"Pariwisata itu tidak boleh gaduh. Kalau sudah gaduh, mau berdebat kayak apapun, kenyataannya kunjungan wisatawan berkurang. Kalau tidak percaya, tanya sama Garuda." 

Menteri Pariwisata Arief Yahya terpaksa melontarkan hal itu di Beijing, China, Kamis (13/12), karena tidak mampu lagi menutupi kekecewaannya terhadap segelintir orang yang mengaku peduli terhadap pariwisata tapi justru tidak mengerti seluk-beluk pariwisata.

Ia miris mendengar keluhan GM Garuda Indonesia di Beijing Reza Aulia Hakim yang kehilangan lebih dari 50 persen penumpangnya dari China menyusul penutupan sejumlah toko dan restoran di Bali.

Pertanyaan seorang agen perjalanan wisata di China, dijawabnya dengan tegas bahwa tiga dari 25 toko dan restoran di Bali telah dibuka kembali.

Pihaknya tidak keberatan dengan penutupan toko dan restoran oleh pemerintah daerah di Bali itu. Apalagi, terhadap toko dan restoran yang tidak memiliki dokumen perizinan lengkap.

Namun, dia tidak setuju kalau penutupan itu hanya dipicu oleh sistem pembayaran elektronik karena toko dan restoran tersebut memberlakukan sistem pembayaran yang sangat familiar di China.

Dia justru mempertanyakan, kalau pembayaran dengan menggunakan MasterCard dan VISA bisa diterima di mana saja, termasuk Bali, kenapa Alipay, WeChat Pay, dan Union Pay tidak?

Padahal, menurut mantan CEO PT Telekomunikasi Indonesia tersebut, pembayaran dengan menggunakan kartu dan platform di atas sama sekali tidak ada pihak yang dirugikan.

Arief mengingatkan agar semua pihak tidak terjebak pada sistem pembayaran yang melatarbelakangi penutupan 25 toko dan restoran di Bali yang khusus melayani wisatawan asal China itu.

"Tidak ada hubungannya dengan payment karena di seluruh dunia terbuka. Orang tidak bisa dipaksa menggunakan VISA atau MasterCard atau Alipay. Toko kita di Indonesia sama sekali tidak dirugikan. Makanya, hati-hati dengan info yang menyudutkan itu. Jangan-jangan berasal dari kompetitor," ujarnya.

Istilah "kompetitor" yang disebut Menpar itu sangat luas. Bisa saja kompetitor itu negara-negara lain yang sedang berlomba mendatangkan wisatawan dari China.

Bisa juga kompetitor itu agen wisata di Indonesia yang selama ini menikmati gemerincing dolar dari wisatawan mancanegara di luar China, atau bahkan kompetitor itu agen perjalanan wisata di Indonesia yang tidak kebagian "kue" wisatawan China.

Apapun dengan istilah itu, Menpar mengajak semua pihak bekerja keras mendatangkan wisatawan mancanegara guna menambah devisa asing.

Kontribusi sektor pariwisata dalam menghasilkan devisa terus meningkat sejak 2012 hingga 2018. Jika pada 2012 devisa yang dihasilkan sektor pariwisata hanya 9,12 miliar dolar AS, maka pada 2018 telah mencapai 17 miliar dolar AS.

Devisa yang dihasilkan sektor pariwisata itu menduduki peringkat ketiga di bawah ekspor migas dan kelapa sawit dalam postur APBN.

Namun, jika target devisa sebesar 20 miliar dolar AS pada 2019 yang ditetapkan oleh Kemenpar tercapai, sumbangan sektor pariwisata menjadi yang terbesar dibandingkan dengan ekspor migas dan kelapa sawit.

China merupakan salah satu penyumbang devisa tertinggi dalam sektor pariwisata di Indonesia seiring dengan meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan.

Pasar wisata luar negeri China masih berkembang pesat. Dari 120 juta warga negara China yang berlibur di luar negeri setiap tahun, Indonesia baru kebagian kebagian 2,4 juta orang atau dua persen saja.

Oleh sebab itu, Kemenpar menargetkan 3,5 juta kunjungan wisatawan China pada 2019.

Arief menganggap target tersebut realistis, meskipun target tiga juta kunjungan wisatawan China pada 2018 tidak terealisasi, demikian pula dengan target 2,5 juta kunjungan pada 2017.

Luputnya pemenuhan target 2018 dipengaruhi oleh gempa di Lombok, tsunami di Sulteng, dan jatuhnya pesawat Lion Air JT610. Penutupan 25 toko dan restoran juga berkontribusi terhadap kegagalan tersebut.

