semua produk tersebut diolah secara tradisional, dengan kearifan lokal yang merupakan bagian dari budaya tradisi yang berlangsung turun temurun
Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menggandeng berbagai pihak dalam rangka mencari solusi terbaik untuk memasarkan garam tradisional yang dihasilkan sejumlah daerah penghasil garam di Nusantara.

Asisten Deputi Bidang Sumber Daya Mineral dan Energi Non Konvensional Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Amalyos Chan dalam rilis di Jakarta, Sabtu, menyatakan, Indonesia memiliki tradisi pengolahan garam rakyat yang sangat istimewa.

Indonesia memiliki ragam tradisi pengolahan garam dari laut hingga gunung. Diantaranya diketahui garam laut bali, yakni Amed, Kusamba, Tejakula, Pemuteran yang juga dikenal dengan istilah garam artisan, garam gunung yang diproduksi di Gunung Krayan, Kalimantan Utara, garam bledug kuwu sering disebut garam bleng yang berasal dari lumpur vulkanik di Grobogan, Jawa Tengah, hingga garam dari tanaman di Papua.

Menurut dia, semua produk tersebut diolah secara tradisional, dengan kearifan lokal yang merupakan bagian dari budaya tradisi yang berlangsung turun temurun.

Dalam mencari solusi tersebut, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman menggandeng Sekretariat Kabinet, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi, Kementerian Kesehatan, Kementerian Koperasi dan UKM, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi, Pemerintah Daerah, serta pengusaha, investor dan asosiasi garam.

Ia mengemukakan bahwa garam yang tidak diproses fortifikasi yodium ini tidak dapat diedarkan secara luas karena kebijakan pemerintah hanya mengakui garam beryodium sebagai garam konsumsi.

Pada sisi yang lain, lanjutnya, keunikan cara produksi telah membuahkan sertifikat Indikasi Geografis dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia karena memiliki nilai dagang. Garam artisan dari Amed, Bali Utara telah memiliki Sertifikat Indikasi Geografis (IG).

Diperlukan pengecualian untuk garam seperti ini, karena dapat menjadi sumber pendapatan yang layak bagi petambak garam. Garam ini harganya bagus. Lebih mahal dari garam dapur biasa.

"Sudah ada permintaan dari segmen tertentu, misalnya untuk kebutuhan sajian gourmet, yang selama ini banyak masuk melalui impor, untuk kebutuhan khusus penderita penyakit auto imun dan autism yang membutuhkan garam organik. Serta ini bisa menjaga tradisi pembuatan garam yang ternyata berkualitas baik," ucapnya.

Amalyos menambahkan bahwa celah pasar ini sebaiknya diisi oleh garam produksi dalam negeri yang menjaga kearifan lokal, daripada diisi produk impor.

Sebelumnya, pengamat sektor kelautan dan perikanan Moh. Abdi Suhufan menyatakan pemerintah perlu melakukan langkah yang sistematis meningkatkan produktivitas tambak garam yang dihasilkan oleh para petani di berbagai daerah.

Abdi Suhufan juga menilai hingga saat ini, upaya meningkatkan produksi garam di berbagai daerah dinilai belum dilakukan secara serius.

Menurut dia, setelah anjloknya produksi pada tahun 2016 yang hanya 150.000 ton atau 4,1 persen dari target produksi 3,6 juta ton, tindakan pemerintah untuk tingkatkan produksi garam belum kelihatan secara nyata.

Abdi yang menjabat sebagai Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia itu berpendapat bahwa dalam empat tahun ini, produksi garam tidak pernah mencapai target yang ditetapkan sendiri oleh pemerintah.

Baca juga: KNTI desak pemerintah perbaiki tata kelola garam

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Wijaya
Copyright © ANTARA 2018