Hingga sekitar tahun 1995 masih terlihat sebagian ibu rumah tangga di Jakarta selalu membawa tas saat berbelanja ke pasar.

Sebut saja di Pasar Johar Baru dan Pasar Paseban (Jakarta Pusat) waktu itu tak sulit menemukan ibu-ibu turun dari angkutan kota dan bajaj sudah membawa tas belanja. Umumnya tas yang dibawa terbuat dari anyaman bambu, rotan dan bahan plastik.

Lambat laun pemandangan seperti itu bisa dikatakan tidak ada lagi. Kini ibu-ibu itu ketika turun dari kendaraan, kemudian masuk kawasan pasar tidak lagi membawa tas, kecuali memegang dompet.

Jangan kira bahwa mereka mau jalan-jalan ke pasar. Tapi lihat ketika keluar pasar, tangan kanan dan kiri membawa belanjaan.

Belanjaannya ada di dalam kantong-kantong plastik. Banyak orang menyebutnya "kantong kresek" sebagai penyebutan atas dasarnya identifikasi bunyi yang "kresek-kresek".

Begitulah keseharian belanja di pasar pada hari-hari ini. Berangkat "lenggang kangkung", pulang ber-"kresek-kresek".

Kini ketergantungan masyarakat kantong plastik sangat besar. Belanja apa saja, wadahnya hampir selalu "kantong kresek".

Bahkan belanja makanan dan minuman juga dikantongi plastik. Beragam ukuran kantong plastik kini tersedia di semua tempat belanja; dari penjual yang menggunakan gerobak, warung, toko hingga minimarket dan supermarket.

Faktor kepraktisan tampaknya menjadi pertimbangan baik pembeli maupun penjual sehingga orang sangat tergantung pada kantong plastik. Bahkan membuang sampah juga banyak dilakukan dengan memasukannya ke kantong-kantong plastik.

Pengepul sampah di permukiman-permukiman warga di Jakarta umumnya tinggal mengambil sampah pada kantong plastik yang ada di depan rumah warga. Tempat pengumpulan sampah di dejat Teinal Kampung Melayu (Jakarta Timur) juga diwarnai tumpukan sampah dalam kantong plastik.

Sekali lagi karena praktis. Tetapi dampak buruknya juga luar biasa.

Apalagi harus diakui masih ada sebagian warga yang tidak patuh dengan aturan, yakni membuang sampah dalam kantong plastik ke lokasi yamg dilarang, seperti pekarangan kosong dan sungai.
SAMPAH DI PINTU AIR MANGGARAI Petugas Dinas Kebersihan DKI Jakarta membersihkan sampah yang menumpuk di pintu air Manggarai, Jakarta, Senin (12/11/2018). Pembersihan itu dilakukan untuk melancarkan aliran Sungai Ciliwung dan mencegah banjir. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/pras. (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA)

Banjir
Hari-hari ini kerja keras harus dilakukan petugas di Pintu Air Manggarai karena aliran sampah plastik terbawa arus Sungai Ciliwung. Aliran sampah tak pernah surut dan kalau tidak di atasi sekejap saja akan menghambat aliran air.

Kondisi itu adalah awal dari salah satu penyebab musibah banjir di Jakarta. Karena itu, kerja keras mengatasi sampah di sungai tak bisa dielakkan.

Dengan kerja keraspun sepertinya belum sepenuhnya mampu mengatasi aliran sampah melalui sungai. Hal itu masih adanya temuan banyaknya sampah di Teluk Jakarta.

Istilah "sampah kiriman" muncul ke publik atas fenonena itu. Munculnya istilah tentu lebih dari dari sekedar cukup untuk menggambarkan fakta yang ada.

Simak saja pernyataan Kepala Suku Dinas Lingkungan Hidup Kepulauan Seribu Yusen Hardiman yang menyebut kabar tercemarnya Pulau Pari, Kepulauan Seribu, oleh minyak atau pek dan sampah yang sempat meluas di media sosial dipastikan berasal dari sampah kiriman.

Itu dipastikan sampah kiriman melalui sungai. Sampah itu kalau hujan besar di darat mengalir ke laut.

Sampah yang terdapat di sekitar kawasan Pulau Pari dalam satu hari kurang lebih mencapai 40 ton, 20 persen di antaranya merupakan sampah kiriman yang sebagian berupa plastik. Betapa persoalan kantong plastik telah nyata-nyata menjadi persoalan di permukiman (darat) hingga lautan.

Terbesar
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan kurang lebih 9,8 miliar lembar kantong plastik digunakan masyarakat Indonesia setiap tahunnya. Dari jumlah tersebut, 95 persennya menjadi sampah.

Timbunan sampah plastik diperkirakan mencapai 5,6 juta ton per tahun. Jumlah itu menempatkan Indonesia sebagai penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia.

Kondisi ini merupakan dampak penggunaan plastik yang tidak terkendali dan kurangnya kesadaran masyarakat untuk tidak membuang sampah di sembarang tempat. Karena itu, menjadi tantangan semua pihak termasuk jajaran pemerintah untuk mampu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang perlakuan yang baik terhadap sampah plastik.

Kampanye 3R (reuse, reduce dan recycle) yang telah lama dikampanyekan perlu terus digelorakan oleh semua pihak dan semua lapisan masyarakat. Secara sederhana, reuse merupakan langkah menggunakan kembali kantong plastik yang telah terpakai tetapi madih layak pakai.

Reduce merupakan upaya mengurangi penggunaan kantong plastik. Sedangkan recycle berarti mengolah kembali (daur ulang) sampah menjadi barang atau produk baru yang bermanfaat.

Apabila dilaksanakan dengan komitmen dan secara konsisten, tiga langkah itu diyakini mampu menyelesaikan--setidaknya mengurangi--persoalan sampah plastik. Apalagi prinsip 3R telah disosialisasikan sejak lama dan di berbagai kesempatan.

Namun kenyataannya, persoalan sampah plastik semakin kompleks dengan jumlah terus bertambah. Semakin banyaknya sampah plastik menunjukkan ketergantungan orang terhadap kebutuhan yang terus meningkat.

Bukan hanya Indonesia yang mengalami masalah ini. Di berbagai forum internasional pun masalah sampah plastik sudah diakui sebagai masalah serius yang harus di atasi berbagai negara.

Karena itu dibutuhkan kebijakan yang lebih progresif dan terpadu dalam mengatasi masalah ini.*
Baca juga: Begini Cara Liburan Tanpa Sampah
Baca juga: DKI Jakarta sediakan 2.000 tempat sampah tambahan pada malam pergantian tahun
Baca juga: Berlomba mengurangi sampah plastik




 

 

Pewarta: Sri Muryono
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018