Jakarta (ANTARA News) - Optimisme membaiknya ekonomi domestik, mulai terlihat di awal tahun. Pertumbuhan ekonomi dalam negeri pada tiga bulan pertama setidaknya lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ekonomi tumbuh 5,06 persen, sementara pada triwulan I-2017 lalu hanya 5,01 persen.
   
Harapan akan semakin menggeliatnya ekonomi pun semakin meningkat, setelah pada triwulan berikutnya pertumbuhan ekonomi lebih tinggi lagi yakni mencapai 5,27 persen. Namun, pada triwulan ketiga pertumbuhan ekonomi menurun menjadi 5,17 persen. Jika dirata-rata pertumbuhan ekonomi sepanjang tiga kuartal tersebut pertumbuhan ekonomi hanya 5,17 persen, sementara dalam APBN 2018 ekonomi ditargetkan tumbuh 5,4 persen.

Pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2018 pun diperkirakan akan berada di kisaran 5,1-5,2 persen.
 
 Untuk tahun depan, ekonomi juga diprediksi akan tumbuh di level yang kurang lebih sama dengan tahun ini. Sedangkan target pertumbuhan ekonomi 5,3 persen dalam APBN 2019 dianggap sulit dicapai mengingat masih tingginya ketidakpastian ekonomi global.
 
 Belanja pemerintah memang dapat digenjot agar tumbuh lebih tinggi, tapi dua sumber pertumbuhan lain yakni  investasi dan ekspor diprediksi masih akan mengalami tekanan. Sementara itu, konsumsi rumah tangga yang menjadi penyumbang terbesar Produk Domestik Bruto (PDB) diproyeksikan masih bertahan pada level lima persen.
 
 Kendati demikian, sejumlah kebijakan pemerintah yang bertujuan mendorong peningkatan pendapatan dan daya beli, diprediksi dapat menjaga tingkat konsumsi masyarakat antara lain rencana kenaikan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) dan premi jaminan sosial bagi ASN, TNI, dan POLRI, peningkatan bantuan sosial untuk rakyat miskin, serta kenaikan upah minimum.
   
Selain itu, ajang pesta demokorasi di tahun depan diharapkan juga ikut mendorong konsumsi swasta. Alokasi belanja bantuan sosial sendiri meningkat 26,7 persen pada APBN 2019, setelah pada APBN 2018 meningkat 42,6 persen.
   
Walaupun secara parsial, efek dari masing-masing kebijakan tersebut terhadap keseluruhan konsumsi rumah tangga tidak terlalu besar, secara simultan tetap berpotensi memiliki daya dorong signfikan terhadap konsumsi rumah tangga di tahun depan.
   
Peluang pertumbuhan

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal  menilai, meskipun tantangan ekonomi yang dihadapi pada 2019 lebih besar, bukan berarti peluang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi sudah tertutup.

Ia meyakini bahwa untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di tengah tekanan global, pemerintah perlu melihat permasalahan-permasalahan ekonomi nasional dari akarnya serta lebih inovatif dalam mencari solusinya.
   
"Tidak sekadar menggunakan pendekatan-pendekatan instan untuk menghias kinerja ekonomi menjelang konstetasi di tahun politik semata, paling tidak pemerintah perlu menjaga agar kebijakan-kebijakan  yang dikeluarkan jangan sampai berdampak terhadap penurunan daya beli dan tingkat konsumsi masyarakat, yang menjadi penopang utama ekonomi nasional," ujar Faisal.
   
Mempertahankan harga BBM bersubsidi di dalam negeri, akan menjadi krusial untuk mencegah terkereknya inflasi dan melemahnya daya beli khususnya bagi masyarakat golongan menengah ke bawah.

Selain itu, upaya stabilisasi nilai tukar Rupiah oleh Bank Indonesia juga perlu dilakukan secara cermat untuk menjaga optimisme konsumen dan pelaku usaha di dalam negeri.
 
 Terkait inflasi sendiri, dalam empat tahun terakhir angka inflasi memang relatif rendah, namun tidak diikuti meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia misalnya, yang ketika inflasinya rendah pertumbuhan ekonominya meningkat. Sedangkan Indonesia, meski inflasi relatif terjaga rendah di level tiga hingga empat persen, namun pertumbuhan ekonomi stagnan di level lima persenan.
   
Inflasi yang rendah saat ini terjadi dinilai karena laju daya beli yang juga rendah. Inflasi rendah akan dapat merepresentasikan keberhasilan pengendalian harga jika beriringan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang meningkat pesat.
   
"Persoalannya, inflasi yang relatif rendah saat ini tidak diiringi dengan pertumbuhan ekonomi yang akseleratif, sehingga rendahnya inflasi lebih mencerminkan laju daya beli yang juga rendah," kata peneliti dari  Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Eko Listyanto.
 
 Padahal, porsi pendapatan terbesar masyarakat dibelanjakan untuk pangan, terutama golongan menengah ke bawah.  Jika pemerintah tidak mampu menjaga stabilitas harga pangan, maka implikasinya akan lintas sektor, yaitu permintaan produk non pangan pun akan ikut terkoreksi karena lemahnya daya  beli.
   
Daya beli yang terkoreksi, selanjutnya akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut disebabkan mesin pertumbuhan yang paling dominan di Indonesia adalah konsumsi rumah tangga swasta. 
   
