Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)  sebagai lembaga penegak hukum terdepan di Indonesia dalam pemberantasan korupsi menetapkan setidaknya 256 orang sebagai tersangka kasus korupsi sepanjang 2018.
   
Ke-256 orang tersangka itu terjerat sekitar 53 kasus baru, 30 di antaranya merupakan hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT).
   
Dari para tersangka tersebut, 26 di antaranya adalah kepala daerah yang terdiri dari dua orang gubernur, empat orang wali kota dan 20 orang bupati.
   
Mereka adalah Gubernur Jambi Zumi Zola, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, Wali kota Kendari Adriatma Dwi Putra, Wali Kota Malang Moch Anton, Wali kota Blitar M Samhudi Anwar, Wali Kota Pasuruan Setiyono, Bupati Hulu Sungai Tengah Abdul Latif, Bupati Kebumen M Yahya Fuad, Bupati Jombang Nyono Wiharli Suhandoko, Bupati Ngada Marianus Sae.
   
Selanjutnya Bupati Subang Imas Aryuminingsih, Bupati Lampung Tengah Mustafa, Bupati Kepulauan Sula Ahmad Hidayat Mus, Bupati Bandung Barat Abu Bakar, Bupati Mojokerto Kamal Pasha, Bupati Bener Meriah Ahmadi, Bupati Lampung Selatan Zainuddin Hasan, Bupati Malang Rendra Kresna.
   
Kemudian Bupati Bekasi Neneng Hasanah, Bupati  Bengkulu Selatan Dirwan alias Dirwan Mahmud, Bupati Buton Selatan Agus Feisal Hidayat, Bupati Purbalingga Tasdi, Bupati Tulungagung Syahri Mulyo, Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar, Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra dan Bupati Jepara Ahmad Marzuq.
   
Kasus yang menjerat mereka adalah suap terkait pengadaan barang dan jasa (17 kasus), suap terkait izin pelaksanaan serta mutasi-rotasi pejabat daerah (3 kasus), suap untuk pengesahan APBD (3 kasus), suap lainnya seperti untuk alokasi dana otonomi khusus Aceh (satu kasus) dan terkait pembebasan putusan pengadilan (satu kasus) serta terakhir korupsi pengadaan (satu kasus). 
   
Artinya, proyek pengadaan di daerah masih tetap menjadi bancakan masing-masing kepala daerah meski sistem "e-budgeting", "e-procurement" dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sudah lebih dari 3 tahun didengung-dengungkan pemerintah pusat bersama dengan KPK.
   
Hal lain yang menarik, dalam kasus suap terkait pengesahan APBD tiga daerah yaitu provinsi Sumatera Utara, kota Malang dan provinsi Jambi tersangka pun bertambah, karena suap diberikan kepala daerah kepada para anggota DPRD agar meloloskan APBD daerah tersebut maka anggota parlemen yang menerima uang pun ikut menjadi tersangka.
 
KPK menetapkan 38 anggota DPRD Sumatera Utara (Sumut) periode 2009-2014, 22 anggota DPRD periode 2014-2019 Kota Malang dan 13 anggota anggota DPRD provinsi Jambi periode 2014-2019 sebagai tersangka. Jumlah tersebut menggenapkan 100 orang anggota DPRD yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sepanjang 2018.
   
Pertanyaannya, apakah mereka yang terjerat KPK hanya karena "apes" atau memang para kepala daerah dan anggota DPRD itu memang tidak becus bekerja dalam mengelola pemerintahan daerah masing-masing?

Pendampingan KPK

Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, Direktorat Pencegahan KPK sudah mendampingi 34 provinsi dan 542 kabupaten/kota di Indonesia untuk mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan.

Kemajuan (progress) dari pendampingan tersebut dapat dilihat di laman korsupgah.kpk.go.id yang berisi capaian sejumlah area intervensi yaitu perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan barang dan jasa, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), kapabilitas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN), Dana Desa dan Optimalisasi Pendapatan Daerah.
   
Dari data di laman tersebut dapat diketahui bahwa di daerah-daerah yang kepala daerah dan anggota DPRD-nya menjadi tersangka di KPK, sistem perencanaan dan penganggaran APBD-nya punya skor buruk misalnya dalam "progress" integrasi perencanaan dengan penganggaran di Pemerintah Provinsi Sumut hanya 18 persen, Pemprov Jambi 17 persen dan Pemerintah Kota Malang 23 persen.
 
"Artinya di daerah-daerah tersebut antara usulan proyek dari masyarakat dengan Rancangan APBD tidak 'nyambung' secara sistem, hal-hal inilah yang membuat DPRD menyelipkan proyek pribadi atau bahkan meminta uang ketok," kata Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan.
 
Padahal bila sudah terintegrasi gubernurnya pasti "PD" (percaya diri) karena transparan dan banyak yang membantau sehingga tidak akan ada lagi permintaan uang ketok atau menitip anggaran dari anggota parlemen.
 
