Jakarta (ANTARA News) - Salah satu permasalahan di bidang perekonomian nasional yang kerap menjadi topik di beragam media massa nasional adalah terkait dengan kondisi defisit neraca perdagangan sepanjang tahun 2018.

Sejumlah pihak juga telah menawarkan solusi, seperti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) yang menyatakan kedua calon presiden harus bisa menjaga stabilitas ekonomi nasional dengan menjaga agar neraca perdagangan tidak mengalami defisit.

Menurut dia, kondisi ekonomi Indonesia yang dalam kondisi naik turun belakangan ini wajib distabilkan melalui program ekonomi yang tepat sasaran dan bisa mengakomodasi kepentingan nasional.

Ia menjelaskan nilai rupiah yang telah tertekan sebesar kurang lebih 7 persen semenjak satu tahun terakhir memberikan dampak negatif sekaligus positif.

Hal tersebut, lanjutnya, walaupun melemahnya rupiah dianggap baik untuk meningkatkan ekspor dengan memberikan harga jual yang lebih kompetitif, nyatanya hal ini berdampak yang cukup serius pada industri yang berorientasi pada impor bahan produksi.

Pemerintah juga diharapkan perlu memprioritaskan neraca perdagangan agar jangan sampai defisit, yang perlu diatasi melalui peningkatan nilai ekspor.

Peningkatan nilai ekspor itu sendiri diharapkan dapat dicapai melalui peningkatan produktivitas dan daya saing industri dalam jangka panjang.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan selain investasi, peningkatan nilai ekspor adalah salah satu kunci dari pertumbuhan ekonomi.

Sesuai dengan amanat Presiden RI Joko Widodo, ujar Mendag di Lombok Barat, Senin (22/10), pertumbuhan ekonomi nasional hingga tiga tahun mendatang ditargetkan sebesar 5,4 persen. Target ini bisa tercapai jika didukung oleh peningkatan ekspor dan investasi.

Enggartiasto Lukita juga mengemukakan bahwa Kemendag menargetkan pertumbuhan ekspor sebesar 11 persen pada tahun 2018 ini.

Untuk meningkatkan nilai ekspor, Mendag menuturkan bahwa pihaknya telah menjalankan beberapa langkah strategis, diantaranya, dengan memfokuskan kembali ekspor dari produk primer ke produk industri atau olahan dan kemudian diversifikasi produk ekspor.

Sebagaimana diingatkan oleh Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo, kondisi yang terkait dengan defisit neraca transaksi berjalan yang terjadi pada tahun ini merupakan defisit yang sehat, karena impor untuk belanja modal lebih besar dari impor konsumsi.

"Defisit ini adalah defisit yang sehat karena untuk keperluan perekonomian, impornya untuk investasi. Impor yang tumbuh 12-13 persen `mostly` karena kegiatan ekonomi, kegiatan investasi, pembangunan infrastruktur yang memang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bisa tumbuh di 5,1-5,2. Artinya relatif impor capex di atas impor konsumsi. Ini yang memberikan optimisme," ujarnya saat menjadi pembicara kunci dalam acara diskusi CORE Economic Outlook 2019 di Jakarta, Rabu (21/11).

BI mencatat defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal III 2018 meningkat menjadi 3,37 persen dari PDB atau sebesar 8,8 miliar dolar AS, dibandingkan kuartal II 2018 yaitu 3,02 persen dari PDB atau 8 miliar dolar AS.


Efektivitas kebijakan

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution di Jakarta, Jumat (10/11), mengatakan efektifitas kebijakan pemerintah untuk mendorong ekspor dan mengurangi impor dapat mulai terlihat untuk menekan defisit transaksi berjalan pada triwulan IV-2018.

Darmin mengatakan berbagai kebijakan untuk mendorong kinerja investasi dalam bidang pengolahan yang berbasis ekspor dan subtitusi impor serta pemanfaatan biodiesel (B20) untuk mengurangi impor solar belum sepenuhnya tercatat pada defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan III-2018.

