Sampai 2000 bahkan masih dianggap sebagai wilayah yang "hopeless", kini dianggap sebagai 'Africa Rising' karena dari 2004 sampai terakhir kemarin rata-rata pertumbuhan masih di atas lima persen
Jakarta,  (ANTARA News) - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan Afrika adalah pasar baru yang termasuk dalam pasar nontradisional dengan potensi ekspor besar bagi Indonesia.

"Hal yang mesti dicoba dilakukan adalah mengembangkan pasar nontradisional, salah satunya melihat Afrika atau juga ada Amerika Latin dan sebagainya," kata peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (P2SDR) LIPI, Dr Ahmad Helmy Fuady dalam seminar bertajuk Indonesia dalam Pusaran Global: Menghadapi Tantangan Game of Thrones, di Jakarta, Jumat.

Menurutnya kondisi Afrika saat ini berbeda jauh dengan belasan tahun lalu yang saat itu masih dianggap sebagai wilayah terbelakang.

"Sampai 2000 bahkan masih dianggap sebagai wilayah yang 'hopeless', Majalah The Economist dalam sampulnya menyebut Afrika sebagai 'The Hopeless Continent'," tambahnya.

Namun dengan berjalannya waktu, Afrika menjadi semakin berkembang.

"Kini dianggap sebagai 'Africa Rising' karena dari 2004 sampai terakhir kemarin rata-rata pertumbuhan masih di atas lima persen, beberapa negara Afrika bahkan tumbuh 10 persen lebih seperti Ethiopia, Kenya, Tanzania," ujar pria yang karib disapa Helmy ini.

Perkembangan Afrika membuat banyak negara berlomba-lomba berinvestasi di wilayah itu sehingga persaingan untuk masuk semakin ketat.

"Posisinya di 2016, mereka begitu favorit, hampir semua negara mencoba masuk ke Afrika, jadi kita bisa bayangkan begitu besarnya kompetisi yang harus kita (Indonesia) hadapi ketika mau masuk ke sana," jelasnya.

Ia mengemukakan salah satu penyebab adanya persaingan tersebut adalah karena banyak negara melirik potensi dari pasar nontradisional.

Ia mengimbau kepada pemerintah untuk tidak hanya mengandalkan ekspor sumber daya alam saja.

"Kalaupun kita mau masuk ke pasar nontradisional, itu juga persaingan yang cukup berat, apalagi kalau kita lagi-lagi hanya mengandalkan ekspor tradisional yang berbasis 'natural resources'," katanya.

Helmy juga melontarkan kritikan kepada pemerintah yang dinilainya tidak menggarap pasar Afrika dengan serius.

"Dalam kenyataannya sampai saat ini jumlah atase perdagangan dan ITPC (Indonesia Trade Promotion Center) di Afrika, di Nigeria, Afrika Selatan, jumlah kedutaan juga tidak meningkat dari akhir tahun 60-an," katanya.

Hal tersebut membuat Indonesia kalah dari Cina dalam hal investasi di Afrika.

Ia membandingkan jumlah perusahaan Cina yang sudah berekspansi ke Afrika. "Ada sekitar 400 perusahaan Cina yang masuk ke Ethiopia, kita bandingkan dengan yang ada di Indonesia, hanya sekitar 10 (perusahaan) itu pun kecil-kecil," katanya.

Helmy menambahkan sebenarnya pemerintah sudah berupaya membentuk forum kerja sama dengan Afrika sejak April 2018.

Namun demikian dalam pembangunan infrastruktur di Afrika, Indonesia masih dikalahkan kekuatan lobi Pemerintah Cina.

"Di Afrika, Cina berhasil membangun narasi tentang kebutuhan infrastruktur, karena kemudian yang turut berperan di sana tidak hanya Cina tapi juga African Development Bank, World Bank dan sebagainya turut membiayai narasi pembangunan yang muncul ini," katanya.

Ia meminta pemerintah meningkatkan upaya diplomasi di bidang ekonomi agar produk dan perusahaan Indonesia mampu masuk ke negara-negara pasar nontradisional.

"Itu tidak bisa kita lakukan kalau diplomasi ekonomi kita jalan seperti biasa, perlu usaha yang luar biasa," katanya.

Baca juga: Afrika pasar potensial untuk produk halal Indonesia

Baca juga: Angota DPR: Afrika dan Timteng pasar alutsista Indonesia

Baca juga: Kemendag komitmen garap pasar Afrika

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2018