Sedangkan daerah-daerah yang para pemimpinnya tertangkap menerima suap terkait proyek pengadaan juga tidak maksimal untuk meningkatkan sistem pengadaan barang dan jasanya. Misalnya kabupaten Hulu Sungai Tengah, kemajuan sistem pengadaan barang dan jasanya baru 48 persen dengan kemajuan terkecil adalah kematangan Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang hanya 31 persen.
   
Selanjutnya kabupaten Labuhan Batu kemajuan sistem pengadaan barang dan jasanya hanya 45 persen; kabupaten Ngada 48 persen; kabupaten Buton Selatan bahkan kematangan ULP hanya 20 persen dan standar Sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) hanya 18 persen; kabupaten Bener Meriah sistem pengadaan barang dan jasanya 44 persen; kabupaten Kebumen standar LPSE hanya 31 persen bahkan perangkat pendukung 0 persen.
 
Sementara bagi daerah yang kepada daerahnya bermasalah soal izin misalnya kabupaten Jombang, data KPK menunjukkan integrasi online single submission (OSS) untuk izin usaha dan penerapan e-signature adalah 0 persen.
 
Kabupaten Bekasi mencatat tidak ada "progress" (0 persen) untuk 6 sub-area perizinan, artinya tidak ada integrasi dengan aplikasi OSS; tidak pemenuhan kewajiban pemohon perizinan yang berasal dari direktorat jenderal pajak, Badan Pendapatan Daerah serta BPJS Ketenagakerjaan; tidak ada pendelegasian kewenangan ke DPMTSP; tidak ada penerapan e-signature; tidak ada rekomendasi teknis dari dinas teknis yang difasilitasi oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) dan tidak ada kanal pengaduan. 
   
Tidak heran KPK mencokok Bupati Bekasi beserta empat anak buahnya yaitu kepala dinas Tata Ruang Bekasi, kepala Dinas PUPR Bekasi, kepala dinas pemadam kebakaran bekas dan kepala dinas DPMPTSP karena pemerintah kabupaten tersebut tidak punya sistem perizinan yang memadai sehingga memungkinkan swasta melakukan praktik suap kepada kepala daerah dan para pembantunya! 
   
Sedangkan Bupati Cirebon yang menjadi tersangka dugaan penerimaan suap terkait mutasi, dari data pencegahan KPK tampak jelas bahwa rotasi dan promosi jabatan di pemkab Cirebon juga tidak punya manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) yang baik.
   
Kabupaten Cirebon tidak punya kemajuan (0 persen) untuk lima bidang yaitu untuk implementasi tunjangan penghasilan pegawai (TPP) skor evaluasi jabatan telah selesai divalidasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, implementasi TPP terselesaikannya seluruh skor evaluasi jabatan, kepatuhan pelaporan gratifikasi, terbentuknya unit pengendali gratifikasi, tersedianya regulasi pengendalian gratifikasi.
   
Dapat dikatakan, pantas saja Bupati Cirebon Sunjaya Purwadisastra menerima suap dari para bawahannya yang ingin mendapat posisi "enak" karena tidak ada sistem manajemen mutasi-rotasi ASN di kabupaten tersebut, khususnya mengenai gratifikasi.
   
Tiga bidang tersebut: pengadaan barang dan jasa, izin dan rotasi-mutasi ASN tampak jadi sasaran empuk para kepala daerah maupun pejabat neara lain pada tahun ini bila tidak ada perbaikan sistem. Lantas bagaimana? Masih mengatakan bahwa para tersangka dugaan korupsi KPK "hanya apes?".

Mencegah Tren 2019

KPK memang sudah mendampingi dan melakukan intervensi tata kelola pemerintahan di seluruh kabupaten/kota/provinsi di Indonesia misalnya di bidang sistem administrasi perencanaan, penganggaran, perizinan, pengadaan barang/jasa, penguatan peran aparat

Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), tata kelola kesamsatan dan tambahan penghasilan pegawai di lingkungan Pemerintah Daerah.
   
Kegiatan koordinasi, supervisi, dan monitoring pencegahan dilakukan melalui pemetaan permasalahan; pendampingan penyusunan rencana aksi; permintaan dan analisis serta validasi informasi/data, pengamatan, diskusi, "benchmarking", serta kegiatan lainnya dalam rangka monitoring dan evaluasi implementasi rencana aksi yang sudah ditetapkan. 
 
Programnya meliputi: perencanaan APBD, pengadaan barang dan jasa, pelayanan terpadu satu pintu, penguatan APIP, implementasi tambahan penghasilan pegawai, implementasi e-samsat, dan Optimalisasi Penerimaan Daerah (OPD).
   
