Pekanbaru (ANTARA News) - Puluhan taksi di Kota Batam berbaris rapi di kawasan Batam Center, medio November 2018 lalu. Satu persatu angkutan andalan warga kota industri yang kini menjelma menjadi kota wisata tersebut melepas dahaga. Bukan premium atau bahan bakar sejenis lainnya, taksi-taksi itu dengan sabar menunggu giliran mengisi gas di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG).

Stasiun itu merupakan satu-satunya yang tersedia di Kota Batam, yang nantinya menjadi cikal bakal sumber tenaga biru di kota terdepan di wilayah barat Indonesia tersebut. Energi biru yang bersih dan menjadi visi pemerintah setempat untuk menarik lebih banyak turis ke pulau eksotis tersebut.

Abdullah, salah seorang supir taksi mengaku dengan modal Rp50 ribu, kendaraannya dapat beroperasi seharian dan mengantar penumpang yang mayoritas wisatawan keliling Batam. Dengan harga Rp4.500 setara liter premium (LSP), bapak dua anak yang telah menggunakan gas sebagai bahan bakar selama delapan bulan terakhir itu mengaku mampu menghemat hingga ratusan ribu perbulan, dibanding menggunakan premium.

"Kendaraan saya tidak ada masalah selama ini. Mungkin businya yang harus lebih sering diganti. Tapi itu bukan masalah," tuturnya.

Senyum Saiful merekah renyah ketika mendengar pengakuan Abdullah kepada Antara. Dia mengamini pernyataan koleganya tersebut. Menurut Syaiful, kendaraan yang ia gunakan jauh lebih irit dan hemat dengan menggunakan gas bumi.

"Saya sangat merasakan bagaimana teknologi mempermudah hidup manusia," tutur Syaiful yang telah memasang "converter" gas di mobil sedan biru sejak setahun terakhir itu.

Di tempat lain, sebuah perusahaan yang bergerak dibidang penyedia jasa listrik di kawasan industri terpadu Panbil Batam berdiri gagah. Mesin-mesin pembangkit listriknya menggelegar, tanpa menyisakan asap tebal.

Pembangkit listrik yang mampu memuntahkan tenaga hingga 26 megawatt tersebut sama sekali tak bernoda. Mengalirkan listrik untuk kebutuhan industri, hotel dan ribuan rumah tangga.

Bau cat menyeruak ketika Antara memasuki kawasan gedung kantor perusahaan listrik tersebut, menandakan bahwa gedung itu baru saja selesai dibangun. Tentu saja, dengan menerapkan sumber energi yang ramah lingkungan.

Masih di kawasan industri yang sama, belasan orang yang bekerja di perusahaan yang bergerak dibidang pencucian pakaian atau "laundry" tampak sangat sibuk.

Sejumlah mesin pencuci dan pengering otomatis berukuran raksasa tak henti memutar, membersihkan dan mengeringkan kain berukuran lebar.

Gigih Prakoso, Direktur Utama PT PGN Tbk menyela "Semua mesin-mesin yang kita lihat tadi digerakkan oleh tenaga yang bersumber dari gas bumi," katanya sumringah.

Sejak didapuk menjadi orang nomor satu di perusahaan pengolah dan distribusi gas alam Indonesia pada September 2018 lalu, pria berperawakan sederhana dan ciri khas rambut putih itu "gigih" keliling Indonesia. Terutama wilayah kerja operasi PT PGN Tbk.

Tujuannya satu, memetakan arah perusahaannya dan memaksimalkan potensi yang ada. Gigih menyimpan mimpi besar, yang selalu ia katakan bahwa mimpi itu "harus" direalisasikan.

Mimpi Gigih untuk membirukan sektor energi Indonesia diawali dengan bergabungnya PGN dengan Pertagas, yang berarti juga mengakhiri "perang" dua perusahaan milik negara tersebut dalam sektor energi, terutama gas bumi. Sebuah permulaan yang baik, untuk selanjutnya dapat menjadi pondasi kuat menopang kebutuhan energi Indonesia di masa mendatang.

Gigih mengatakan Indonesia meiliki cadangan gas bumi yang sangat melimpah. Akan tetapi pemanfaatannya masih jauh dari kata optimal. Justru, gas bumi Indonesia banyak dinikmati masyarakat negara tetangga, yang tidak sebeuruntung Indonesia dalam cadangan sumber daya alam.

Selain minimnya pemanfaatan, tingkat kepercayaan masayarat dalam penggunaan gas bumi dengan sistem perpipaan juga menjadi masalah. Ketakutan akut dengan kabar yang tidak benar juga menjadi kendala dalam menggunakan gas yang jauh lebih murah, dan seharusnya lebih selamat itu.

Gigih menyadari bahwa masalah itu yang kemudian harus dapat diselesaikan, segera dan secepatnya. Agar bangsa ini tidak ketinggalan terlalu jauh, dan menciptakan Indonesia berdaulat dari sektor energi.

Gas bumi memiliki perbedaan dengan Liquified Petroleum Gas (LPG), namun banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan tersebut.

Ia menjelaskan bahwa gas bumi merupakan gas yang berasal dari hasil eksplorasi kilang sumur gas. Komponen utama senyawa gas ini adalah metana (CH4) yang merupakan molekul hidrokarbon paling pendek dan ringan daripada jenis gas yang lain.

