Kodam XVII/Cenderawasih tidak akan menarik pasukan dari Kabupaten Nduga
Jayapura (ANTARA News) - Pejabat Kodam XVII/Cenderawasih menyatakan kehadiran aparat TNI di Kabupaten Nduga untuk melindungi rakyat dari kekejaman kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB), bukan untuk membunuh rakyat.

Demikian pernyataan Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel Inf M Aidi di Jayapura, Jumat, guna menyikapi seruan Gubernur Papua Lukas Enembe dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Yunus Wonda serta para pimpinan Fraksi DPRP, Kamis (20/12).

Para pemimpin eksekutif dan legislatif sebelumnya di Papua meminta kepada Presiden RI, Panglima TNI dan Kapolri agar menarik seluruh aparat TNI dan Polri yang sedang melaksanakan tugas pengamanan di Kabupaten Nduga pascaterjadinya tindakan pembantaian secara keji terhadap puluhan orang pahlawan pembangunan Papua di Puncak Kabo, Distrik Yigi Kabupaten Nduga pada awal Desember.

"Saya sudah baca seruan tersebut yang diberitakan oleh beberapa media. Seruan tersebut menunjukkan bahwa Gubernur dan Ketua DRPP serta para pihak tidak memahami tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) sebagai pemimpin, pejabat dan wakil rakyat," katanya.

Bahwa seorang gubernur adalah wakil dan perpanjangan tangan pemerintah pusat dan Negara Republik Indonesia (NKRI) di daerah. Gubernur berkewajiban menjamin segala program nasional harus sukses dan berjalan dengan lancar di wilayahnya. Bukan sebaliknya malah gubernur bersikap menentang kebijakan nasional.

"Kehadiran TNI dan Polri di Nduga termasuk di daerah lain di seluruh wilayah NKRI adalah untuk mengemban tugas negara guna melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kok, gubernur dan ketua DPRP malah melarang kami bertugas, sedangkan para gerombolan separatis yang nyata-nyata telah melakukan pelanggaran hukum dengan membantai rakyat, mengangkat senjata untuk melawan kedaulatan negara malah didukung dan dilindungi," katanya.

Hingga kini, kata dia, masih ada empat orang korban pembantaian oleh KKSB yang belum diketahui nasibnya dan entah dimana rimbanya. 

"Bapak gubernur, ketua DPRP, para ketua fraksi DPRP, pemerhati HAM dan seluruh pihak-pihak yang berkepentingan, apakah saudara-saudari semua dapat memahami bagaimana perasaan duka keluarga korban yang setiap saat menanyakan kepada TNI-Polri tentang nasib keluarganya yang masih hilang," katanya dengan nada bertanya.

Apalagi kalau mereka mendengar bahwa TNI dan Polri telah menghentikan pencarian karena perintah gubernur dan DPRP? Dimana hati nurani saudara-saudari sebagai manusia ciptaan Tuhan apalagi sebagai pemimpin. Bagaimana kalau hal tersebut terjadi pada Anda, lanjutnya.

Sebagaimana yang tertuang dalam UU RI Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Pemerintan Daerah pasal 67 berbunyi, kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah meliputi: khususnya poin; a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI. Lalu, pada poin f yakni melaksanakan program strategis nasional.

Dengan demikian, kata dia, bila Gubernur Lukas Enembe bersikap mendukung perjuangan separatis Papua merdeka dan menolak kebijakan progam strategis nasional maka tela melanggar UU negara dan patut dituntut sesuai dengan hukum.

"Gubernur adalah ketua Forkopimda di daerah dengan anggotanya meliputi Pangdam, Kapolda, Ketua Pengadilan dan Kepala Kejaksaan," katanya.

Dengan posisi sebagai gubernur, seharusnya melaksanakan rapat Forkopimda untuk bersama-sama membahas tentang upaya menumpas gerakan separatis di wilayahnya. Bukan membuat pertanyataan yang seakan-akan mejadi juru bicara gerombolan separatis dan menyudutkan peranan TNI-Polri dalam penegakan hukum.

"Kodam XVII/Cenderawasih tidak akan menarik pasukan dari Kabupaten Nduga, karena selaku prajurit di lapangan, hari raya bukanlah alasan untuk ditarik dari penugasan, karena kami yakin Tuhan pun juga maha tahu akan kondisi itu. Sebagian besar prajurit kami juga umat Kristiani," katanya.?