"KPK mendorong diimplementasikannya sistem 'e-procurement', pendirian Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang mandiri, termasuk SDM pengelola yang independen. Tahun ini KPK telah mendorong penggunaan e-catalog lokal di 10 daerah, yaitu Sumatera Utara, kota Medan, Jawa Barat, kota Bandung, Jawa Tengah, kota Semarang, Jawa Timur, Kota Surabaya, Sulawesi Selatan dan Kota Makasar," jelas Agus.
   
Tujuannya adalah agar proses pengadaan berjalan lebih terbuka, sehingga menghasilkan output pengadaan yang efektif dan efisien.
   
Namun OTT yang berujung pada penetapan tersangka kepala daerah tetap terjadi, seolah-olah pendampingan dan intervensi itu tidak ditanggapi serius oleh para kepala daerah dan aparatur di bawahnya.
   
Pada 2018, KPK mencatat OTT terbanyak sepanjang sejarah berdiri sejak 2003 yaitu 30 OTT.
   
"Terkait tangkap tangan, kadang KPK menyita hanya sejumlah kecil uang suap. Namun, saat dilakukan pengembangan tidak sedikit para pihak yang kemudian dapat dimintai pertanggungjawaban. Dari OTT tersebut pula, tidak jarang menjadi pintu masuk untuk menjerat dugaan tindak pidana penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang.
 
Persoalannya, kasus korupsi, OTT dan pelaku korupsi akan tetap datang silih berganti dengan berbagai modus bila tidak ada perbaikan sistem menyeluruh.
   
Sejumlah daerah yang dinilai KPK sudah punya rapor baik dalam tata kelola pemerintahan sepatutnya dicontoh oleh daerah lain.
   
Contoh daerah yang sudah 100 persen menurut penilaian KPK menerapkan tata kelola pemerintahan daerah yang baik adalah pemkab Lamongan, pemkot Surabaya dan pemprov Jawa Timur. Ketiganya mendapat penilaian 100 persen memenuhi indikator-indikator yang ditetapkan KPK.
   
Upaya percontohan itu sesungguhnya sejalan dengan keinginan Presiden Joko Widodo agar ada satu pemerintah daerah kota, kabupaten, provinsi dan kementerian sebagai contoh sistem antikorupsi.
 
 "Saya ingin sebetulnya memang ada contoh satu kabupaten, contoh satu kota, satu provinsi, satu kementerian yang kita garap habis sistem kerjanya, sistem pelayanan, kecepatan perizinannya, satu-satu kita jadikan contoh, yang lain suruh 'copy', mendampingi KPK," kata Presiden Joko Widodo saat membuka acara Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2018 di Jakarta pada 4 Desember 2018 lalu.
 
 Presiden berharap KPK bekerja sama dengan lembaga terkait dapat segera merumuskan percontohan pemerintah daerah dan kementerian yang dapat dicontoh tersebut.
 
"Pemda dan kementerian lain nanti kalau sistemnya sudah betul, yang lain suruh 'copy', kita beri instruksi Inpres atau perpres ikuti kabupaten misalnnya Boyolali, ikuti provinsi DKI, ikuti Kemenkeu, kita ini kan paling gampang mencontoh, memfotokopi kita paling pinter," jelas Presiden.
 
Apalagi menurut Presiden, banyaknya jumlah orang yang dipenjarakan oleh penegak hukum karena kasus korupsi bukan menunjukkan bangsa tersebut antikorupsi.
 
"Saya kira saudara sepaham dengan saya bahwa keberhasilan gerakan antikorupsi tidak diukur dari seberapa banyak orang yang ditangkap dan dipenjarakan, tetapi diukur dari ketiadaan orang yang menjalankan tindak pidana korupsi," kata Presiden.
 
Kondisi ideal dari sebuah bangsa antikorupsi, menurut Preiden, adalah ketika disaring dengan hukum seketat apapun tidak ada lagi orang yang bisa ditersangkakan sebagai seorang koruptor.
     
Tidak heran Deputi Komisioner dan Kepala Operasi Hong Kong Independent Commission Against Corruption (ICAC) 1996-2002 Tony Kwok pernah mengatakan pada 2017 bahwa bila ia harus memilih satu, antara pencegahan, pendidikan, pemberdayaan atau penyidikan dalam pemberantasan korupsi maka ia dengan tegas memilih penegakan hukum.
   
"Yang paling penting adalah penegakan hukum. Wujudnya penyidikan, di ICAC, kami memiliki lebih dari 1000 penyidik di departemen operasi, tim pencegahan 50-70 orang dan ahli pendidikan 200-an orang," kata Tony.
 
 Sudah sepatutnya para kepala daerah yang masih menjabat saat ini tidak mencontoh tindakan ke-26 rekannya yang sedang diproses KPK tapi mencontoh sistem 3 daerah yang mendapat "ponten" 100 pesen dari KPK demi mencegah tren korupsi 2019.

Baca juga: KPK telah tangani 161 anggota DPRD terlibat korupsi
Baca juga: KPK dalami proses lelang pembangungan gedung IPDN Sulut

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019