Namun, Menko Perekonomian menyakini bahwa kebijakan tersebut akan memperlihatkan hasil pada akhir tahun, sehingga realisasi defisit neraca transaksi berjalan di triwulan IV-2018 dapat lebih rendah dari triwulan III-2018 yang tercatat sebesar 8,8 miliar dolar AS atau 3,37 persen terhadap PDB.

Sementara itu, Kementerian Perdagangan juga menyatakan telah terus berusaha?untuk meningkatkan ekspor dalam neraca perdagangan Indonesia melalui kebijakan untuk mendorong ekspor, menjaga impor, dan kerja sama dengan negara-negara lain.

Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kemendag, Kasan saat memberikan kuliah umum di Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, 27 November 2018, mengingatkan, ekspor dan impor, serta kerja sama perdagangan internasional merupakan faktor yang dapat mendorong neraca perdagangan Indonesia.

Menurut Kasan, impor juga merupakan bagian dari perdagangan internasional yang tidak bisa dihindari. "Namun, bagaimana agar kebijakan impor dapat dibuat dengan tepat sehingga tidak merugikan Indonesia," jelasnya.

Selain itu, ujar dia, ekspor dan impor menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi Indonesia karena disadari bahwa suatu negara tidak hanya bisa melakukan ekspor saja tanpa impor.

Ia berpendapat bahwa impor bukan hal yang perlu dihindari karena impor sebenarnya juga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan mengimpor bahan baku untuk dapat dijadikan produk bernilai tambah yang juga ke depannya dapat diekspor kembali.

Senada, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan, pemerintah sangat memperhatikan berbagai upaya yang diperlukan dalam rangka meningkatkan investasi di berbagai daerah, serta mendorong ekspor nasional.

"Kalau ekonomi kita harus tumbuh, maka harus memperhatikan ekspor dan investasi," kata Amran di ICE Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan, Kamis (29/11).

Mentan memaparkan, untuk pertanian sendiri, investasi di sektor tersebut naik hingga lebih dari 100 persen dibandingkan lima tahun lalu, serta nilai ekspor pada 2017 meningkat 24 persen dibanding tahun sebelumnya.

Sebelumnya, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) telah melakukan kerja sama dalam rangka mendukung ekspor dan investasi nasional.

Kerja sama itu ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman yang dilakukan oleh Kepala BKPM Thomas Trikasih Lembong dan Direktur Eksekutif LPEI Sinthya Roesly, di Jakarta, Senin (29/10).

Agenda penting

Kepala BKPM, Thomas Trikasih Lembong menyampaikan bahwa peningkatan investasi dan ekspor merupakan agenda penting yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan perekonomian Indonesia.

Menurut dia, kerja sama antara BKPM dan LPEI diperlukan dalam upaya mendukung iklim dan pelayanan penanaman modal yang kondusif untuk peningkatan penanaman modal, perekonomian nasional dan kapasitas sumber daya.

BKPM mencatat, realisasi investasi semester pertama 2018 sebesar Rp361,6 triliun, tumbuh 7,4 persen dibanding realisasi periode sama tahun lalu sebesar Rp336,7 triliun.

Secara kumulatif semester I-2018 realisasi PMA turun 1,1 persen dari Rp206,9 triliun di semester I 2017 menjadi Rp204,6 triliun. Sementara realisasi PMDN naik 21 persen dari Rp129,8 triliun menjadi Rp157 triliun.

Sementara itu, Direktur Eksekutif LPEI Sinthya Roesly mengatakan pihaknya akan terus melakukan peningkatan kualitas dalam memfasilitasi kegiatan ekspor, salah satunya dengan kerja sama kelembagaan, baik dalam negeri maupun luar negeri.

Ia berpendapat kerja sama dengan BKPM akan sangat membantu LPEI dalam menjalankan mandatnya, yaitu mendorong peningkatan ekspor.

