Jakarta (ANTARA News) - Jangan menyepelekan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) karena bila mereka rutin mengonsumsi ARV, tingkat produktivitasnya sama dengan mereka yang sehat. 

Direktur Eksekutif Indonesia AIDS Coalition (IAC), Aditya Wardhana mengatakan, bahkan ciri fisik yang selama ini melekat pada ODHA yakni tubuh kurus dan lainnya tak akan terlihat. 

"Orang minum ARV tingkat HIV tak terdeteksi, dia tidak ada bedanya dengan orang lain. Dia sama-sama produktif. Stigma diskriminasi dari masyarakat akan turun, biasanya ODHA tubuhnya kurus dan sebagainya," ujar dia dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis. 

Hal senada diungkapkan ARV Community Support IAC, Ria Pangayow. Dia mengatakan, saat ini ODHA bahkan bisa bekerja di sektor-sektor umum, termasuk pemerintahan. Secara fisik pun tidak ada bedanya dengan mereka yang sehat (ODHA yang mengonsumsi ARV sebelum kondisinya drop). 

"Tidak ada bedanya. Kalau yang kurus itu biasanya karena baru minum obat setelah kondisinya down sehingga ada stigma orang dengan HIV/AIDS itu badannya kurus," tutur dia. 

ARV mengandung tiga zat aktif Tenofovir, Lamivudine dan Efavirenz (TLE) yang kini tersedia dalam bentuk Fixed Dose Combination (FDC). Obat ini harus ODHA konsumsi tanpa putus sepanjang hidupnya. 

"ARV harus dikonsumsi dalam sediaan kombinasi, tidak bisa hanya satu zat aktif saja untuk menghambat replikasi virus HIV. Makanya harus dikombinasi minimal tiga zat dalam satu obat. Tidak bisa putus" kata Aditya. 

Hanya saja, ketersediaan ARV LTE dalam bentuk FDC kini menjadi masalah. Menurut Aditya, salah satu penyebabnya adalah tidak ada kesepakatan harga antara pemerintah dan perusahaan farmasi yang memiliki ijin edar obat tersebut. 

Selama ini harga beli obat ARV di Indonesia mencapai Rp 385 ribu per botol, lebih tinggi dari agen pengadaan internasional, yakni US$ 8,9 per botol (sekitar Rp 115 ribu per botol). 
 
Menghadapi situasi ini, Baby Rivona, seorang ODHA sekaligus Koordinator Nasional Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI), mengaku khawatir. 

"Menghadapi situasi kekosongan obat ini kami ketakutan. ARV membuat (harapan) hidup kami lebih panjang. Selama 16 tahun saya hidup dengan HIV, 10 tahun karena ARV," tutur dia dalam kesempatan yang sama. 

Baca juga: "Tanya Marlo", aplikasi tempat menggali informasi seputar HIV/AIDS

Baca juga: Menkes ingatkan generasi muda jauhi narkotika cegah HIV/AIDS

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2019