Jakarta (ANTARA News)  - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada November 2018 tercatat mengalami defisit sebesar 2,05 miliar dolar AS.

Defisit tersebut terjadi karena selama periode ini terjadi perlemahan kinerja ekspor yang disertai oleh peningkatan impor, terutama dari sektor minyak dan gas, jelang akhir tahun.

Dengan demikian, maka secara kumulatif neraca perdagangan pada Januari-November 2018 tercatat sebesar 7,52 miliar dolar AS.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan realisasi defisit neraca perdagangan tersebut ikut mempengaruhi pergerakan defisit neraca transaksi berjalan atau Current Account Deficit (CAD) pada akhir tahun.

Neraca transaksi berjalan merupakan parameter fundamental ekonomi domestik yang merekam arus perdagangan barang dan jasa dari Indonesia ke mancanegara dan sebaliknya serta keluar masuk arus devisa.

Untuk keseluruhan tahun 2018, ia memperkirakan, CAD berada pada kisaran tiga persen terhadap PDB. Proyeksi ini cukup masuk akal mengingat secara kumulatif hingga triwulan III-2018, CAD telah mencapai 2,86 persen terhadap PDB.

Proyeksi CAD tersebut berbeda dengan perkiraan sebelumnya yang selalu dikemukakan Bank Sentral yaitu dibawah tiga persen terhadap PDB pada akhir tahun.

Meski bertambah lebar, Perry melihat impor yang menjadi salah satu penyebab terjadinya CAD, masih didominasi oleh barang modal dan bahan baku yang dapat melahirkan kegiatan ekonomi produktif jangka panjang.

"Komposisi impornya adalah produktif. Sebagian adalah untuk barang modal dan bahan baku. Oleh karena itu, dalam jangka pendek ini, kita berupaya menurunkan CAD ke arah 2,5 persen dari PDB untuk 2019," katanya.

Selain itu, Perry optimistis aliran modal masuk yang deras pada triwulan III-2018 dapat memberikan kontribusi terhadap surplus neraca modal dan finansial untuk menekan pelebaran CAD.

Selama ini, pembenahan CAD bukan merupakan tugas yang mudah dilakukan karena terkait dengan perbaikan fundamental ekonomi Indonesia yang bisa memerlukan waktu selama bertahun-tahun.

Namun, hal ini perlu diupayakan karena bisa memberikan kepastian kepada investor atas prospek perekonomian Indonesia di masa depan serta kestabilan dalam jangka panjang.

Salah satu kestabilan yang diharapkan dari pengelolaan CAD adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang kokoh dan tidak terlalu berfluktuasi meski terdapat tekanan eksternal.

Pemerintah sudah melakukan pekerjaan rumah untuk mengatasi pelebaran CAD dengan melaksanakan berbagai pembenahan salah satunya melalui penerbitan sistem pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (OSS).

Sistem "Online Single Submission" itu menyederhanakan proses perizinan di satu tempat dengan tujuan untuk mengundang minat pelaku usaha berinvestasi dalam industri berbasis ekspor maupun subtitusi impor.

Selain itu, pemerintah mewajibkan penggunaan bahan bakar berbasis sawit atau biodiesel (B20) untuk mengurangi impor migas terutama solar yang selama ini menjadi penyebab terjadinya defisit neraca perdagangan.

Untuk mengurangi impor bahan konsumsi, pemerintah juga menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) impor pasal 22 terhadap 1.147 kode HS barang agar penggunaan barang dalam negeri meningkat.

Tidak hanya itu, pemerintah juga menerbitkan paket kebijakan ekonomi jilid XVI pada pertengahan November 2018 yang isinya memperluas fasilitas pengurangan pajak penghasilan (tax holiday), relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) dan meningkatkan Devisa Hasil Ekspor khususnya dari hasil sumber daya alam.

Upaya kesinambungan

Dalam kesempatan terpisah, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution juga memperkirakan CAD pada akhir tahun berada pada kisaran tiga persen terhadap PDB.

Hal itu terjadi karena defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan IV-2018 dapat makin melebar dari periode sebelumnya dan bisa berada diatas tiga persen terhadap PDB.

Ia mengakui proyeksi angka tersebut masih cukup tinggi, seperti yang pernah terjadi pada periode 2014 dan 2015, meski realisasi itu dapat ditekan oleh surplus pada neraca modal dan finansial.

