Kearifan lokal tersebut dapat dikawinkan dengan perkembangan teknologisehingga rumah yang dihasilkan tetap elegan
Jakarta  (ANTARA News) - Sebagai negara yang dikelilingi Cincin Api Pasifik, Indonesia terletak di zona gempa paling aktif di dunia. Apalagi, Indonesia juga terletak di atas tiga tumbukan lempeng benua, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Lempeng-lempeng aktif tersebut terus bergerak yang dapat mengakibatkan gempa ketika terjadi tumbukan. 

Dengan kondisi geografis tersebut, Indonesia menjadi negara yang wilayahnya rawan terhadap bencana seperti gempa bumi, gunung meletus dan tsunami.

Namun, di sisi lain, Indonesia juga merupakan wilayah yang memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah dan subur. Bagaimana tidak, sebagai contoh, debu yang berasal dari letusan gunung berapi saja dapat menjadi elemen yang menyuburkan tanah di sekitarnya.

Beranjak dari kondisi yang tak terelakkan sebagai wilayah yang rawan bencana, maka masyarakat yang tinggal di dalamnya sudah semestinya memiliki kemampuan dalam menghadapi dan tanggap bencana.

Tanggap bencana bukan lagi menjadi hal baru tapi seharusnya sudah mendarah daging bagi warga yang tinggal di wilayah yang kerap dilanda bencana.

Pola adaptasi tanggap bencana juga harus diimplementasikan dalam upaya pembangunan rumah rakyat sehingga rumah yang dibangun juga tahan terhadap bencana agar tidak menimbulkan korban dan kerugian dalam jumlah besar. Untuk itu, arsitektur yang tanggap bencana harus dibumikan di Tanah Air. 

Masyarakat Indonesia sejak dulu telah membangun arsitektur yang tanggap bencana dengan beradaptasi terhadap alam bukan melawan alam seperti bangunan tradisional yang terbuat dari kayu dan bambu yang cocok untuk wilayah yang rawan gempa.

Kayu dan bambu merupakan material alam yang dapat digunakan untuk menggantikan semen dan bata dalam membangun rumah. 

Saat ini, rumah dengan tembok yang terbuat dari bata, semen dan pasir sudah menjadi patokan rumah yang layak bagi tiap orang padahal belum tentu tanggap bencana. Karena keterbatasan dana, warga membangun seadanya sehingga rumah tidak sesuai dengan struktur tahan gempa akibatnya banyak orang tewas tertimpa bagian-bagian rumah yang roboh diterjang gempa atau bencana.

Padahal sejak dulu di mana teknologi belum mewabah, warga Indonesia telah mampu membangun arsitektur yang tanggap bencana. Kini alih-alih mengejar status sosial, warga beralih membangun tembok rumah dengan bahan material industri tanpa mengedepankan aspek ketahanan terhadap bencana. Padahal bencana seperti gempa bumi tidak dapat diprediksi waktu terjadinya.

Untuk itu, warga sudah seharusnya mempersiapkan diri dengan perilaku tanggap bencana termasuk dalam hal arsitektur bangunan atau rumah sehingga meminimalkan korban dan kerugian.

Arsitek Yu Sing menuturkan untuk membumikan dan melakukan arsitektur yang tanggap bencana perlu dukungan kebijakan nasional sehingga akan diimplementasikan secara menyeluruh di Tanah Air. 

"Kalau mau dampaknya sangat besar harus ada kebijakan pemerintah memang jadi supaya berlaku secara nasional dan mengembalikan kesadaran, paradigmanya dulu," kata Yu Sing usai kuliah umum "Arsitekturyang Tanggap Bencana' di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Jumat. 

Yu Sing mengatakan arsitektur yang tanggap bencana tersebut jangan hanya menjadi "angin lalu", tapi harus diimplementasikan secara masif dan menjadi standar rumah layak huni.

Oleh karenanya, pemerintah perlu menyediakan aturan yang mendorong implementasi arsitektur yang tanggap bencana terutama bagi perumahan rakyat. Arsitektur yang tanggap bencana itu dapat dibangun dengan mengadopsi budaya lokal seperti rumah tradisional yang berbahan kayu atau bambu.

Kearifan lokal tersebut dapat dikawinkan dengan perkembangan teknologi saat ini sehingga rumah atau bangunan yang dihasilkan tetap elegan, indah dan mengikuti perkembangan zaman.