Karena berat jenisnya lebih ringan dari udara, sehingga ketika terjadi kebocoran gas akan bergerak menuju atas serta bergerak bebas ke udara. Lain dengan LPG (Elpiji) yang berat jenisnya lebih besar, sehingga akan terkumpul ke bawah jika terjadi kebocoran. Gas bumi lebih memiliki karakter ramah lingkungan dan tidak menimbulkan polusi, selain itu harga jualnya lebih murah, yakni sepertiga dari elpiji.

"Untuk itu gas bumi jauh lebih aman dan murah dibanding dengan jenis yang sama lainnya," jelasnya.

Batam, kata Gigih akan menjadi proyek percontohan dalam kesuksesan penggunaan gas bumi. Pola yang berhasil diterapkan di Batam akan diterapkan di wilayah lainnya di Indonesia, terutama wilayah barat.

Tonggak Sejarah Aliran Gas Bumi di Riau.

Pekan terakhir November 2018 menjadi tonggak sejarah baru bagi PGN. Salah satu investasi terbesar perusahaan dengan kode emiten PGAS pada tahun lalu di Provinsi Riau, dengan total nilai mencapai USD70 juta mulai memberikan hasil.

Pipa transmisi sepanjang 67 kilometer di kawasan pesisir barat Sumatera, tepatnya di daerah industri Duri-Dumai, Provinsi Riau mulai dialiri gas atau "gas in". Keberadaan pipa itu menjadi sejarah baru dalam penyediaan gas bumi dalam menyongsong ketersediaan energi bersih nan biru, dan tentunya murah bagi pelaku industri dan masyarakat di Bumi Lancang Kuning.

"Ini sejalan dengan komitmen kami untuk menyalurkan energi baik bagi masyarakat," kata Sekretaris perusahaan PT PGN Tbk Rachmat Hutama.

Nantinya, lanjut Rachamt, setelah penyaluran gas perdana ini tidak mengalami gangguan maka PGN akan melanjutkan penyaluran gas bumi ke konsumen.

"Mulai dari pelanggan rumah tangga, industri hingga komersial yang berada di wilayah Dumai yang selama ini dikelola oleh PGN. Kemudian dalam waktu dekat ini, gas bumi juga akan mengalir ke (kilang) Pertamina RU (refinery unit) 2," jelasnya.

Rachmat menjelaskan bahwa proses pembangunan jaringa pipa gas transmisi Duri-Dumai merupakan hasil dari sinergi apik antara PT PGN Tbk dengan PT Pertamina (Persero) melalui anak usahanya PT Pertamina Gas (Pertagas) yang merujuk pada Keputusan Menteri ESDM Nomor 5975 K/12/MEM/2016.

Target Satu Juta Sambungan 2019

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memberikan target kepada PT PGN Tbk untuk melakukan satu juta sambungan gas melalui program jaringan gas bumi (Jargas) baru mulai 2019.

Direktur Utama PT PGN Tbk Gigih Prakoso menjelaskan target tersebut disampaikan Kementerian ESDM pada awal proses integrasi PT PGN dengan Pertamina Gas (Pertagas) yang kini masih terus berlangsung.

"Kementerian ESDM meminta mulai tahun depan dan selanjutnya ada satu juta sambungan baru melalui Jargas. Persoalannya hingga kini pertahun kami hanya mampu menambah 50.000 sambungan baru," kata Gigih.

Meski target dan realisasi saat ini terpaut cukup jauh, Gigih menegaskan PT PGN yang mulai ia pimpin sejak September 2018 itu siap untuk menjawab tantangan pemerintah.

Gigih mengakui bahwa investasi Jargas membutuhkan biaya yang sangat besar, yang tidak mungkin hanya bergantung pada APBN. Untuk itu, ia menjelaskan akan mengembangkan skema kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) atau memberikan ruang kepada pihak swasta untuk terlibat aktif dalam pembangunan Jargas.

Melengkapi Gigih, Direktur Infrastruktur dan Teknologi PGN Dilo Seno Widago mengatakan secara umum PGN menargetkan untuk membangun 4,5 juta sambungan yang diperuntukkan bagi 126 juta rumah tangga di Indonesia. PGN kemudian akan menawarkan konsep kerja sama dengan pihak lain untuk mempercepat pembangunan jaringan, seperti badan usaha, untuk melakukan investasi.

"Jadi konsepnya seperti public private partnership," kata dia.

Program pembangunan jaringan gas bumi ini merupakan upaya jangka panjang yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengurangi subsidi energi yang selama ini terfokus pada minyak bumi dan LPG 3 kilogram. Menurut dia, cadangan gas di Indonesia sangat besar, yang diprediksi cukup untuk 70 tahun mendatang.

Sementara cadangan minyak terus menurun sehingga langkah besar PGN untuk membangun Jargas yang nantinya tidak hanya diperuntukkan bagi rumah tangga, melainkan juga sektor transportasi dan energi bisa menjadi harapan baru Indonesia dalam menciptakan energi biru di negeri ini.

Baca juga: Indonesia tak miliki cetak biru pengembangan BBG
Baca juga: Pertamina operasikan dua SPBG baru
 

Pewarta: Anggi Romadhoni
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018