Biasanya yang dipakai adalah surfaktan sintesis atau dari produk turunan minyak bumi. Padahal Indonesia mempunyai beragam kekayaan hayati yang sangat potensial digunakan sebagai substrat dalam sintesis biosurfaktan
Solo, Jateng (ANTARA News) - Guru Besar Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Venty Suryanti menyatakan, perlu penggunaan surfaktan ramah lingkungan untuk mengurangi polusi di perairan dalam negeri.

"Biasanya yang dipakai adalah surfaktan sintesis atau dari produk turunan minyak bumi. Padahal Indonesia mempunyai beragam kekayaan hayati yang sangat potensial digunakan sebagai substrat dalam sintesis biosurfaktan," katanya, di Solo, Jawa Tengah, Selasa.

Menurut Venty Suryanti, dosen dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA)  yang akan dikukuhkan menjadi guru besar ke-197 UNS dan ke-14 FMIPA pada 10 Januari 2019 itu mengatakan, surfaktan adalah bahan aktif permukaan yang bekerja menurunkan tegangan permukaan cairan sehingga bisa menyatukan campuran yang terdiri dari minyak dan air.

Ia mengatakan surfaktan pada umumnya disintesis dari turunan minyak bumi sehingga limbahnya bisa mencemari lingkungan mengingat sifatnya yang sulit terdegradasi. Di sisi lain, minyak bumi merupakan sumber bahan baku yang tidak dapat diperbarui.

Dari sisi penggunaan, kata dia, surfaktan merupakan salah satu bahan pembuatan beberapa produk, di antaranya farmasi dan tekstil.

Melalui hasil penelitiannya, Venty mengatakan, biosurfaktan dapat disintesis oleh bakteri, ragi, dan jamur dari berbagai substrat yang dapat diperbarui, misalnya karbohidrat, lipid, dan protein.

Selain Venty, dosen lain dari Fakultas Pertanian UNS, Sri Hartati juga akan dikukuhkan sebagai guru besar ke-198?UNS dan ke-28 Fakultas Pertanian.

Pada pidato pengukuhannya, Sri Hartati akan mengangkat tema "Peran Ilmu Pemuliaan Tanaman Bagi Pengembangan Anggrek di Indonesia".

Sri mengatakan, pemuliaan tanaman anggrek merupakan salah satu langkah untuk melindungi spesies anggrek alam yang saat ini keberadaannya mulai langka.

Menurut dia, kelangkaan tersebut bisa karena alih fungsi lahan, kebakaran hutan, dan perburuan anggrek oleh para kolektor.

"Anggrek adalah aset bangsa yang bisa mendatangkan devisa. Oleh karena itu, melindungi spesies anggrek alam mutlak diperlukan sebagai langkah pelestarian," katanya.

Baca juga: Indonesia berpotensi kembangkan surfaktan sawit untuk EOR

Pewarta: Aries Wasita Widi Astuti
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019