Sebagai contoh, teknologi yang kian canggih hari-hari ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas kayu seperti kayu kelas empat menjadi kayu kelas dua. Kayu tersebut akan terlihat mahal dan berkelas ketika diberikan sentuhan seni, desain dan teknologi dalam membangun bangunan atau rumah yang keren.

Material industri memang dapat digunakan untuk membangun bangunan tanggap bencana, namun biaya yang dibutuhkan akan jauh lebih besar, sementara tidak semua masyarakat mampu melakukannya, maka alternatif lain adalah memanfaatkan material alami.

Untuk pengembangan arsitektur tanggap bencana berbahan material alami seperti kayu, maka hal yang juga harus diperhatikan adalah ketersediaan bahan baku sehingga pengelolaan alam harus dilakukan secara berkelanjutan. 

Ketika kesadaran akan pentingnya pemanfaatan material alam muncul, maka secara tidak sadar kepedulian terhadap pengelolaan alam akan bertumbuh untuk menjamin ketersediaan bahan baku dari alam. 

Selain itu, paradigma masyarakat juga harus mulai diubah untuk menyadari pentingnya arsitektur yang tanggap bencana di Indonesia sehingga membangun dan merenovasi rumah mereka dengan memperhatikan aspek ketahanan terhadap bencana.

"Kalau paradigmanya belum berubah bahwa kita harus terus menerus melawan kondisi material alami, rumah alami itu tidak layak maka akan sangat lambat perubahannya. Maka harus mengakui rumah alami adalah rumah yang layak, dan kita harus mengembalikan itu dan mengelola itu semua," tutur Yu Sing yang merupakan lulusan S1 Arsitektur Institut Teknologi Bandung. .
 
Dia mengatakan arsitektur tanggap bencana sangat bergantung pada jenis bencana yang harus disikapi, misalnya ketika terjadi bencana, maka rumah itu akan relatif mampu untuk bertahan atau kalaupun rusak tidak sampai membunuh orang yang tinggal di dalamnya.

Yu Sing menuturkan arsitektur tradisional sesungguhnya mencerminkan bagaimana warga pada zaman dulu telah membangun rumah mereka untuk menyikapi dan hidup bersama-sama dengan alam sehingga itu membuktikan masyarakat pada awalnya memang sudah beradaptasi pada keadaan alam dan bencana. 

Namun, saat ini sudah banyak warga yang meninggalkan kearifan lokal dan mulai membangun rumah dengan tembok dan beton tanpa memperhatikan konsep ketahanan terhadap bencana. 

"Kita harus kembali kepada alam, menjadi manusia tropis dan kembali mengelola alam," ujarnya. 


Rumah tahan gempa

Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan beberapa upaya untuk bersiap menghadapi gempa adalah dengan membangun rumah yang dirancang tahan gempa, mempelajari sehingga mengetahui cara-cara menyelamatkan diri dan melakukan latihan secara rutin.

"Padahal Indonesia rawan bencana, termasuk gempa. Tidak perlu takut, tetapi kita harus siap menghadapi bencana," kata Sutopo.

Sebagai contoh, gempa yang mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat telah menyebabkan banyak rumah rusak dan hancur. Puing-puing rumah yang roboh itu kemudian menimpa para korban dan mengakibatkan banyak korban karena rumah yang tidak tahan gempa.

Pembangunan Rumah Instan Sederhana Sehat (Risha) menjadi salah satu inovasi yang ditawarkan pemerintah untuk membangun rumah tahan gempa.

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Prof. Arif Sabarudin mengatakan dalam membangun Risha yang terpenting adalah strukturnya, sementara untuk dinding bisa menggunakan batu bata atau kayu dan atap rangka baja ringan termasuk menggunakan material dari rumah yang rusak sebelumnya.

Rumah tahan gempa teknologi Risha merupakan rumah sistem modular yang terdiri dari panel-panel beton dengan ukuran standar yang dirakit menggunakan baut-mur.

"Biaya pembangunan struktur rumah Risha diperkirakan Rp25 juta-27 juta. Waktu pengerjaannya satu unitnya bila sudah ahli bisa selesai 6 jam, namun bila belum selesai dalam 2 hari. Oleh karenanya setelah pelatihan dan semakin sering diterapkan akan semakin ahli," kata Arif.

Baca juga: Puan pastikan pembangunan rumah korban gempa berjalan lancar
Baca juga: PUPR: warga kurang minati rumah tahan gempa


 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018