Ketersediaan informasi terkait kondisi perdagangan internasional, penanaman modal, serta koordinasi antar lembaga akan sangat bermanfaat bagi eksportir untuk meningkatkan daya saing dan masuk ke pasar-pasar prospektif.

Sementara itu, Deputi Bidang Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kemenko Bidang Perekonomian, Wahyu Utomo, dalam acara Diseminasi Fasilitas Perdagangan Luar Negeri di Jakarta, Selasa (23/10), menyatakan, Pusat Promosi Perdagangan Indonesia (ITPC) yang berada di beragam titik di luar negeri dinilai perlu lebih giat lagi dalam rangka mencari investor asing, misalnya agar mau menanamkan sahamnya di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

"Kami ingin atase perdagangan dan ITPC di luar negeri menjadi tombak mencari investor di luar negeri,"kata

Menurut Wahyu Utomo, kelemahan yang kerap ditemui terkait untuk menarik investasi perdagangan dari luar negeri antara lain adalah Indonesia dinilai lemah dalam hal "marketing" atau pemasaran.

Sementara itu, Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Oke Nurwan menuturkan bahwa karena defisit neraca perdagangan akibat derasnya laju impor, maka sebagai upaya tindak lanjut, pemerintah telah mengambil sejumlah langkah strategis.

Oke memaparkan bahwa beberapa langkah strategis itu adalah meningkatkan daya saing ekspor seperti membuka pasar baru, kebijakan kemudahan dalam berusaha, serta pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus atau KEK.

Fasilitas kemudahan

KEK dengan fasilitas kemudahannya seperti insentif fiskal dan nonfiskal diharapkan dapat meningkatkan daya saing nasional di pasar domestik dan internasional sehinga mampu menghadapi dinamisme perdagangan secara global, paparnya.

Pembicara lainnya, Sekretariat Dewan Nasional KEK Eno Suharto menyatakan bahwa dari 12 KEK yang ada, sebanyak empat KEK sudah beroperasi dan sudah dievaluasi pengoperasiannya.

Empat KEK yang sudah beroperasi adalah KEK Sei Mangkei, KEK Tanjung Lesung, KEK Palu, dan KEK Mandalika.

Sedangkan empat KEK yang dijadwalkan beroperasi pada 2018 ini adalah KEK Tanjung Api-api, KEK Maloy Batuta Trans Kalimantan, KEK Bitung, dan KEK Morotai.

Sementara empat KEK lainnya diharapkan dapat ditargetkan untuk beroperasi pada tahun depan, yaitu KEK Tanjung Kelayang, KEK Arun Lhokseumawe, KEK Galang Batang, dan KEK Sorong.

Eno Suharto mengingatkan bahwa keunggulan investasi di KEK antara lain adalah sejumlah fasilitas fiskal yang terdiri antara lain dari "tax holiday" dan "tax allowance", kemudahan PPN dan bea masuk.

Selain itu, fasilitas lainnya yang diberikan terkait keimigrasian, ketenagakerjaan dan perdagangan.

Pembangunan KEK di berbagai daerah di Nusantara didorong untuk menjadi instrumen yang dapat melesatikan tingkat pertumbuhan perekonomian serta menjadi sarana pemerataan ekonomi antarwilayah.

Menurut dia, kebijakan KEK bersifat sebagai terobosan terhadap suatu kawasan untuk memuat beragam aktivitas ekonomi tertentu yang selaras dengan tujuan perekonomian nasional.

Untuk itu, lanjutnya, KEK juga diharapkan dapat menjadi motor penggerak perekonomian di daerah serta dapat memberikan manfaat yang lebih berkesinambungan di dalam ekonomi.

Ia juga menginginkan agar sumber daya manusia (SDM) dapat dipersiapkan dan dikaji kembali agar kesinambungan yang positif tersebut bisa untuk terus dipertahankan.

Baca juga: Jatim hadapi kejutan ekonomi 2019 dengan senyuman
Baca juga: Catatan akhir tahun - Menengok perekonomian di tahun politik

 

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2018