Oleh Destika Cahyana SP MSc*

Setiap tradisi selalu memuliakan Ibu. Sebut saja syair Arab yang terkenal berbunyi al ummu madrosatul ula yang artinya "ibu merupakan madrasah yang utama".

Madrasah dalam Bahasa Arab berasal dari kata darosa, yadrusu, darsun, yang bermakna `telah belajar, sedang belajar, dan pelajaran` sehingga madrasah artinya tempat belajar.

Bagi Bangsa Arab, secara maknawi, Ibu merupakan mentor utama bagi seorang insan yang terlahir ke muka bumi.

Tentu mahfudzhat atau nama lain dari syair Arab itu menjadi penting hari ini, 22 Desember 2018, ketika Bangsa Indonesia merayakan Hari Ibu. Presiden Soekarno melalui Kepres No. 316/1959 menetapkan tanggal ini sebagai Hari Ibu.

Tanggal tersebut dipilih untuk menghormati spirit wanita meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara pada Kongres Perempuan Indonesia 1928.

Kini, makna Hari Ibu bergeser untuk nyatakan cinta pada sosok perempuan yang dalam syair Arab juga disebut "annisa `imadul bilad" atau perempuan itu tiang negara.

Toh, pergeseran perayaan tersebut tak mengurangi relevansi Bangsa Indonesia untuk merenungkan peran Ibu di era modern yang memiliki tantangan berbeda dengan Ibu yang hidup 90 tahun silam pada 1928. Ibu di era sekarang kerapkali menghadapi dilema.

Ibu seringkali harus memilih untuk menjadi mentor utama bagi buah hatinya atau turut membantu menopang ekonomi keluarga dengan turut berkarir sebagai guru, dosen, dokter, pegawai, dan beragam profesi lain yang tentu menyita waktu keterlibatannya mendidik anak.

Seringkali kita terseret untuk memposisikan pilihan tersebut secara berhadap-hadapan. Ibu yang memilih menjadi Ibu Rumah Tangga merasa lebih baik karena dapat meluangkan waktu lebih untuk keluarga, sebaliknya Ibu yang memilih bekerja merasa lebih baik karena telah membantu ekonomi keluarganya.

Sebetulnya kedua pilihan tersebut sama baiknya tergantung prioritas dan konteks yang dihadapi setiap keluarga yang berbeda-beda antara satu keluarga dengan keluarga lainnya serta kesepakatan bersama suami.

Banyak fakta yang membuktikan seorang anak berhasil karena sang Ibu mendidik anaknya secara penuh sebagai Ibu rumah tangga. Musababnya Ibu dapat memastikan proses pendidikan dan pengawasan secara langsung.

Demikian pula banyak fakta yang membuktikan seorang anak berhasil karena sang Ibu yang bekerja di luar rumah berhasil menurunkan spirit kepada sang anak sehingga menjadi manusia tangguh.

Poin pentingnya adalah bagaimana peran pendidikan anak tetap berlangsung baik Ibu berada di rumah maupun Ibu bekerja di luar rumah.

Bangsa China tradisional, misalnya, mengkompensasi pendidikan anak bagi keluarga muda yang suami dan istri bekerja, melalui pendidikan oleh kakek dan nenek karena umumnya tinggal di sebuah rumah besar.

Bangsa Arab, bahkan seperti di awal tulisan, memiliki tradisi menitipkan anak pada wanita lain yang disebut sebagai Ibu Susu.

Nabi Umat Islam, Muhammad SAW, merupakan contoh pribadi yang di awal kehidupannya memiliki 3 Ibu Susu yaitu Ummu Aiman, Tsuwaibah, dan Halimah.

Tradisi Ibu susu tersebut bagi Bangsa Arab Kota dianggap membawa kebaikan.

Pertama, berguna agar anak lebih sehat, tahan penyakit, dan kuat karena udara desa lebih segar dan alamnya lebih keras.

Kedua, berguna agar anak tetap mampu berbahasa Arab yang asli bukan Bahasa Arab yang telah tercampur dengan bahasa pendatang karena Mekkah ketika itu telah menjadi kota yang menjadi pusat ziarah beragam bangsa.

Ketiga, berguna karena anak memiliki saudara sepersusuan yang saat dewasa saling membantu bak saudara kandung.

Demikian pula di suku-suku di Indonesia.

Kita menyaksikan di masa silam seorang anak tetap mampu menjadi pribadi yang berhasil ketika dididik oleh nenek, bibi, dayang, maupun simbok.

Prinsip yang utama adalah seorang anak tidak boleh kehilangan perempuan dalam kehidupannya sebagai pendidik yang berjiwa feminim: penuh cinta, kasih, sayang, lembut, dan tulus.

Kini di era modern, Ibu kandung yang bekerja dapat berduet dengan nenek, bibi, atau pramuwisma sebagai mentor bagi anak-anaknya.

Tentu untuk pilihan berduet dengan pramuwisma harus dipilih perempuan baik yang cocok serta dapat bekerjasama dalam mendidik. Tujuannya agar prinsip dan cara mendidik si buah hati tidak saling bertolak belakang.

Menurut Emha Ainun Nadjib, budayawan kelahiran Jombang, Jawa Timur, pramuwisma dari desa-desa yang bekerja di kota maupun di luar negeri adalah para pahlawan yang menopang pendidikan anak bangsa.

Bahkan, menurut Emha, kelak bukan tidak mungkin anak-anak Malaysia, Cina, bahkan Arab terwarnai oleh pola pendidikan Bangsa Indonesia karena sejak kecil telah dididik oleh pramuwisma dari desa-desa di Tanah Air.

Harapannya adalah pramuwisma tersebut mewarnai hal-hal baik yang menjadi tradisi di desanya.

Terakhir, tentu peran seorang Ibu dalam mendidik anak tidak lepas pula dari peran ayah sebagai pemimpin dan penopang keluarga.

Ayah dan Ibu dapat saling berbagi peran dan saling berganti peran dalam mendidik buah hati.

Pada Hari Ibu ini, mari kita berikan hormat yang dalam bagi para perempuan Indonesia baik sebagai Ibu, Nenek, Bibi, maupun pramuwisma yang telah bersusah payah mendidik anak-anak bangsa. Selamat Hari Ibu!.


*) Penulis adalah Ketua Litbang DPP GEMA Mathla'ul Anwar


Baca juga: Saat Susi bicara ibu dan Hari Ibu
Baca juga: Hari Ibu diharapkan dorong perempuan maju dalam pembangunan


 

Pewarta: -
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2018