Tidak tercapainya target 2017 disebabkan kurangnya koordinasi antara pusat dan daerah serta agen perjalanan wisata saat penutupan Bandar Udara Internasional Ngurah Rai di Bali sebagai dampak dari letusan Gunung Agung hingga menimbulkan kepanikan terhadap para wisatawan China.

Dalam hal ini Indonesia mestinya belajar pada Thailand yang didera berbagai peristiwa kecelakaan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dari pihak wisatawan China.

Peristiwa demi peristiwa yang terjadi akibat keteledoran manusia itu, tidak sampai mendegradasi sektor pariwisatanya karena Thailand masih menerima delapan juta wisatawan China per tahun.



Eropa-Amerika

Agen-agen perjalanan wisata di China tidak hanya menjual paket wisata murah untuk tujuan Indonesia, seperti Bali dan Manado, melainkan juga untuk negara-negara di Eropa dan Amerika.

Kalau paket wisata lima hari dan empat malam tujuan Bali dan Manado, masing-masing dijual seharga 1.999 RMB atau sekitar Rp4 juta, maka paket wisata tujuh hari dan enam malam Amerika Serikat pun juga dijual 3.999 RMB (Rp8 juta).

Demikian halnya dengan tujuan Rusia selama enam hari dan lima malam dengan harga 2.999 RMB (Rp6 juta).

Praktiknya pun sama, baik Eropa, Amerika, maupun Bali dan Manado. Penjualan paket wisata termasuk tiket pesawat pergi-pulang, dengan harga murah itu juga karena ada subsidi dari toko penjual oleh-oleh dan restoran makanan China.

Penjualan paket wisata murah yang dikenal dengan istilah hot deals itu efektif dalam meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara.

Oleh karena itu, agen perjalanan wisata dan maskapai penerbangan harus bisa menjalin kerja sama dengan pihak lain, termasuk toko suvenir dan restoran, agar bisa menjual produk hot deals.

"Tidak sedikit toko dan restoran itu memesan sendiri hotel untuk wisatawan dan dibayar di awal tahun. Mereka berani menanggung risiko rugi kalau ternyata jumlah wisatawan yang datang lebih sedikit dari jumlah hotel yang sudah telanjur dipesan. Ini yang terjadi di Bali pada saat toko mereka ditutup," kata Direktur Pemasaran Internasional Wilayah China Kemenpar RI Vinsensius Jemadu.

Demikian halnya dengan uang yang dibelanjakan oleh wisatawan China untuk setiap kunjungan ke Indonesia yang terus meningkat.

Jika pada empat tahun lalu, wisatawan China rata-rata masih menghabiskan 850 dolar AS per kunjungan, maka pada tahun ini rata-rata sudah mencapai 1.056 dolar AS per kunjungan.

Memang jumlah uang yang dibelanjakan wisatawan asal China itu relatif lebih kecil dibandingkan dengan rata-rata wisatawan mancanegara yang berada pada kisaran 1.200 dolar AS per kunjungan.

Bahkan wisatawan Australia dan Eropa sudah mencapai 1.500 dolar AS per kunjungan, sebagaimana data Kemenpar RI.

Apakah uang yang dibelanjakan oleh turis China tersebut memberikan dampak positif terhadap perekonomian Indonesia mengingat mereka berbelanja dengan menggunakan sistem pembayaran yang berlaku di negara mereka?

Harus diakui bahwa Indonesia masih tertinggal jauh dengan China dalam menerapkan sistem pembayaran berbasis elektronik tersebut sehingga kedatangan mereka dirasa belum memberikan manfaat yang signifikan terhadap sektor perbankan di Indonesia.

Apalagi Bank Indonesia sampai saat ini baru akan menyusun regulasi sistem pembayaran nontunai yang bisa digunakan oleh semua lapisan masyarakat tanpa terhambat batas negara.

Walau begitu, untuk menyudahi kegaduhan di sektor pariwisata yang dipicu oleh sistem pembayaran tersebut, BI memberikan alternatif lain sambil menunggu keluarnya regulasi.

"Platform pembayaran yang digunakan oleh toko-toko di Bali itu paling tidak harus bisa dikoneksikan dengan sistem pembayaran perbankan nasional kita," saran Kepala BI Perwakilan Beijing Arief Hartawan.*


Baca juga: Geger wisata murah (bagian 1)

Baca juga: Menpar targetkan 3,5 juta wisatawan China 2019

Baca juga: Toko China di Bali diminta transaksi dengan rupiah



 

Pewarta: M. Irfan Ilmie
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018