Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Sudan tetap berusaha mencari penyelesaian terbaik dan menjamin ketersediaan bahan-bahan pokok dan bahan bakar dengan membuka keran impor walaupun didemo besar-besaran akhir-akhir ini.

Kedutaan Besar Sudan di Jakarta menyebutkan beberapa negara seperti Turki, Rusia, Qatar dan Kuwait menyatakan dukungannya kepada kebijakan pemerintah tersebut.

Disebutkan, pemicu utama krisis ini ialah dampak sanksi dan embargo ekonomi yang dilakukan Amerika Serikat (AS) terhadap Sudan yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun dengan dalih Sudan mendukung terorisme.

AS telah menghapus sanksi dan embargonya itu tapi tidak seluruhnya dan sanksi tersebut masih sangat berdampak terhadap kondisi Sudan hingga kini.

Penyebab lainnya adalah dampak negatif dari lepasnya Sudan Selatan dengan membawa sumber-sumber minyaknya.

Pemerintah Sudan bertekad untuk menyelesaikan masalah ini dan mencegah situasi semakin memburuk dan melakukan sejumlah langkah.

Langkah itu di antaranya membuka keran impor, peluang investasi dan menghindari bentrokan antara aparat keamanan dan para demonstran agar tidak dituduh menghalangi kebebasan dan hak menyatakan pendapat seperti telah dijamin dalam konstitusi Sudan.

Duta Besar Republik Sudan untuk Indonesia Dr Elsiddieg Abdulaziz Abdalla menyinggung aksi-aksi protes yang terjadi di negaranya dan pemberitaan negatif di berbagai belahan dunia dalam wawancara dengan sejumlah wartawan di kantornya di Jakarta, Jumat, terkait dengan Hari Kemerdekaan ke-63 Republik Sudan yang jatuh pada 1 Januari 2019.

"Media Barat hanya fokus pada aksi-aksi protes atau kekerasan di negara-negara Afrika seperti Sudan atau Timur Tengah," kata Dubes Elsiddieg yang menyampaikan perkembangan domestik Sudan termasuk di dalamnya masalah pengungsi yang berjumlah 9 juta, hubungan bilateral Sudan-Indonesia, dan masalah kawasan dan dunia.

"Kekuatan-kekuatan eksternal berusaha ingin membuat Sudan tak stabil, tak aman dan pecah," kata dia, seraya menambahkan pemisahan Sudan Selatan dari Sudan merupakan langkah pertama mereka.

Aksi-aksi demonstrasi mewarnai Sudan beberapa pekan belakangan ini yang dipimpin oleh mahasiswa dan masyarakat di beberapa negara bagian sebagai imbas dari krisis dan kelangkaan barang pokok di pasaran, kenaikan harga dan lemahnya perputaran uang.

Aksi yang awalnya damai berubah menjadi rusuh. Beberapa kantor pemerintah dirusak dan dibakar, kendaraan dan aset-aset lainnya juga tak luput dari pengrusakan, bahkan kantor-kantor partai pemerintah (Partai Kongres Nasional) hancur dan korban tewas mencapai 19 orang dan dua di antaranya aparat keamanan.

Pihak oposisi Partai Komunis, Partai Kebangkitan (Baath), Partai Kongres Sudan, Partai Ummah Elsadeeg Elmahdi dan Partai Pembebasan memanfaatkan situasi ini.

Partai-partai tersebut menghasut dan memobilisasi massa lewat selebaran, orasi yang mengkritik pemerintah, dan menuntut Presiden Omar El Bashir mundur dan membentuk pemerintahan transisi.

Beberapa kelompok bersenjata Sudan di luar negeri mengarahkan para anggota dan pengikutnya ikut aksi protes.

Kedutaaan besar Sudan di Paris, Perancis, Australia dan London, Inggris termasuk yang didemo.

Para pegiat di Washington AS menyerukan para senator dan anggota DPR untuk mendesak pemerintah Sudan agar berhenti menggunakan kekerasan.