Namun, Darmin juga menegaskan pembenahan neraca transaksi berjalan yang masih mengalami defisit merupakan pekerjaan jangka menengah panjang yang membutuhkan waktu tahunan.

"Transaksi berjalan itu butuh bertahun-tahun untuk memperbaiki. Bukan begitu keluar kebijakan, bulan depan atau tiga bulan lagi akan beres," ujar mantan Gubernur Bank Indonesia ini.

Ia ikut mengingatkan berbagai kebijakan yang sudah dilakukan pemerintah, seperti paket kebijakan XVI, harus diupayakan sebagai pembenahan lebih dini dan menjaga kepercayaan para pelaku pasar agar investasi masuk ke Indonesia.

Apalagi, tindakan ini didukung oleh momentum masuknya modal asing ke pasar domestik sebesar 7,9 miliar dolar AS pada November 2018 yang telah terbukti memberikan kontribusi positif kepada neraca pembayaran.

"Momentum itu harus dimanfaatkan dan dijaga. Kalau momentum ini lewat, kita harus menyiapkan kebijakan lagi yang mungkin baru tiga atau enam bulan lagi baru bisa kita buat," ujarnya.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro juga mengatakan perbaikan CAD memerlukan kebijakan dari pemerintah secara berkesinambungan.

"Pasti kami ingin kebijakan itu kita buat secara permanen artinya berkesinambungan. Upaya mengurangi CAD tidak bisa dalam satu masa pemerintahan saja, ini harus menjadi upaya berkesinambungan," ujarnya.

Saat ini, Bappenas telah menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang akan mengalihkan ekspor dari berbasis sumber daya alam menjadi barang olahan yang mempunyai nilai tambah.

Dengan perencanaan ini, kebijakan ekonomi tersebut diharapkan bisa memperbaiki CAD dalam jangka panjang agar secara permanen neraca transaksi berjalan mulai mengalami surplus.

Suka atau tidak, Indonesia harus mulai belajar dari Thailand yang telah mendapatkan "keuntungan" dari surplus neraca transaksi berjalan dan kondisi ekonominya tidak rentan terhadap gejolak global.

Salah satu alasan negeri gajah putih itu bisa mengalami surplus neraca transaksi berjalan karena memperoleh devisa yang besar dari sektor pariwisata yang telah menggeliat selama bertahun-tahun.

Kurangi tekanan

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan CAD masih menjadi momok utama dalam stabilitas sistem keuangan dan berpengaruh kepada pergerakan nilai tukar.

Untuk itu, ia mengingatkan harus ada solusi untuk menjawab persoalan CAD secara fundamental dan struktural, bukan hanya bersifat responsif dan jangka pendek.

Salah satunya terhadap sektor jasa, terutama jasa transportasi yang melayani perdagangan internasional, yang selama ini merupakan salah satu penyebab terjadinya pelebaran CAD dalam jangka menengah panjang.

Oleh karena itu, ia mengharapkan adanya penguatan implementasi dari pusat logistik berikat, yang selama ini sudah dilakukan pemerintah, karena dapat mengurangi jasa pelayanan transportasi asing di dalam negeri.

"Itu akan menyelesaikan defisit neraca jasa secara signifikan. Jadi yang melayani impor jasa di perairan dalam negeri adalah pelayanan domestik dan itu bisa menekan CAD secara signifikan," ujar Enny.

Sementara itu, dari sisi moneter, Kepala Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengatakan Bank Sentral bisa kembali menyesuaikan suku bunga acuan pada semester I-2019 untuk menekan pergerakan CAD.

Pengetatan kebijakan moneter ini dapat bermanfaat mengurangi impor dan mengurangi CAD serta mengundang masuknya aliran modal dan memperbaiki kinerja neraca pembayaran.

Tanpa adanya kebijakan untuk memperbaiki struktur fundamental ekonomi ini, Satria mengatakan pergerakan rupiah masih akan rentan terhadap gejolak global yang masih akan terjadi di awal 2019.

"Tidak akan terjadi, penguatan rupiah, apabila tidak ada perbaikan dalam fundamental ekonomi nasional, yaitu pembenahan untuk CAD dan neraca pembayaran," katanya. *




 

Pewarta: Satyagraha
Editor: Royke Sinaga
Copyright © ANTARA 2018