Wait and see

 Pertumbuhan ekonomi yang "terperangkap" di angka lima persenan, meskipun suntikan belanja pemerintah terus ditingkatkan, menandakan daya stimulasi anggaran yang lemah. Efeknya kemudian menjalar mulai dari semakin tertundanya eksekusi investasi karena aksi "wait and see", hingga peringkat kemudahan berusaha yang terkoreksi.
   
Sementara itu, untuk ekspor, pertumbuhannya pada tahun depan berpotensi tertekan seiring masih melambatnya pertumbuhan ekonomi global terutama akibat efek perang dagang antara AS dan Tiongkok   Daya dorong ekonomi global terhadap ekonomi domestik pada 2019 diprediksi masih terbatas.

Pasalnya, pertumbuhan ekonomi negara-negara yang menjadi tujuan ekspor utama Indonesia seperti Tiongkok, Amerika Serikat, Uni Eropa, diperkirakan akan mengalami perlambatan tahun depan.
 
 Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksikan pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan melambat dari 6,5 persen tahun ini menjadi 6,2 persen pada 2019, AS melambat dari 2,9 persen menjadi 2,5 persen, sementara Uni Eropa melambat dari 2,2 persen menjadi 2 persen. Bahkan pertumbuhan negara-negara ASEAN pun diprediksi melambat dari 5,3 persen menjadi 5,2 persen.
 
 Perlambatan ekonomi negara-negara mitra dagang terbesar, berpotensi menekan permintaan terhadap impor negara-negara tersebut. Pada saat yang sama, harga sejumlah komoditas, termasuk komoditas andalan Indonesia seperti kelapa sawit, batubara, dan karet, cenderung melemah. Ditambah dengan efek kebijakan sejumlah negara-negara tujuan ekspor utama, seperti AS, Uni Eropa, dan India, yang masih cenderung protektif, pertumbuhan ekspor Indonesia tahun depan berpotensi terus tertekan.
   
Sebenarnya, gejala pelemahan ekspor khususnya ke pasar utama sudah terlihat sejak 2018. Pada periode Januari hingga Oktober 2018, ekspor nonmigas ke AS hanya tumbuh 3,7 persen, sepertiga dari pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai 10,3 persen. Ekspor nonmigas ke Tiongkok memang masih tumbuh 22 persen, tapi capaian itu sebenarnya kurang dari separuh pertumbuhan ekspor pada  periode yang sama pada 2017.
   
Pelemahan nilai tukar Rupiah, nampaknya tidak banyak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekspor. Hal tersebut dinilai wajar mengingat ekspor Indonesia sebagian besar masih merupakan ekspor komoditas yang lebih banyak terpengaruh oleh harga di pasar global. Sementara itu, pertumbuhan ekspor manufaktur malah jauh lebih lambat lagi, yakni hanya mencapai lima persen berbanding ekspor komoditas yang mencapai 22 persen sepanjang Januari hingga Oktober tahun ini.
   
Manakala pertumbuhan ekspor masih tertekan, akselerasi impor yang terjadi pada tahun ini juga nampaknya masih akan sukar untuk dikendalikan tahun depan. Pasalnya, dua faktor eksternal pendorong utama percepatan impor yakni pelemahan Rupiah dan peningkatan harga minyak dunia, masih eksis pada 2019.
   
Berbeda dengan struktur ekspor yang didominasi komoditas, struktur impor sangat didominasi oleh produk manufaktur, baik dalam bentuk barang konsumsi, barang modal, maupun bahan baku dan penolong industri.
 
Dari sisi investasi, secara kumulatif sampai dengan triwulan ketiga 2019, penanaman modal tetap bruto (PMTB) memang masih tumbuh 6,91 persen, lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai 5,75 persen.
   
Sayangnya, investasi yang dalam beberapa tahun terakhir tumbuh paling tinggi mulai menunjukkan gejala perlambatan khususnya penanaman modal asing (PMA). Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan pertumbuhan PMA pada triwulan kedua dan ketiga tahun ini sudah mengalami kontraksi masing-masing sebesar -13 persen dan -20 persen. 
   
Selain faktor perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia, momentum tahun politik di dalam negeri juga cenderung membuat para pelaku usaha melakukan "wait and see".

Sebagaimana terjadi pada 2009 dan 2014, pertumbuhan investasi umumnya mengalami perlambatan pada tahun-tahun pemilu. Beberapa permasalahan teknis terkait dengan pengurusan perizinan seperti penerapan sistem online single submission (OSS) yang belum terselesaikan, juga berpotensi menahan laju investasi tahun depan. 
   
Walaupun tumbuh lebih lambat, investasi di tahun 2019 disebut masih berpotensi tumbuh di kisaran lima hingga enam persen. Investasi di sektor jasa diprediksi menjadi penopang pertumbuhan investasi di tahun depan, diantaranya investasi yang terkait dengan proyek-proyek infrastruktur.

Anggaran belanja infrastruktur dalam APBN 2019 yang mencapai Rp420,5 triliun, lebih besar dibandingkan anggaran tahun ini yang mencapai Rp410 triliun, diharapkan dapat mengerek ekonomi tumbuh lebih menjanjikan di tahun depan. 
Baca juga: Tantangan dan strategi dorong pertumbuhan ekonom

i
Baca juga: Jokowi terus dorong peningkatan daya saing

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018