Depok (ANTARA News) - Pemerintahan Indonesia diharapkan bisa menjalankan diplomasi kemanusian dalam konsteks politik bebas aktif terhadap China agar terbuka dan memberikan informasi yang benar terkait kasus Muslim Uighur dan resolusi perdamainnya.

Hal tersebut ungkapkan oleh Farouk Abdullah Alwyni, Ketua Biro Pelayanan Luar Negeri dan Diplomasi Publik DPP PKS dalam keterangan tertulisnya, di terima di Depok, Jabar, Sabtu.

Menurut Farouk, Indonesia bisa bersikap tegas dan lebih berperan aktif dalam membantu Muslim Uighur di China keluar dari problem pelanggaran HAM yang menimpa mereka.

Alasannya pertama, kata Farouk Indonesia merupakan negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, sehingga harus tampil memperjuangkan keadilan dan perdamaian dunia sebagaimana ajaran Islam yang rahmatan lil`alamin.

"Perlindungan terhadap etnis minoritas dari pelanggaran HAM di manapun harus diperjuangan dan menjadi komitmen kebangsaan atas dasar kemanusiaan," tegas Calon Anggota DPR Dapil DKI Jakarta 2 dari PKS ini.

Kedua, politik luar negeri Indonesia bebas aktif. Rumusan yang ada pada alinea I dan alinea IV Pembukaan UUD 1945 merupakan dasar hukum yang sangat kuat bagi politik luar negeri Indonesia.

Berhubung konstitusi negara menggariskan bahwa Indonesia memiliki politik luar negeri yang bebas aktif, maka pemerintah tidak boleh berada di balik bayang-bayang negara lain, apapun alasannya. Artinya, Indonesia harus bersikap semestinya sesuai koridor konstitusi dalam menghadapi China yang notabene banyak berinvestasi di dalam negeri.

Farouk menduga, adanya perlawanan dari etnis minoritas Uighur terhadap pemerintah Tiongkok akibat ketidakadilan perlakuan dan ketimpangan dalam hal kepentingan sosial budaya, akses ekonomi dan pendidikan, hingga geopolitik setelah migrasi besar-besaran ras Han ke wilayah Xinjiang.

Padahal kawasan ini sudah menjadi provinsi otonom semenjak tahun1955 serta menjadi provinsi dengan wilayah administrasi terbesar di China, dengan nama resmi Xinjiang Uyghur Autonomous Region (XUAR).

Dosen Program MM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia ini berharap, Pemerintahan Jokowi-JK bisa menjalankan diplomasi kemanusian dalam konsteks politik bebas aktif terhadap China agar terbuka dan memberikan informasi yang benar terkait kasus Uighur dan resolusi perdamainnya.

Laporan mengenai dugaan tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap etnis minoritas Muslim Uighur China di dalam kamp-kamp reedukasi, menyulut reaksi dunia internasional, tidak terkecuali masyarakat Indonesia.

"Indonesia bisa memainkan peran yang lebih aktif untuk menghentikan segala bentuk diskriminasi terhadap warga Uighur," kata Farouk.

Dalam laporan investigasinya, Amnesty International dan Human Right Watch menyebutkan, Pemerintah China telah menahan sekitar satu juta jiwa orang yang diduga berasal dari etnis Uighur.

Mereka dipaksa mengikuti program "Kamp Indoktrinasi Politik" yang di dalamnya diduga terdapat upaya pelunturan keyakinan yang dianut warga Uighur, sebagai Muslim.

Amnesti Internasional pun menulis surat kepada pihak China yakni otoritas penjara, pemerintah otonom di Xinjiang dan pemimpin dari pemerintahan Tiongkok, agar warga etnis Uighur yang ditahan segera dibebaskan.

Pemerintah China menyangkal melakukan tindakan diskriminatif yang melanggar hak asasi manusia (HAM) terhadap etnis minoritas Muslim Uighur. Sebab fasilitas yang dituding sebagai kamp tahanan tersebut hanya sebagai gedung pendidikan vokasi.

Juru bicara Kedutaan Besar (Kedubes) RRT untuk Indonesia, Xu Hangtian dalam keterangan resminya mengklaim, Tiongkok sebagai negara multisuku dan multiagama, yang mana hak-hak kebebasan beragama dan kepercayaan warga negara Tiongkok dijamin Undang-undang Dasar.

Baca juga: Pelajar Indonesia di China tak terpengaruh isu Uighur
Baca juga: Ma'ruf harap pemerintah China perlakukan Muslim Uighur dengan baik
Baca juga: Uighur dalam pusaran isu global


 

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018