"Pangdam dan Kapolda juga hamba Tuhan. Kami parjurit sudah terbiasa merayakan hari raya di daerah penugasan, di gunung, di hutan, di tengah laut atau dimana pun kami ditugaskan. Dan tidak ada masalah dengan perayaan Natal di Mbua dan Yigi kompleks, rakyat dan aparat keamanan khususnya umat Kristiani akan melaksanakan ibadah secara bersama-sama," sambungnya.

Menurut dia, pada 6 Desember 2018, di Mbua dilaksanakan ibadah bersama antara rakyat dan TNI di Gerja Mbua yang dipimpin oleh Pendeta Nataniel Tabuni yang merupakan Koordinator Gereja se-Kabupaten Nduga, yang dihadiri oleh Danrem 172/PWY Kolonel J Binsar P Sianipar.

"Di sini, saya ingin mnegaskan bahwa terjadinya tidakan kekerasan yang memakan korban dan mengakibatkan trauma terhadap rakyat di Nduga termasuk di daerah mana pun di seluruh Indonesia bukan disebabkan karena hadirnya aparat keamanan TNI dan Polri di daerah tersebut," katanya.

Tetapi kekerasan itu terjadi karena adanya pelanggaran hukum, karena adanya gerombolan separatis yang mempersenjatai diri secara illegal, melakukan pembantaian secara keji terhadap rakyat sipil yang tidak berdosa.

"Ingat, mempersentai diri sendiri cara illegal itu sudah merupakan pelanggaran hukum berat yang tidak pernah dibenarkan dari sudut pandang hukum mana pun di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia. Tapi kalau aparat keamanan yang diminta untuk meletakkan senjata, itu adalah kesalahan terbesar," katanya.

"Jadi menurut saya, gubernur dan Ketua DPRP serta pihak mana pun tidak sepantasnya meminta aparat keamanan TNI dan Polri ditarik dari Nduga dan di daerah tersebut telah terjadi pelanggaran hukum berat yang harus mendapatkan penindakan hukum," katanya.

Justru apabila, TNI dan Polri tidak hadir, padahal nyata-nyata di tempat tersebut telah terjadi pelanggaran hukum berat maka patut di sebut TNI dan Polri atau negara telah melakukan tindakan pembiaran. Sehingga, sudah seharusnya bila gubernur dan Ketua DPRP sebagai seorang pemimpin dan wakil rakyat yang bijak, tidak harus meminta aparat keamanan TNI dan Polri yang ditarik.

"Tetapi para pelaku pembantaian itulah yang harus didesak untuk menyerahkan diri beserta senjatanya kepada pihak yang berwajib guna menjalani proses hukum untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Bukankah gerombolan separatis pimpinan Egianus Kogoya telah menyatakan bahwa merekalah yang bertanggung jawab, telah melakukan pembantaian terhadap puluhan karyawan PT Isataka Karya," katanya.

Jika mereka memang bertanggung jawab, lanjut dia, harusnya jangan menjadi pengecut dan bersembunyi kemudian kemana-mana berkoar-koar seolah-olah mereka yang teraniaya, sedangkan aparat keamanan dituduh sebagai penjahat kemanusiaan.

"Kami, TNI dan Polri bukan datang untuk menakut-nakuti rakyat apalagi membunuh rakyat. Yang kami cari adalah mereka para pelaku pembantaian. Rakyat dan aparat TNI serta Polri bisa merayakan Natal bersama di daerah tersebut. Rakyat tidak perlu merasa terganggu atas kehadiran di Mbua dan Yigi Kompleks. Yang merasa terganggu adalah mereka para pelaku kejahatan yang berlumuran dosa telah membatai warga sipil yang tidak berdaya," katanya.

Kepada para kelompok-kelompok berkepentingan, para pejabat birokrat, wakil rakyat, akademisi, tokoh agama, aktivis, pemerhati HAM dan lain-lain yang selalu berkomentar miring menyudutkan aparat TNI dan Polri, seakan-akan tidak ada sesuatu pun yang benar yang dilakukan oleh TNI dan Polri.

"Instropeksi diri saudara-saudari, berhentilah mengatas namakan rakyat, seolah-olah saudara adalah dewa pelindung dan penyelamat rakyat, karena belum tentu juga seberapa besar peranan saudara untuk memihak kepada kepentingan rakyat," katanya.

