Jakarta (ANTARA News)  Peniliti dari Lembaga Swadaya Masyarakat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Usep Hasan Sadikin, menilai keterlibatan masyarakat adat untuk masuk ke Parlemen memang belum begitu signifikan, hal yang sama juga dirasakan untuk keterwakilan perempuan di Parlemen.
 
Menurut dia, minimnya keterwakilan masyarakat adat dan perempuan di parlemen di pengaruhi oleh dampak kultural dan struktural di ranah politik dalam negeri sendiri.

 “Memang diakui soal keterlibatan masyarakat adat dan perempuan jelang dan saat Pemilu sudah bagus tapi pasca-pemilu belum baik,” kata dia, di Jakarta, Kamis.

 Di tataran kultural, ucap dia, masih banyak pekerjaan rumah untuk menyadarkan pentingnya keterlibatan perempuan di politik.

Sementara di struktural, sistem politik yang ada pun belum mendukung secara kuat keterlibatan perempuan dan masyarakat adat.

 ”Secara sistem politik juga tidak memilih yang suportif pada perempuan dan masyarakat adat. Begitu pun partai politik kita yang bahkan masih mendukung oligarki dan pembajakan politik,” ucap dia.

Menurut dia, syarat partai politik di Indonesia memang disebut sebagai yang terberat di dunia, sehingga keadaan ini menjadi peluang untuk pengusaha yang ingin membajak Undang-undang lewat partai politik.

“Mereka berinvestasi di situ untuk kepentingan korporasinya. Jadi partai sebagai penyerap aspirasi rakyat sudah enggak berlaku lagi,” ucap dia.

Dengan begitu, keterwakilan perempuan yang disyaratkan 30 persen hanya menjadi syarat yang dikerjakan untuk menggugurkan kewajiban.

 Meski demikian, Usep menilai hal itu tak selalu buruk karena masih bisa dimanfaatkan. "Jangan lupa bahwa kekuatan kita belum berakhir, karena siapa pun yang terpilih bisa berdampak pada kebijakan ke depan,” ucap dia.

Pewarta: Aubrey Fanani
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019