Jambi (ANTARA News) - Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rudi Syaf mengatakan pihaknya mendorong pemerintah untuk segera memfinalkan peta tanah gambut di provinsi itu dengan skala yang lebih detail sehingga masyarakat dan pengelola kawasan gambut memiliki kepastian untuk mengelola kawasannya.

"Pengembalian fungsi kawasan gambut menjadi sangat penting untuk memulihkan daya dukung ekosistem gambut," kata Rudi Syaf pada rapat koordinasi para pihak dan konsultasi publik pengelolaan gambut berkelanjutan yang diselenggarakan Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, di Tanjungjabung Timur, Kamis.

Untuk mempertegas fungsi kesatuan gambut ini dengan peta detail. Saat ini Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian-Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian sejak 2016 telah melaksanakan penyusunan peta tanah atau peta gambut dengan skala 1:50.000.

Peta itu menyediakan data dan informasi sumber daya lahan gambut terkini skala, luas dan sebaran lahan gambut diseluruh Indonesia yang akan menjadi rujukan kebijakan satu peta. Namun sayangnya, hingga kini peta ini masih belum dipublikasi.

Dijelaskannya Rudi Syaf, jika peta ini sudah selesai dan memperlihatkan masing-masing kawasan beserta fungsinya, maka untuk kawasan lindung harus dikembalikan ke fungsinya dan dipulihkan.

"Sedangkan untuk kawasan gambut yang memang sudah berfungsi budidaya, silahkan tetap dikelola dengan memperhatikan sistem hidrologi gambut," katanya.

Provinsi Jambi memiliki lahan gambut seluas 900 ribu hektare yang tersebar di tiga kabupaten yakni Muarojambi, Tanjungjabung Timur dan Tanjungjabung Barat.

Merujuk pada Kesatuan Hidrologi Gambut, kawasan gambut Jambi dibagi ke dalam 14 KHG yang terdiri dari 549 ribu hektare dengan fungsi lindung dan 354 ribu hektare dengan fungsi budidaya.

Kesatuan Hidrologi Gambut merupakan ekosistem gambut yang berada di antara dua sungai, diantara sungai dengan laut, dan/atau rawa. Fungsi Lindung dapat dimanfaatkan untuk penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan dan jasa lingkungan. Sedangkan fungsi budidaya dapat dimanfaatkan untuk semua kegiatan sesuai dengan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG).

Dalam pemanfaatan ini tentu harus mengacu pada kejelasan masing-masing kawasan dengan adanya peta acuan. Saat ini KLH melalui Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut telah menyusun penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut (RPPEG).

Setelah melakukan inventarisasi kesatuan hidrologi gambut, selanjutnya perlu perencanaan tertulis yang memuat potensi, masalah ekosistem gambut, serta upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungannya dalam kurun waktu tertentu yang dilakukan oleh pihak-pihak yang diberi kewenangan atas lahan gambut, kata Huda Achsani dari Direktorat Pengendalian Kerusakan Gambut yang juga hadir dalam rapat koordinasi itu.

Huda juga menyebutkan untuk fungsi kawasan menjadi sangat penting untuk menjadi acuan pemanfaatan kawasan. Hal ini perlu dilakukan untuk mememulihkan gambut termasuk pada kawasan yang sudah mendapatkan izin di lahan gambut.

Mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 14 tahun 2017, para penggiat gambut harus melakukan inventarisasi dan penetapan fungsi ekosistem gambut.

"Perusahaan yang berada di lahan gambut harus melakukan inventarisasi karakteristik ekosistem gambut di lokasi usaha dan/atau kegiatannya dengan supervisi dari Dirjen PPKL," kata Huda.

Jika, dalam inventarisir ini ditemukan kawasan gambut dengan fungsi lindung namun terlanjur dijadikan budidaya, maka perusahaan berkewajiban untuk melakukan pemulihan. Caranya dengan melakukan restorasi hidrologi, rehabilitasi vegetasi dan suksesi alam, katanya menambahkan.*


Baca juga: Masyarakat tunggu SK hak kelola hutan gambut

Baca juga: Optimalkan lahan gambut, BPTP Jambi ikuti workshop restorasi


 

Pewarta: Nanang Mairiadi
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018