkah cepat yang bisa dilakukan pemda dan pemerintah pusat untuk menolong para petani kelapa di Malut, seperti disarankan pengamat ekonomi dari Universita Khairun Ternate, Rustam Adam adalah membeli langsung buah kelapa petani.

Mengapa harus membeli langsung buah kelapa petani, karena cara itu memungkinkan petani segera mendapatkan uang tunai jika dibandingkan membeli kopra, karena untuk memproduksi kopra membutuhkan waktu agak lama yakni sekitar 40 hari.

Badan Usaha Milik Desa (BUMDES) bisa dimanfaatkan untuk membeli langsung buah kelapa petani dengan harga minimal Rp1.000 per buah, sedangkan dananya bisa memakai Dana Desa triwulan III tahun 2018 sekitar Rp200 juta per desa, yang kini dalam proses pencairan.

Buah kelapa yang dibeli BUMDES selanjutnya diolah menjadi produk bernilai tambah,, seperti dagingnya diolah menjadi minyak goreng, termasuk produk turunan lainnya dari kelapa melalui industri rumahan, sehingga akan menghidupkan aktivitas ekonomi di setiap desa.

Baca juga: Wujudkan keselamatan pariwisata melalui "Tri Pakarti Musna"

Pemprov dan seluruh pemerintah kabupaten/kota di Malut seperti diakui Gubernur Malut, Abdul Ghani Kasuba, telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi anjloknya harga kopra di Malut saat ini, di antaranya dengan membentuk Satgas penanganan kopra.

Pemprov Malut juga telah berhasil mendapatkan investor dari Pulau Jawa untuk membeli kopra petani di Malut seharga Rp5.000 per kg dan membangun industri pengolahannya di Sofifi, ibukota Povinsi Malut.

Sedangkan untuk mencegah para pedagang pengumpul kopra memainkan harga kopra di tingkat petani, Pemprov Malut telah menyiapkan regulasi dalam bentuk Peraturan Daerah mengenai perlindungan komoditas unggulan yang di antaranya mengatur patokan harga dasar komoditas unggulan, khususnya kopra, pala dan cengkih.

Khusus untuk menolong para petani kelapa di Malut yang kini kesulitan memenuhi kebutuhan hidup, Pemprov mewacanakan pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada petani dan pemberian bantuan pembayaran uang semester bagi mahasiswa anak petani kelapa.

Para petani kelapa di provinsi yang memiliki luas perkebunan kelapa 147 ribu lebih hektare dengan produksi kopra sekitar 121 ribu ton per tahun ini berharap kepedulian pemda dan pemerintah pusat tidak hanya sebatas pemanis telinga, tetapi harus realisasinya karena mereka sekarang butuh uang dari hasil tanamannya bukan dari bantuan sosial yang sifatnya sesaat.

Baca juga: Berlomba "dead-line" di ruas Kebun Kopi
Baca juga: Akhir nasib tujuh penyelundup sabu-sabu

 

Pewarta: La Ode Aminuddin
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018