Amnesti Internasional menuntut diadakannya penyelidikan segera dan Kongres Rakyat Arab meminta pemerintah Sudan untuk tidak menggunakan kekerasan.

Sejumlah diplomat dari kedutaan Kenya, Ethiopia, Jibouti, Nigeria dan Mesir mengkritik aksi demonstrasi dan perusakan tersebut.

Partai-partai politik pemerintah yang tergabung dalam koalisi rekonsiliasi nasional kemudian membuat aksi tandingan besar-besaran yang menekankan bahwa jutaan orang akan berada di belakang pemerintah dan ini merupakan pesan kuat kepada oposisi agar tidak main-main dengan pemerintah.

Republik Sudan yang berpenduduk sekitar 42 juta jiwa adalah negara yang terletak di timur laut benua Afrika.

Sebelum referendum yang memisahkan Sudan menjadi dua bagian, Sudan merupakan negara terluas di Afrika dan di daerah Arab, serta terluas ke-10 di dunia.

Kini negara ini berbatasan dengan Mesir, Republik Demokratik Kongo, Sudan Selatan, Ethiopia, Afrika Tengah, Chad, dan Libya.

Dampak Pemisahan

Berdasarkan sejumlah sumber, sejak Juli 2011, Sudan mengalami perubahan pemerintahan dan administrasi akibat pemisahan Utara-Selatan.

Sudan kini hanya terdiri dari 15 negara bagian karena delapan negara bagian masuk ke negara baru di Sudan Selatan.

Pemerintah Sudan juga memiliki status yang berbeda dengan sebelumnya. Pada tahun 2005-2011, pemerintahan Sudan bersifat transisi koalisi yang terdiri dari National Congress Party (NCP) dan Sudan People`s Liberation Movement (SPLM).

Namun setelah kemerdekaan Sudan Selatan pada 9 Juli 2011, pemerintah Sudan terdiri atas NCP dan sejumlah partai oposisi (sementara SPLM sudah masuk ke Sudan Selatan).

Sejak 15 Desember 2011, Pemerintahan Sudan membentuk pemerintahan baru, yang terdiri atas 30 menteri federasi dan 30 menteri negara yang diperbantukan di setiap kementerian. Selain itu, mengangkat 10 asisten dan penasihat Presiden.

Pemisahan Sudan Selatan juga memberikan dampak terhadap sumber devisa negara dimana sekitar 75 persen minyak diambil oleh Sudan Selatan.

Hal ini sedikit banyak mempengaruhi perekonomian Sudan, apalagi negara ini juga mengalami inflasi yang mencapai 18 persen per November 2011.

Untuk mengatasi hal tersebut, selain dari minyak yang hanya mampu memenuhi kebutuhan domestiknya, pemerintah Sudan mulai menggalakkan pertanian, industri, peternakan, pertambangan dan jasa.

Pemisahan Sudan Selatan tersebut juga berpengaruh terhadap situasi politik dan keamanan dalam negeri Sudan.

Wilayah yang dulunya banyak dihuni pendukung SPLM (partai berkuasa di Sudan Selatan) yakni Blue Nile State dan Kordofan Selatan, sejak Juni 2011 hingga kini bergejolak karena munculnya pemberontakan yang dilakukan oleh bekas pendukung SPLM (yang biasa disebut SPLM sektor Utara). Konflik di Darfur ini masih belum dapat diatasi.

Berbagai permasalahan tersebut semakin rumit karena Amerika Serikat masih tetap meneruskan sanksi ekonomi sepihaknya kepada Sudan dan tetap memasukkan Sudan dalam Daftar Negara Pendukung Terorisme sejak tahun 1993.

Kecaman demi kecaman yang dilancarkan oleh PBB, AS, dan sejumlah negara Eropa terhadap negara ini juga tidak kunjung berhenti dan membuat situasi negara tersebut tidak juga membaik.

Baca juga: Demonstrasi terus berlangsung di Sudan
Baca juga: Protes terkait kesulitan ekonomi kembali meletus di Sudan


 

Pewarta: Mohamad Anthoni
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019