Bantuan TNI dan Polri
Ketika rakyat sipil atau anggota TNI dan Polri yang jadi korban oleh kebiadaban para KKSB, semua pihak diam, bungkam seribu bahasa. Tetapi manakala yang menjadi korban adalah pihak KKSB dari pihak saudara, langsung bereaksi bagaikan cacing kepanasan. Ini semua indikatornya apa?

Saat Asmat dilanda musibah KLB campak dan gizi buruk, TNI adalah institusi pertama yang terjun langsung dengan mengerahkan segala sumber dayanya dipimpin langsung oleh Pangdam XVII/Cenderawasih dan Panglima TNI.

"Tapi kami tidak pernah tahu bantuan apa yang telah diberikan oleh pemerintah provinsi dan wakil rakyat terhadap warga Asmat, bahkan mungkin satu kalipun pemerintah provinsi dalam hal ini Gubernur Lukas Enembe tidak pernah menengok warganya yang menderita di Asmat," katanya mencontohkan tindakan TNI untuk membantu rakyat Papua.

Lalu, ketika bencana embun beku melanda di Distrik Kuyawage di Kabupaten Lanny Jaya pada Jli 2015, yang mengakibatkan ratusan masyarakat eksodus mengungsi ke Tiom.

Dandim Jayawijaya dan Kapolres Lanny Jaya beserta jajaranya yang paling pertama mendirikan tenda-tenda pengungsian, membangun dapur umum, menjemput para pengungsi sampai ke pucuk-pucuk gunung.

"Kondisi seperti itu pun kami masih diganggu dengan tembakan oleh KKSB pimpinan Enden Wanimbo. Tapi kami tidak pernah mendengar bantuan apa yang diberikan pemerintah provinsi dan wakil rakyat terhadap warga Kuyawage," katanya.

Hampir bersamaan itu, di Mbua dilanda penyakit dan puluhan bayi dilaporkan meninggal pada periode Oktober hingga November 2015, Kodim 1702/Jayawijaya adalah institusi pertama yang mengirim bahan makanan, lauk pauk, pakaian, selimut dan lain-lain ke Mbua dan saat itu disambut oleh Pendeta Natalies Tabuni koordinator gereja se-Kabupaten Nduga.

"Tapi kami pun tidak pernah mendengar bantuan apa yang telah diberikan oleh pemerintah provinsi dan wakil rakyat maupun pemerintah Kabupaten Nduga terhadap rakyatnya di Mbua," katanya.

Termasuk persoalan kemanusiaan lainnya yang melanda Papua selama ini, apakah itu wabah penyakit, bencana longsor, gempa bumi, banjir, kebakaran hutan, konflik sosial dan lain-lain, TNI selalu hadir sebagai garda terdepan untuk meringankan beban warga yang menderita.

"Kami, TNI dan Polri tidak butuh dipuji dan disanjung terhadap apa yang telah kami lakukan untuk rakyat, karena memang itulah tugas dan kewajiban kami untuk melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah kami," katanya.

Bahwa memang benar, prajurit TNI dilatih, dididik dan disiapkan untuk membunuh dan terbunuh, tapi para prajurit adalah orang-orang yang paling menghargai kehidupan, karena selalu siap mempertaruhkan kehidupannya sendiri untuk menjamin kehidupan rakyat dan kehidupan yang lebih besar.

"Selaku prajurit TNI dan pribadi saya sangat hormat dan bangga kepada Wali Kota Jayapura DR Benhur Tommy Mano atas peryataan sikapnya yang tetap setia kepada NKRI dan menentang sistem yang tidak demokratis berlangsung di tanah Papua ini, yaitu sistem Noken," katanya.

Wali Kota Jayapura, kata dia, telah mempresentasikan dirinya sebagai negarawan sejati yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan golongan, kelompok apalagi kepentingan pribadi.

"Bapak Wali Kota Jayapura patut menjadi contoh dan panutan bagi setiap kepala daerah, setiap pemimpin termasuk setiap tokoh bangsa di seluruh wilayah NKRI," katanya mencontohkan sikap kenegarawanan seorang pemimpin daerah.

Baca juga: Pejabat Polda: Polri dan TNI alat negara lindungi rakyat
Baca juga: Pembangunan trans-Papua di Nduga direncanakan diambil alih TNI
Baca juga: Danrem: Setiap hari KKB tembak pos TNI-Polri


 

Pewarta: Alfian Rumagit
Editor: Edy Sujatmiko
Copyright © ANTARA 2018