"Sebetulnya kami curiga debat ini tidak punya korelasi yang serius dengan apa yang kita lihat dari masa ke masa," kata Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati di Jakarta, Selasa.
Apabila dokumen visi-misi sebagai salah satu persyaratan untuk menjadi presiden dan wakil presiden saja tidak dijalankan, ujar dia, apalagi perkataan dalam debat.
Dalam bidang hukum, Asfinawati mempertanyakan beranikah nantinya para capres mencabut hukum yang meminggirkan kelompok minoritas keagamaan seperti Pasal 165a UU PN/PS Nomor1 Tahun 1965.
Selanjutnya, menurut dia, diperlukan perubahan hukum acara pidana di Indonesia sehingga tidak memakan korban karena orang yang dijadikan tersangka pasti akan masuk penjara.
Hak atas pembangunan pun menjadi tugas yang harus dijalankan, yakni saat melakukan pembangunan tidak mengabdi pada pemilik modal atau keuntungan yang didapatkan negara, tetapi keuntungan yang didapatkan rakyat.
Hal tersebut, kata dia, karena seringkali pendapatan negara tidak berkorelasi dengan pendapatan rakyat. Misalnya pendirian pabrik semen yang merebut sawah rakyat, padahal rakyat sudah sejahtera. "Apakah mereka berani mengajukan perubahan itu?" kata Asfinawati.
Selain itu, ia menekankan yang paling penting adalah komitmen presiden terhadap pemberantasan korupsi. Contohnya ketika terdapat serangan pada KPK, presiden harus berani mengambil tindakan.
Debat capres-cawapres yang akan diselenggarakan pada Kamis (17 Januari) mengangkat tema, hukum, HAM, korupsi dan terorisme merupakan debat yang pertama.
Baca juga: JK: visi misi harus disampaikan Capres-Cawapres
Baca juga: Jokowi-Ma'ruf komitmen tidak layangkan pertanyaan SARA dalam debat
Baca juga: Gerindra berikan catatan kritis penegakan hukum dan HAM
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Sri Muryono
Copyright © ANTARA 2019
