Di Indonesia keadilan belum sepenuhnya dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, baik dari sisi hukum, ekonomi, sosial, maupun politik. Jika dilihat dari sisi ekonomi, hal ini tercermin melalui tingginya ketimpangan pendapatan masyarakat
Gorontalo,  (ANTARA News) - Sebanyak 101 peserta memaparkan hasil penelitian masing-masing dalam Konferensi Tahunan Keadilan Sosial di Universitas Muhammadiyah Gorontalo sejak Jumat (7/12) hingga Ahad (9/12) Desember 2018.
  
Para peserta kegiatan itu adalah kalangan peneliti, cendekiawan, akademisi, dan aktivis. Secara paralel, mereka memaparkan hasil penelitiannya dalam konferensi tersebut.

Beberapa di antara para peserta kegiatan itu, berasal dari sekolah menengah atas (SMA) di Sumatera Selatan dan Jakarta.

Konferensi diawali dengan menghadirkan tiga pembicara kunci, yakni Rektor Universitas Widya Mataram Edy Suandi Hamid, Rektor Universitas Hasanudin Makassar Dwia Ariestina Pulubuhu, dan Rektor Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMG) M. Isman Jusuf.

Edy Suandi Hamid menjelaskan tentang makna dan praktik keadilan di Indonesia, di mana keadilan adalah suatu amanah sekaligus cita-cita yang tertuang secara jelas pada sila ke-5 Pancasila.

"Namun, di Indonesia keadilan belum sepenuhnya dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, baik dari sisi hukum, ekonomi, sosial, maupun politik," katanya.

Jika dilihat dari sisi ekonomi, kata dia, hal ini tercermin melalui tingginya ketimpangan pendapatan masyarakat.

Mantan Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dua periode tersebut banyak memaparkan data dan fakta tentang fenomena ketimpangan sosial di Indonesia.

Menurut dia, distribusi pengeluaran per kapita Indonesia pada 2017 menunjukkan bahwa 46,89 persen total pengeluaran Indonesia dinikmati oleh 20 persen penduduk dengan pengeluaran terbesar, sedangkan 40 persen penduduk dengan pengeluaran terendah hanya menikmati 17,02 persen total pengeluaran Indonesia.

Data itu, menunjukkan bahwa "kue ekonomi" Indonesia lebih banyak dinikmati oleh seperlima penduduk dengan pengeluaran terbesar.

Menurut dia, besarnya tingkat pertumbuhan ekonomi dan penurunan tingkat kemiskinan, tidak sebesar dengan penurunan tingkat ketimpangan pendapatan.

Penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia, katanya, tidak serta merta menurunkan tingkat ketimpangan. Hal itu karena pertumbuhan pendapatan orang kaya jauh di atas orang miskin.

Karena itu, Edy Suandi Hamid menyatakan bahwa ketimpangan masih menjadi salah satu tugas berat yang harus dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat, sehingga pemerintah harus meningkatkan program bantuan sosial, permodalan, kebijakan pajak yang progresif, peningkatan upah, pemerataan infrastuktur, dan keuangan yang inklusif.

Rektor Unhas Dwia Ariestina Pulubuhu banyak menjelaskan tentang penyelesaian konflik sosial yang berkeadilan.

"Konflik bersumber dari ketidakadilan, baik itu ketidakadilan ekonomi, ketidakadilan politik, dan ketidakadilan sosial," kata Dwia yang juga seorang  sosiolog itu.

Rektor perempuan pertama di Universitas Hasanudin itu, menjelaskan secara historis konflik yang terjadi di Indonesia yang dimulai pascakolonial, yakni politik "devide et impera" (memecah belah), yang meninggalkan jejak sekat dan stratifikasi sosial berbasis identitas.

Menurut dia, ada beberapa isu utama konflik dan kekerasan yang terjadi di Indonesia saat ini yang bersumber dari ketidakadilan, yakni isu demokrasi dan desentralisasi, konflik lahan, penegakan hukum yang lemah, konflik indentitas, dan korupsi.

Rektor UMG M. Isman Jusuf menjelaskan keadilan sosial dari sektor kesehatan, yakni dengan mendiagnosis stroke sebagai sosiosomatik, sebagai sesuatu tinjauan neurologi sosial.

Menurut dia, dalam paradigma konflik teori sosiologi kedokteran, stroke termasuk dalam sosiosomatik atau penyakit yang ditandai dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas secara signifikan yang dipengaruhi determinan sosial.

Berdasarkan pemaparannya, Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia.

Konferensi tersebut digelar oleh The Indonesian Social Justice Network (ISJN) yang merupakan perkumpulan 361 ilmuwan, aktivis pembangunan, peneliti, dosen, dan pekerja kemanusiaan yang merupakan alumnus universitas-universitas terbaik di dunia atas beasiswa penuh International Fellowship Program (IFP) yang didanai oleh The Ford Foundation.

Baca juga: UMG terima bantuan dari AMCF untuk pendidikan

Baca juga: Gorontalo Miliki Universitas Muhammadiyah untuk Program S1


 

Pewarta: Debby H. Mano
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2018