Pesatnya pembangunan infrastruktur pariwisata ditopang dengan gencarnya promosi lintas benua belum berbanding lurus dengan tingkat kunjungan wisatawan mancanegara.

Rentetan bencana alam di berbagai wilayah Nusantara memperlambat laju pertumbuhan tingkat kunjungan wisata atau bahkan stagnan.

Bencana alam, mulai dari letusan Gunung Agung pada tahun lalu, disusul dengan gempa bumi di Lombok dan tsunami di Sulawesi Tengah pada tahun ini, memberikan pelajaran yang sangat berharga tentang bagaimana melakukan mitigasi yang baik guna memulihkan kepercayaan insan pariwisata.

Indonesia yang dianugerahi zamrud khatulistiwa plus budaya dan tradisi masyarakat yang beragam belum juga berdaya mengejar ketertinggalan sektor pariwisata dari negara lain.

Di Asia Tenggara, pariwisata Indonesia masih kalah dari Thailand, Singapura, dan Malaysia, terutama dalam menarik minat wisatawan dari China yang dalam beberapa tahun terakhir masyarakatnya mulai gemar pelesir ke mancanegara.

Padahal negara-negara tetangga itu tidak bertaburan objek wisata berpanorama indah seperti yang dimiliki Indonesia.

Kemampuan mereka dalam mengelola potensi yang kecil terbukti bisa mengalahkan pola asal-asalan dalam mengelola potensi yang besar.

Pranata lalu lintas udara ditunjang dengan sistem keimigrasian yang terstruktur dan rapi menjamin kepercayaan dunia internasional karena 70 persen wisatawan mancanegara melalui jalur udara.

Faktor ini masih belum optimal diterapkan di Indonesia hingga terjadi tragedi jatuhnya pesawat Lion Air nomor penerbangan JT610 di Tanjung Karawang, Jawa Barat.

Ratusan wisatawan dari China mengurungkan niatnya berlibur ke Indonesia menyusul kecelakaan udara yang menewaskan 189 penumpang dan awak kabin pada 29 Oktober 2018.

Pembatalan itu terjadi lantaran mereka mendapatkan informasi bahwa pesawat terbaru Lion jenis Boeing 737 Max 8 yang tercebur di perairan Laut Jawa itu, sebelumnya beberapa kali mengangkut wisatawan dari daratan Tiongkok seperti diungkapkan sumber dari Kemenpar RI.

Lion merupakan salah satu maskapai berbendera Indonesia yang melayani penerbangan carteran dari berbagai kota di China menuju objek-objek wisata Nusantara selain Garuda, Citilink, dan Sriwijaya Air.

Padahal, pada September-Oktober biro-biro perjalanan pariwisata di China kebanjiran order paket wisata ke Indonesia setelah peristiwa terbaliknya kapal wisata di Phuket, Thailand, menewaskan ratusan wisatawan China.

Paket perjalanan wisata, khususnya ke Bali dan Manado, selama periode tersebut, terutama pada masa "Pekan Emas" sebagai hari libur nasional di China dengan harga 1.999 RMB (sekitar Rp2 juta) sudah termasuk tiket pesawat pergi-pulang dan akomodasi selama empat hari tiga malam "laris manis".

Fenomena itu menjadikan Kemenpar optimistis target tiga juta kunjungan wisatawan China pada tahun ini bakal terlampaui, meskipun sempat direvisi menjadi 2,6 juta kunjungan sebagai dampak dari bencana Lombok dan Sulteng.



Pupus

Sayangnya, peluang untuk mengejar ketertinggalan yang sudah di tangan itu pupus lantaran tidak adanya koordinasi yang baik antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pelaku industri pariwiata.

Mempergunjingkan paket wisata murah telah menyiakan kesempatan emas tersebut. Ketidaksudian dengan program hot deals tersebut tidak seharusnya diumbar secara bebas.

Apalagi sampai diikuti dengan penutupan toko penjual cendera mata dan restoran di Bali yang khusus untuk para wisatawan China.

Pergunjingan itu bagaikan menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri karena tanpa disadari kebijakan tersebut ternyata memukul agen-agen perjalanan wisata di Bali yang selama ini menjadi mitra utama agen perjalanan wisata di China.

Yang paling ironis kebijakan pemerintah daerah tersebut juga mengakibatkan kerugian yang tidak kecil bagi Garuda sebagai maskapai penerbangan yang selama ini berkontribusi signifikan terhadap sektor pariwisata di Bali.

Garuda Indonesia kehilangan separuh lebih penumpangnya dari China ke Bali akibat kebijakan sepihak pemerintah daerah itu.

Jadwal penerbangannya dari Zhengzhou, Xi`an, dan Shenyang yang masing-masing biasanya tiga kali dalam sepekan ke Bali hanya tersisa satu kali.

Bahkan, maskapai penerbangan "pelat merah" tersebut sudah tidak lagi menerbangi rute Chengdu-Bali akibat penutupan toko dan restoran tersebut.

"Toko-toko itu memberikan subsidi kepada wisatawan. Kalau dihitung-hitung, setiap wisatawan China tujuan Bali mendapatkan subsidi 500 dolar AS. Mana mungkin kami yang beri subsidi, kalau bukan mereka," kata General Manager PT Garuda Indonesia di Beijing, Reza Aulia Hakim, Kamis (13/12).

Harga normal paket wisata dari China ke Bali, termasuk tiket pesawat PP dan akomodasi selama empat hari tiga malam, berkisar 3.500 RMB hingga 4.500 RMB (Rp7.350.000-Rp9.450.000).

Dengan adanya subsidi dari toko dan restoran di Bali itu, agen pariwisata di China bisa menjual paket wisata hanya dengan harga 1.999 RMB atau setara dengan harga sepeda pancal.

Namun, sejak toko dan restoran China di Bali ditutup pada awal bulan lalu, maka sudah tidak ada lagi subsidi kepada wisatawan asal daratan Tiongkok.

"Kami sudah tidak bisa lagi memberangkatkan wisatawan dengan jumlah besar karena ada kejadian itu," kata Direktur PT Lebali International Tour Cabang Beijing Jacky Wang.

Penuturan Reza dan Jacky itu seharusnya direnungkan dalam-dalam oleh para pihak di Bali yang selama ini mempergunjingkan wisata murah.

Dengan harga jual tanpa subsidi dari toko dan restoran China itu, jelas sudah bahwa harga paket wisata sebenarnya tidak murah seperti yang mereka nyinyirkan dan viralkan di media sosial selama ini.

Pada musim puncak kepadatan liburan di China yang biasanya mulai Januari hingga Februari, harga paket wisata tujuan Bali pun dijual normal antara 4.000 RMB hingga 6.000 RMB (Rp8 juta hingga Rp16 juta) dengan lama tinggal yang sama dengan hot deals.

"Bahkan paket yang sama pun dijual dengan harga 12.000 RMB (Rp24 juta) tetap laku tanpa ada yang `nawar`, selama stok masih ada saat puncaknya," kata Direktur Pemasaran Internasional Wilayah China Kemenpar RI Vinsensius Jemadu.*


Baca juga: Menpar targetkan 3,5 juta wisatawan China 2019

Baca juga: Toko China di Bali diizinkan buka lagi

 

Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018